Friday, 28 January 2011

Pertolongan Allah

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh melapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam ujian) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat!” --QS Al Baqarah [2]:214--


Suara di ujung sana masih terdengar jernih membalas salam yang diucapkan hamba itu kepadanya. Suara sang guru terdengar antusias menanyakan khabar dan keadaan hamba itu. Mereka terlibat percakapan melalui saluran telepon. Lebih dari dua bulan sudah mereka tidak bertemu muka. Sebuah kegiatan rutin yang selalu dilakukan setiap kali hamba itu mengunjungi kota kelahirannya untuk sebuah urusan usaha. Ia menyempatkan diri untuk bertemu sang guru. Mereka akan terlibat pembicaraan yang panjang tentang segala hal hingga kadang berjam-jam, ditemani oleh kudapan tradisonal bermacam rupa dan teh panas tanpa pemanis yang selalu menghangatkan suasana.

Tanpa terasa obrolan telepon yang tadinya ringan dan dipenuhi saling sapa dan tanya berubah menjadi serius saat hamba itu mencurahkan isi hatinya. Ia meminta petuah sang guru yang menurutnya amat bijaksana. Episode hidup berupa ujian yang tidak mengenakkan sedang berlangsung, membuatnya seakan tertatih-tatih dan berusaha bertumpu pada kesabaran yang terkadang menyusut begitu cepat. Terlebih dengan segala fitnah yang berseliweran bagai hujan peluru di musim perang yang memekakkan telinga.

Suara sang guru begitu meneduhkan. Seperti biasa, ia tidak langsung menanggapi pokok persoalan yang sedang ditanyakan. Ia berkata dengan lembut, “Maukah saya ceritakan kepadamu tentang riwayat yang bersumber pada Rasulullah Saw?” Tanya sang Guru.

Hamba itu menjawab, “Tentu saja, Guru. Saya sangat menantinya.”

Sang guru memulai kisahnya, “Disaat Allah telah selesai menciptakan surga dan neraka, maka Allah Azza wa Jalla memanggil malaikat Jibril untuk melihat keadaan surga itu. Maka malaikat Jibril pun masuk kedalamnya dan melihat keadaannya serta memperhatikan apa yang telah Allah sediakan bagi para penghuninya. Setelah malakaikat Jibril keluar, maka Allah Azza wa Jalla bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu?” Jibril menjawab, “Demi Kemuliaan dan Kebesaran Engkau ya Allah, tidak seorangpun dari hamba-Mu yang mendengarnya melainkan akan memilih untuk memasukinya.” Kemudian Allah menciptakan rintangan dan halangan berupa berbagai ‘ketidaksenangan’ yang mengelilingi surga tersebut dan kemudian berkata kembali kepada malaikat Jibril. “Kembalilah ke surga dan lihatlah apa yang telah Aku sediakan bagi penghuninya!” Maka Jibril dengan patuh melihatnya dan kembali. Allah kembali bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu kini?” Jibril menjawab, “Demi Kemuliaan dan Kebesaran Engkau ya Allah, aku khawatir tidak ada dari seorang hamba-Mu yang dapat memasukinya.”

Kemudian Allah memerintahkan kepada Jibril untuk pergi ke neraka dan melihat keadaannya dan apa-apa yang telah dipersiapkan Allah bagi para penghuninya. Setelah kembali, Allah bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu?” Jibril menjawab, “Demi Kemulian dan Kebesaran Engkau ya Allah, tidak ada seorangpun dari hamba-Mu yang mendengarnya melainkan pasti mereka menghindarinya.” Allah kemudian menciptakan berbagai ‘kesenangan’ yang mengelilingi neraka itu dan menyuruh Jibril untuk kembali melihatnya. Setelah kembali, Allah Azza wa Jalla bertanya lagi kepadanya, “Kini apa pendapatmu?” Demi Kemuliaan dan Kebesaran Engkau ya Allah, aku khawatir, semua dari hamba-hamba-Mu pasti akan memasukinya.

Allah berkata, “Ketahuilah wahai Jibril, hamba-hamba Ku yang beriman dan beramal shaleh serta mereka sabar akan ujian yang Aku berikan kepada mereka, pastilah mereka akan masuk kedalam surga dalam keadaan terhormat.” (HR Muslim)

Sang guru kemudian membacakan ayat QS Al Baqarah di atas.

Hamba itu lama terdiam sampai akhirnya sang guru memanggil namanya berkali-kali. Hamba itu menjawabnya dengan suara yang berat. Sang guru berusaha menghiburnya dan berkata, 

“Ingatlah…yang mengatur setiap episode kehidupan kita ini adalah Allah, Rabb Yang Maha Agung. Kita semua berada dalam alur skenario yang telah Dia tetapkan….Kenapa kita harus khawatir dan takut? Tidak sulit bagi-Nya untuk mengubah keadaan jika Dia berkehendak. Allah selalu melakukan sesuatu dengan proses karena proses itu akan menguatkan. Contohnya di dalam Al Quran adalah Allah menciptakan langit dan bumi ini dalam enam masa yang berarti sebuah ‘proses’. Demikian juga dengan kisah para Rasul dan Nabi yang selalu melalui liku-liku kehidupan yang tidak mengenakkan sebagai sebuah ‘proses’. Ujian hidup itu pasti memiliki alur cerita naik dan turun sebagai satu kesatuan yang utuh. Tidak ada yang ‘instant’ walaupun Allah sangat mudah untuk melakukannya.”

Sang guru melanjutkan, “Janganlah pernah meminta agar ujian itu cepat berakhir tapi mintalah kesabaran dan keberkahan dalam menjalaninya. Lambatnya pertolongan adalah bagian dari ujian yang menyebabkan 'proses' itu dapat berjalan sempurna….agar kelak hasilnya dapat kita rasakan sebagai sesuatu yang membahagiakan.”

Hamba itu berusaha mencerna perkataan sang guru. Lamat-lamat ia merasakan kalimat-kalimat bijaksana yang terlontar dari lisan sang guru yang kali ini hanya dapat ia dengar tanpa melihat raut wajah orang yang selalu dapat memberinya keteduhan itu.

Sang guru kembali bertanya, “Sudahkah engkau merasakan bahwa pertolongan Allah itu adalah sesuatu yang teramat penting dalam hidup ini?”

Hamba itu menjawab, “Benar….Tidak ada apapun di dunia ini yang lebih berharga dari pertolongan Allah. Walaupun seorang manusia memiliki kekayaan seisi dunia ini, jika dalam segala usahanya ia tidak pernah memperoleh pertolongan Allah, maka hidupnya akan terasa hina dan menyakitkan…”

Terdengar suara sang guru berkata, “Alhamdulillah…”

Rasulullah SAW bersabda: Allah ‘Azza wa Jalla berfirman di dalam hadist Qudsi, “Barangsiapa yang tidak rela dengan ketetapan-Ku dan tidak bersabar dengan setiap ujian-Ku, maka hendaklah ia keluar dari naungan langit-Ku dan hendaklah ia memilih Tuhan selain Aku” (HR Mutafaqun Alaihi)




Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri

Friday, 14 January 2011

Amal Shaleh

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia dalam keadaan mukmin, maka mereka itulah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. Kepada masing-maing golongan, baik golongan ini maupun itu, Kami beri bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebahagian dari mereka atas sebahagian yang lain. Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya.” (QS Al Israa’ [17]:18-21)

Seorang Bapak itu dengan sangat cekatan mengayuh kursi roda tempatnya bertumpu dengan kedua tangannya. Di depan mulut sebuah gang ia berhenti. Di situ telah tersedia sebuah meja kaca sebagai modalnya berjualan pulsa handphone dan kartu perdana berbagai operator dengan segala program promosinya. Ia tersenyum tatkala melihat pelanggan pertamanya datang dan melayaninya dengan baik untuk kemudian disusul dengan pelanggan kedua dan ketiga yang terus datang silih berganti. Tak ada rasa minder dan malu yang tampak pada wajah sang Bapak walau ia cacat. Ia tak memiliki kaki kiri dan hanya bertumpu pada kaki kanannya. Bertahun-tahun ia telah berganti-ganti usaha mulai dari pedagang asongan hingga akhirnya membuka kios pulsa sederhana di mulut gang itu yang berada di bilangan Jakarta Selatan. Ketika tidak ada pelanggan yang datang, ia memegang tasbih yang selalu melingkar di tumpuan kursi rodanya. Mulutnya bergerak perlahan memuji Rabb-Nya Yang Maha Agung yang telah memberinya nikmat hidup sehingga ia dapat berusaha seperti saat ini. Seiring waktu berjalan, waktu shalat tiba, ia menitipkan kios kecilnya itu kepada beberapa tukang ojek yang berpangkalan di dekat situ. Ia mengayuh kursi rodanya ke masjid yang berada tidak jauh dari situ.

Ia amat menikmati hidupnya dan merasa nyaman dengan semua itu. Sebuah kehidupan yang kecil dan sarat dengan kebaikan. Ia sadar, Allah tidak memberinya keempurnaan dalam hal bentuk tubuh, tapi Allah masih memberinya kesempatan untuk menentukan jalan hidupnya. Dan ia telah memilihnya dengan baik….sangat baik sesuai dengan Ayat pada QS Al Isra diatas. Ia tetap berusaha melakukan amal shaleh walau memiliki keterbatasan.

Hamba itu terus memperhatikan setiap kali menyusuri jalan yang ada di depan mulut gang itu. Sesekali waktu hamba itu berhenti sekedar membeli pulsa. Sang Bapak tersenyum kepadanya dengan ramah….dan senyuman yang penuh keramahan itu pula yang telah membuat hamba itu menjadi pelanggan setianya.

Dalam kehidupan yang kita jalani sehari-hari, kita lebih nyaman membeli pulsa dengan cara bertransaksi di ATM yang kita bayar sesuai dengan nilai nominalnya. Sedang di pedagang seperti sang Bapak kita mungkin harus mengeluarkan uang ekstra beberapa ribu Rupiah untuk fee penjualan kepadanya. Sudah seharusnya orang-orang seperti sang Bapak dihargai. Bukankah hal itu adalah amal shaleh juga yang seharusnya kita lakukan? Membantu hamba-hamba-Nya yang lemah?

Allah Azza wa Jalla memerintahkan di dalam Al Quran dengan bahasa yang santun untuk membantu orang-orang yang lemah. Hal ini salah satunya adalah disebabkan perputaran uang atau capital sering kali hanya dinikmati oleh para pengusaha kaya atau korporasi-korporasi besar saja tanpa melibatkan orang-orang lemah yang mencoba untuk berusaha. Para ekonom menyebutnya dengan ‘Para Pelaku Sektor Ril’. 

Lihatlah kenyataan yang ada disekeliling kita. Kita lebih senang berbelanja ke supermarket daripada ke pasar, padahal justru di pasar begitu banyak amal shaleh yang dapat dilakukan. Mulai dari bertransaksi dengan para pedagang hingga membantu orang-orang yang menawarkan jasanya sebagai kuli pengangkut barang untuk mengangkut belanjaan kita dari tempat kita membeli hingga ke kendaraan kita. Puluhan hingga ratusan orang yang berada di pasar menggantungkan hidupnya pembeli yang datang.  Bukankah berbelanja di supermarket kita juga dapat membantu ratusan pekerja yang bekerja di dalamnya? Memang benar, tapi bukankah lebih berharga jika kita dapat juga meluangkan waktu untuk pergi ke pasar demi sebuah amal shaleh yang menjadi niat kita? 

Sang Bapak telah menjalankan prinsip hidupnya dengan sangat baik. Memilih untuk melakukan amal shaleh dalam kesehariannya. Dan ia melakukannya dalam porsinya sebagai pedagang….Alangkah indahnya jika kita yang mampu ini dengan segala kesempurnaan bentuk tubuh melakukan bagian kita? Kita membantunya dengan beberapa ribu rupiah sebagai fee penjualan dengan niat sang Bapak akan dapat menghidupi anak-istrinya dengan layak. Dan kita akan memperoleh apa yang kita butuhkan sebagai sarana penunjang kita untuk berkomunikasi. Bukankah hal ini lebih baik daripada memberi kepada peminta-minta yang berada di pinggir jalan yang hanya menggantungkan hidupnya dengan meminta-minta walau ia memiliki bentuk tubuh yang sempurna dan usia yang masih belia?

“Lihatlah orang yang di bawah kalian dan jangan melihat orang yang di atas kalian karena dengan (melihat ke bawah) lebih pantas untuk kalian tidak meremehkan nikmat yant telah Allah dilimpahkan kepada kalian.” (HR. Bukhari & Muslim)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri




Friday, 7 January 2011

Sebuah Kesaksian



“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru kepada Rabb nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas.” (QS Al Kahfi [18]:28)


Di suatu sore, seorang Ibu yang telah beranjak tua menyapa beberapa anak yang ada disekelilingnya. Anak-anak yang dalam beberapa hari terakhir ini terlibat dalam pagelaran akbar yang sedang dipertontonkan di Jakarta, Musikal Laskar Pelangi. Sang Ibu melayani mereka dengan sangat ramah. Beberapa dari mereka ingin sekedar berfoto dan yang lainnya meminta tanda tangan.


Seorang anak perempuan mendekatinya dan mengajaknya berbicara. Anak itu mengulurkan tangannya untuk berjabatan dan ia meletakkan punggung tangan sang Ibu di dahinya. Tanda sebuah penghormatan. Sang Ibu tersenyum. Ketika itu juga sang Ibu melihat ada sebuah kancing baju sang anak tidak terpasang dengan baik. Sang Ibu membetulkannya. Penuh kelembutan…Penuh kasih sayang. Sang anak spontan memeluk sang Ibu mengucapkan terima kasih….sang Ibu membalasnya dengan pelukan pula sembari membelai rambut sang anak yang telah terpasang pita pada kucirannya. Ia memerankan seorang tokoh penting dalam pagelaran sore itu.


Hamba itu memperhatikan adegan tersebut dari kejauhan. Seorang Ibu yang dengan takdir Allah Azza wa Jalla telah menjadi seorang guru di sebuah pelosok kampung Gantong nan sepi di Belitong. Terpencil dari peradaban dan jauh dari kemapanan. Guratan-guratan pada wajahnya menjadi bukti betapa ia telah melewati kehidupan ini dengan tidak nyaman. Ia selalu berjuang dalam pasang surut ujian seorang hamba Allah yang selalu teguh memegang prinsip.
Namanya menjadi amat dikenal oleh siapapun di negeri ini. Sosok yang identik dengan ketegaran dan sikap pantang menyerah telah ia tunjukkan dalam mendidik murid-muridnya. Ia menjadi sosok pendidik yang sejati dan memperoleh apriesiasi dari siapapun yang membaca kisah dirinya pada sebuah novel yang ditulis oleh salah seorang muridnya.


Hamba itu masih terus memperhatikannya. Tahu dirinya menjadi pusat mata tertuju, ia menganggukkan kepalanya kepada hamba itu sembari tersenyum….Hamba itu mendekatinya dan memperkenalkan dirinya…Ia membalas dengan mengatakan, “Saya Muslimah…” Jawabnya. Ia menyebut namanya dengan amat singkat.


Hamba itu mengajaknya berdialog. Bu Muslimah menyambutnya dengan senang hati. Bahasanya mengalir pelan tapi tegas. Citra seorang pendidik yang tidak pernah lekang oleh zaman. Satu pelajaran penting didapat oleh hamba itu dalam dialog yang mereka lakukan di sore itu. Ia berkata, “Apapun yang kita lakukan….balasannya belum tentu kita dapatkan di dunia ini….Selalulah bersabar untuk mendapatkan balasan yang sempurna kelak di akhirat.” Begitu Bu Muslimah berpesan.


Hamba itu tersenyum…merasakan begitu teduh kata-kata yang mengalir dari lisannya….Wajah yang tidak lagi muda mengesankan sebuah kesejukan dalam oase kehidupan yang kadang amat meletihkan. Hamba itu bertanya pada dirinya sendiri, Berapa banyakkah lagi di dunia ini orang-orang yang seperti Bu Muslimah? Orang-orang yang selalu menyebarkan kedamaian dengan kata-katanya yang bijak….orang-orang yang selalu memikat hati orang-orang yang berbicara dengannya?


Jawabannya: “Mungkin tak banyak….”


Lihatlah diri kita sendiri…Walaupun memiliki wajah yang indah dipandang dan lekuk tubuh nan menawan, di setiap kehadiran diri kita diantara orang-orang yang kita kenal, mereka merasakan ketidaknyamanan dan cenderung untuk menghindar. Kata-kata yang keluar dari lisan kita ibarat sampah yang berbau busuk yang tak sudi seorangpun mengingatnya…Pendapat-pendapat yang kita sampaikan bagaikan racun yang tak sudi seorangpun menjamahnya….
Bu Muslimah jauh dari itu semua. Ia bagai aliran air yang mengalir jernih. Anak-anak menantikan belaian tangannya pada ujung-ujung dahi mereka. Orang dewasa menantikan petuah-petuahnya yang penuh makna. Untaian kata-katanya bagai sebuah untaian puisi ‘Nyanyi Sunyi’ Amir Hamzah yang berarak menawan meneduhkan separuh jiwa yang penat dengan kehidupan.


Ia punya apa yang mungkin tidak kita punya…”Keberkahan Hidup yang terpancar jelas….”


Hamba itu ingat akan sebuah riwayat. Seorang sahabat Rasulullah yang bernama Bilal bin Rabah ra. Seorang bekas budak yang memiliki kulit hitam legam tanpa keistimewaan selain tenaganya yang sangat kuat tapi Nabi Saw memberi gelar kepadanya dengan sebutan Bastul Wajhi (Wajah yang penuh keberkahan). Kehadirannya selalu dinantikan oleh Nabi…Pendapatnya selalu menjadi pertimbangan Nabi… Setiap Rasulullah berkumpul dengan para sahabatnya dalam sebuah majelis, jika Bilal tidak kelihatan, Rasulullah selalu mencarinya dengan mengatakan, “Dimana Bilal?” Sahabat-sahabat Nabi yang lain pun merasakannya. Suaranya dalam melantunkan Adzan menjadi nyanyian kerinduan kepada Rabb Yang Maha Agung.


Kita mungkin bertanya dalam diri kita kembali. Sejauh mana kita mengerti akan orientasi hidup yang kita jalani? Apakah kita hanya disibukkan dengan pencarian tumpukan harta dan hanya menjadi sampah-sampah yang berbau busuk dan dijauhi oleh semua orang? Orang lain tidak pernah merasakan kenyamanan sedikitpun di dekat kita. Atau….


Kita berusaha menjadi bunga semerbak nan harum yang selalu membawa wewangian yang senantiasa menjadi dambaan setiap orang untuk memandangnya dan merasakan kehadirannya?


Bu Muslimah telah membuktikannya...Ia menjadi bunga semerbak nan harum...Sedangkan kita?


Kita sendiri yang dapat menjawabnya…


Rasulullah bersabda, “Wahai sahabat-sahabat ku tidaklah disebut kaya seseorang itu karena banyak hartanya, tapi yang disebut kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.” (HR Bukhari & Muslim)




Yang fakir kepada ampunan 
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa


M. Fachri