Kisah ini bersumber dari seorang Ibu yang istiqamah yang disampaikan kepada penulis. Diambil dari buku Muhammad Saw on Facebook, M. Yasser Fachri, Penerbit Hikmah-Mizan, 2009.
Aku terduduk lemas ketika dokter memvonis anak keduaku menderita Autis. Aku terdiam, begitu juga dengan suamiku. Anak laki-laki semata wayangku. Baru 1,5 tahun usianya. Ia anak bungsu ku. Sedang kakak nya sudah berusia 5 tahun dan dalam keadaan sehat. Terbayang olehku masa depan yang dipenuhi kesulitan dan penderitaan. Seorang anak laki-laki yang terus akan bergantung kepadaku ataupun kepada orang lain, tanpa dapat mandiri. Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan selama ini. Ya Allah, kenapa semua ini terjadi padaku?
Hari-hari setelah vonis dokter itu kujalani dengan gamang. Aku lebih sering mengurung diri dan menghindar dari teman-temanku. Aku selalu muram dan lemas tanpa semangat walaupun aku berusaha untuk tetap menjadi ibu yang perhatian terhadap anak-anak dan suamiku serta mengurus seluruh kebutuhan mereka. Dalam hatiku, aku merintih. Kenapa hal ini terjadi padaku? Aku bukanlah seorang yang mempunyai masa lalu yang kelam. Hidupku kujalani dengan lurus-lurus saja. Juga ketika masa remajaku dahulu. Tidak ada sesuatu yang terlarang yang pernah kulakukan. Demikian juga perlakuanku terhadap orang tuaku, aku adalah seorang anak yang penurut dan selalu membantu mereka. Aku dekat dengan mereka dan ketika mereka mengenalkan aku dengan seorang anak sahabat mereka yang akhirnya menjadi suamiku, aku tiada menolaknya. Demikian juga setelah pernikahanku dengan suamiku, seorang pengusaha agribisnis yang diwariskan oleh orang tuanya, kehidupan rumah tangga kami aman-aman saja. Kami tiada pernah kekurangan dalam hal materi. Di ulang tahun kedua perkawinan kami, kami telah memiliki rumah idaman yang kami rancang dan bangun sesuai keinginan kami, karena aku seorang arsitek. Demikian juga dengan momongan, di 1,5 tahun usia pernikahan kami, kami diamanahkan Allah seorang anak perempuan yang sehat dan cantik. Hari-hari selalu kami jalani dalam kenyamanan dan kemapanan sampai akhirnya vonis dokter yang mengguncangkan itu.
Aku merasa ketetapan Allah ini tidak adil bagiku. Kenapa hal ini harus terjadi? Kenapa hal itu tidak terjadi kepada kakak ku yang memiliki masa lalu yang kelam. Kenapa malah ia dikarunia Allah 3 anak yang lucu-lucu dan sehat semua? Masa muda kakak ku adalah pemberontak di keluarga. Ia menikah dalam usia muda dengan suami yang murni pilihannya. Walau Ayah dan Ibuku tidak menyetujuinya, tapi pada akhirnya mereka harus merestuinya. Kenapa hukuman Allah tidak datang kepada kakak ku saja? Itu yang selalu ada dalam pikiranku.
Kenapa Allah murka kepadaku walau aku memiliki seorang suami yang alim dan baik? Ia anak laki-laki semata wayang dikeluarganya. Ia anak bungsu dari 3 bersaudara yang kedua kakak nya adalah perempuan. Pewaris terbesar dalam keluarganya dan seorang yang menyandang gelar S-1 dan S-2 dari universitas piawai di Amerika. Suamiku adalah seorang yang sangat penyabar dan dibesarkan dalam keluarga yang religius. Ia selalu menjadi imam sholat bagiku dan imam dalam kehidupan yang sebenarnya. Dari segala hal yang telah diceritakannya kepadaku tentang masa lalunya, aku bisa menilainya, ia adalah seorang yang lurus. Penghargaannya terhadap wanita begitu tinggi, sampai dalam hidupnya ia tidak pernah ingin menyakiti wanita. Baginya, sama saja jika menyakiti wanita berarti menyakiti Ibunya ataupun kakak-kakaknya sendiri. Begitu mulia akhlaknya.
Tiga tahun setelah vonis dokter itu berselang, aku kembali menatap ke belakang. Semua telah berubah. Kehidupan kami, cara pandang kami sampai dengan kebiasaan kami pun telah berubah. Hal ini dimulai ketika 2 bulan sesudah vonis dokter itu, di hari ulang tahun ku yang ke-31 suamiku memberiku hadiah sebuah buku yang sampai saat ini selalu kubaca berulang-ulang. Sebuah Al Quran dan terjemahannya dalam bentuk kecil. Pada awalnya aku hanya menerimanya saja, tanpa ada rasa yang istimewa. Suamiku berpesan: “Bacalah dikala sempat. Usahakan membaca terjemahannya, walaupun hanya beberapa ayat. ” Sejak itu aku berusaha membacanya. Lebih-lebih terjemahannya. Setelah beberapa waktu, aku merasakan inilah hadiah yang paling indah yang pernah kuterima sepanjang sejarah hidupku. Sesuatu yang menjadi inspirasi hidupku dan selalu kuletakkan di meja sebelah tempat tidurku agar mudah kubaca. Bukannya selama ini aku tidak pernah membaca Al Quran, tidak demikian. Sejak mudaku, aku kadang membacanya. Malah ketika ramadhan datang aku selalu menghatamkannya. Kesalahanku selama ini adalah aku hanya membacanya untuk mengharap pahala. Aku tidak peduli harus membaca terjemahannya. Aku hanya sangat takut jika membacanya salah karena tajwid atau makhroj yang salah terucap sehingga aku tidak memperoleh pahala apapun dari yang kubaca. Tak pernah terpikirkan olehku kalau aku harus membaca dan memahami artinya sesuai perintah Allah dalam surat Al ‘Alaq: “Iqra” yang berarti bukan hanya membaca tapi memahami.
Shalat yang tadinya hanya kulakukan lima waktu dengan berjamaah bersama suamiku saat ia berada dirumah, pelan-pelan kutambahi dengan dhuha dan tahajjud serta kadang kuiringi dengan sholat taubat dan hajat. Satu yang kuingat, anakku yang menderita autis ini selalu bangun pada jam 2 pagi dan menjerit sekerasnya. Dan hal itu selalu terjadi sejak usianya 8 bulan. Hal itu selalu membuat panik diriku dan suamiku. Tapi belakangan, jeritan itu bagaikan alarm yang membangunkanku untuk beribadah kepada Tuhan-ku. Kutenangkan anakku dan aku ambil air wudhu untuk kemudian kutunaikan sholat tahajjud. Kadang berjamaah bersama suamiku. Dalam linangan air mata kumohon kepada Allah: “Ya Allah berilah ketenangan kepada anakku dan izinkanlah hamba untuk dapat mendekatkan diri kepada Engkau dengan khusyuk.” Suatu mukjizat bagiku dan suamiku, setelah tahajud ini rutin kami lakukan, tiada pernah lagi anakku menjerit sekerasnya. Ia tetap membangunkanku pada jam 2 pagi bagai alarm, tapi hanya dengan membolak-balikkan badannya karena gelisah dan disertai dengan rintihan yang lembut. Aku selalu terbangun dan setelah kuberi ia susu, aku berwudhu dan menunaikan sholat tahajud. Aku bersyukur, Allah telah menjadikan anakku sebagai sesuatu yang mendekatkan diriku kepada-Nya.
Bukan saja Al Quran dan terjemahan itu yang kubaca, aku selalu mengikuti kegiatan pengajian di lingkungan teman-teman sekolah anakku ataupun di lingkungan tempat tinggalku. Aku gemar membaca buku-buku agama suamiku yang bertumpuk-tumpuk dan pelan-pelan membawa perubahan bagiku. Banyak orang, baik ulama, sahabat maupun keluarga ku selalu mengingatkanku dengan firman Allah di QS Al Baqarah [2]:286, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya…” Hal itu dapat kupahami dengan mudah, tapi yang selalu menjadi inspirasiku adalah pernyataan Allah pada QS Al Insan [76]:2, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karenanya kami jadikan dia mendengar dan melihat.” Aku sadar bahwa hidup itu hanyalah tempat ujian. Ujian itu pastilah sulit, tapi tetap dalam koridor kemampuan hamba-Nya. Dunia ini bukanlah tempat untuk menerima hasil ujian, Kelak di akhirat hasil ujian itu akan diperoleh terlepas dari hasil yang diperoleh itu baik atau buruk.
Rasulullah bersabda: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri hamba-Nya, Dia akan menyegerakan untuknya ujian di dunia. Dan jika Allah menghendaki keburukan pada diri hamba-Nya, Dia akan mengakhirkan ujian lantaran dosa-dosanya, hingga hamba itu akan didatangkan dengan membawa dosa-dosa tersebut pada hari kiamat.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Aku berusaha merenungi hadish ini. Memang begitulah adanya. Allah menguji hamba-nya bukanlah karena kebencian tetapi karena Allah menghendaki kebaikan. Di sebuah tafsir, aku menemukan arti kata Rabb yang sebenarnya. Kata “Rabb” dalam bahasa arab berarti “pendidik”. Artinya Allah Maha Mendidik hamba-hamba-Nya. Kalau aku merenungi lebih jauh, Rasulullah saw sendiri mengalami ujian yang luar biasa dalam kehidupannya. Ketika berdakwah di Mekkah, Rasulullah sering disakiti oleh orang kafir quraish dengan lemparan batu dan caci maki. Demikian juga ketika di Madinah, Rasulullah selalu mendapat fitnah dari orang-orang yahudi Madinah. Belum lagi begitu banyak Rasulullah harus kehilangan orang-orang yang di sayangi nya, istrinya Khadijah, anak lelakinya Ibrahim dan lebih dari 4 orang anak-anak perempuannya yang meninggal karena sakit. Aku teringat akan sebuah hadish yang begitu menggugah:
Rasulullah bersabda:”Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian yang sederjat dibawah mereka, kemudian dibawahnya lagi. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kadar imannya, jika kekuatan imannya tangguh maka ujiannya akan lebih keras. Dan jika kadar keimanan nya lemah, maka ujiannya sesuai dengan kadar iman nya. Ujian akan senantiasa menyertai seorang hamba hingga ia berjalan dimuka bumi, sementara tidak ada lagi satu kesalahan pun yang melekat pada dirinya.” (HR Ahmad dan At Tirmidzi)
Aku kembali membuka Al Quran terjemahan kecilku, ketika kubaca QS At-Taghabun [64]:15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu: di sisi Allah lah pahala yang besar.” Aku bersyukur, Allah telah memilihku. Memilih untuk menapaki jalan-Nya yang lurus. Begitu besar rahmat-Nya bagiku. Allah memberi cobaan bagiku dengan mengamanahkan seorang anak yang autis sebagai ladang amal bagiku. Hari-hari yang kujalani bersamanya adalah suatu kebaikan buatku selama aku sabar menghadapinya. Aku menyadari, begitu indah ujian ini kurasakan.
Ada suatu hadish yang selalu menjadi sumber inspirasi bagiku yang pernah kubaca. Dari Ibnu Abbas berkata: “Pada zaman Rasulullah, ada seorang wanita kulit hitam bernama Sa’irah Al-Asadiyah datang kepada Nabi dan berkata, ‘Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsy). Maukah Engkau ya Rasulullah mendoakan untuk kesembuhanku?’ Rasulullah bersabda: ‘Jika engkau mau bersabar atas penyakitmu, itu lebih baik bagimu dan surga akan menantimu kelak. Namun, jika engkau ingin sembuh, aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.’ Wanita itu berkata: ‘ya Rasulullah, aku memilih untuk bersabar, aku mohon Engkau berdoa kepada Allah agar ketika aku kambuh, auratku tidak tersingkap.’ Lalu Rasulullah mendoakannya.”[1] Sungguh mulia wanita ini. Ia memilih untuk sabar, walaupun jika ia mau, doa Rasulullah pasti dikabulkan Allah. Begitu sempurna akhlaknya. Ia lebih mementingkan agar tidak tersingkap auratnya daripada penyakitnya. Dimana saat sekarang ini, wanita lebih suka untuk mempertontonkan auratnya. Sa’irah lebih mementingkan kesabaran daripada sembuh dan bisa jadi dengan kesembuhannya itu dapat menjadikan ia leluasa untuk berbuat maksiat dan melupakan Allah SWT. Wanita ini ketika wafatnya begitu dipuji oleh Rasulullah karena mendapat jaminan surga yang tertinggi.
Kisah yang bersumber pada Rasulullah saw ini menginspirasiku akan dua hal. Sejak membacanya dan kurenungkan, aku memutuskan untuk menggunakan jilbab dan yang terpenting adalah aku tidak pernah lagi berdoa untuk meminta kesembuhan bagi anak ku. Aku hanya berdoa: “Ya Allah, jadikanlah anak ku ini sebagai penyejuk hati bagiku dan sesuatu yang selalu menjadikan sebab kedekatanku kepada Engkau. Engkau lah sebaik-baik pelindung baginya. Jadikanlah kesabaran selalu di dalam hatiku dalam menghadapinya dan jadikanlah kesabaran itu kelak yang menghantarkan aku untuk dapat melihat wajah Mu yang Maha Agung…..Ya Allah, sungguh aku rindu untuk bersimpuh dihadapan Mu kelak dalam keadaan Engkau ridho kepadaku.”
[1] Shahih Al Bukhari (5652), Muslim (2576) dan Ahmad (323)