Wednesday 16 November 2011

Ya Allah, Anakku Autis!

Kisah ini bersumber dari seorang Ibu yang istiqamah yang disampaikan kepada penulis. Diambil dari buku Muhammad Saw on Facebook, M. Yasser Fachri, Penerbit Hikmah-Mizan, 2009.

Aku terduduk lemas ketika dokter memvonis anak keduaku menderita Autis. Aku terdiam, begitu juga dengan suamiku. Anak laki-laki semata wayangku. Baru 1,5 tahun usianya. Ia anak bungsu ku. Sedang kakak nya sudah berusia 5 tahun dan dalam keadaan sehat. Terbayang olehku masa depan yang dipenuhi kesulitan dan penderitaan. Seorang anak laki-laki yang terus akan bergantung kepadaku ataupun kepada orang lain, tanpa dapat mandiri. Sesuatu yang tidak pernah kubayangkan selama ini. Ya Allah, kenapa semua ini terjadi padaku?
Hari-hari setelah vonis dokter itu kujalani dengan gamang. Aku lebih sering mengurung diri dan menghindar dari teman-temanku. Aku selalu muram dan lemas tanpa semangat walaupun aku berusaha untuk tetap menjadi ibu yang perhatian terhadap anak-anak dan suamiku serta mengurus seluruh kebutuhan mereka. Dalam hatiku, aku merintih. Kenapa hal ini terjadi padaku? Aku bukanlah seorang yang mempunyai masa lalu yang kelam. Hidupku kujalani dengan lurus-lurus saja. Juga ketika masa remajaku dahulu. Tidak ada sesuatu yang terlarang yang pernah kulakukan. Demikian juga perlakuanku terhadap orang tuaku, aku adalah seorang anak yang penurut dan selalu membantu mereka. Aku dekat dengan mereka dan ketika mereka mengenalkan aku dengan seorang anak sahabat mereka yang akhirnya menjadi suamiku, aku tiada menolaknya. Demikian juga setelah pernikahanku dengan suamiku, seorang pengusaha agribisnis yang diwariskan oleh orang tuanya, kehidupan rumah tangga kami aman-aman saja. Kami tiada pernah kekurangan dalam hal materi. Di ulang tahun kedua perkawinan kami, kami telah memiliki rumah idaman yang kami rancang dan bangun sesuai keinginan kami, karena aku seorang arsitek. Demikian juga dengan momongan, di 1,5 tahun usia pernikahan kami, kami diamanahkan Allah seorang anak perempuan yang sehat dan cantik. Hari-hari selalu kami jalani dalam kenyamanan dan kemapanan sampai akhirnya vonis dokter yang mengguncangkan itu.
Aku merasa ketetapan Allah ini tidak adil bagiku. Kenapa hal ini harus terjadi? Kenapa hal itu tidak terjadi kepada kakak ku yang memiliki masa lalu yang kelam. Kenapa malah ia dikarunia Allah 3 anak yang lucu-lucu dan sehat semua? Masa muda kakak ku adalah pemberontak di keluarga. Ia menikah dalam usia muda dengan suami yang murni pilihannya. Walau Ayah dan Ibuku tidak menyetujuinya, tapi pada akhirnya mereka harus merestuinya. Kenapa hukuman Allah tidak datang kepada kakak ku saja? Itu yang selalu ada dalam pikiranku.
Kenapa Allah murka kepadaku walau aku memiliki seorang suami yang alim dan baik? Ia anak laki-laki semata wayang dikeluarganya. Ia anak bungsu dari 3 bersaudara yang kedua kakak nya adalah perempuan. Pewaris terbesar dalam keluarganya dan seorang yang menyandang gelar S-1 dan S-2 dari universitas piawai di Amerika. Suamiku adalah seorang yang sangat penyabar dan dibesarkan dalam keluarga yang religius. Ia selalu menjadi imam sholat bagiku dan imam dalam kehidupan yang sebenarnya. Dari segala hal yang telah diceritakannya kepadaku tentang masa lalunya, aku bisa menilainya, ia adalah seorang yang lurus. Penghargaannya terhadap wanita begitu tinggi, sampai dalam hidupnya ia tidak pernah ingin menyakiti wanita. Baginya, sama saja jika menyakiti wanita berarti menyakiti Ibunya ataupun kakak-kakaknya sendiri. Begitu mulia akhlaknya.
Tiga tahun setelah vonis dokter itu berselang, aku kembali menatap ke belakang. Semua telah berubah. Kehidupan kami, cara pandang kami sampai dengan kebiasaan kami pun telah berubah. Hal ini dimulai ketika 2 bulan sesudah vonis dokter itu, di hari ulang tahun ku yang ke-31 suamiku memberiku hadiah sebuah buku yang sampai saat ini selalu kubaca berulang-ulang. Sebuah Al Quran dan terjemahannya dalam bentuk kecil. Pada awalnya aku hanya menerimanya saja, tanpa ada rasa yang istimewa. Suamiku berpesan: “Bacalah dikala sempat. Usahakan membaca terjemahannya, walaupun hanya beberapa ayat. ” Sejak itu aku berusaha membacanya. Lebih-lebih terjemahannya. Setelah beberapa waktu, aku merasakan inilah hadiah yang paling indah yang pernah kuterima sepanjang sejarah hidupku. Sesuatu yang menjadi inspirasi hidupku dan selalu kuletakkan di meja sebelah tempat tidurku agar mudah kubaca. Bukannya selama ini aku tidak pernah membaca Al Quran, tidak demikian. Sejak mudaku, aku kadang membacanya. Malah ketika ramadhan datang aku selalu menghatamkannya. Kesalahanku selama ini adalah aku hanya membacanya untuk mengharap pahala. Aku tidak peduli harus membaca terjemahannya. Aku hanya sangat takut jika membacanya salah karena tajwid atau makhroj yang salah terucap sehingga aku tidak memperoleh pahala apapun dari yang kubaca. Tak pernah terpikirkan olehku kalau aku harus membaca dan memahami artinya sesuai perintah Allah dalam surat Al ‘Alaq: “Iqra” yang berarti bukan hanya membaca tapi memahami.
Shalat yang tadinya hanya kulakukan lima waktu dengan berjamaah bersama suamiku saat ia berada dirumah, pelan-pelan kutambahi dengan dhuha dan tahajjud serta kadang kuiringi dengan sholat taubat dan hajat. Satu yang kuingat, anakku yang menderita autis ini selalu bangun pada jam 2 pagi dan menjerit sekerasnya. Dan hal itu selalu terjadi sejak usianya 8 bulan. Hal itu selalu membuat panik diriku dan suamiku. Tapi belakangan, jeritan itu bagaikan alarm yang membangunkanku untuk beribadah kepada Tuhan-ku. Kutenangkan anakku dan aku ambil air wudhu untuk kemudian kutunaikan sholat tahajjud. Kadang berjamaah bersama suamiku. Dalam linangan air mata kumohon kepada Allah: “Ya Allah berilah ketenangan kepada anakku dan izinkanlah hamba untuk dapat mendekatkan diri kepada Engkau dengan khusyuk.” Suatu mukjizat bagiku dan suamiku, setelah tahajud ini rutin kami lakukan, tiada pernah lagi anakku menjerit sekerasnya. Ia tetap membangunkanku pada jam 2 pagi bagai alarm, tapi hanya dengan membolak-balikkan badannya karena gelisah dan disertai dengan rintihan yang lembut. Aku selalu terbangun dan setelah kuberi ia susu, aku berwudhu dan menunaikan sholat tahajud. Aku bersyukur, Allah telah menjadikan anakku sebagai sesuatu yang mendekatkan diriku kepada-Nya.
Bukan saja Al Quran dan terjemahan itu yang kubaca, aku selalu mengikuti kegiatan pengajian di lingkungan teman-teman sekolah anakku ataupun di lingkungan tempat tinggalku. Aku gemar membaca buku-buku agama suamiku yang bertumpuk-tumpuk dan pelan-pelan membawa perubahan bagiku. Banyak orang, baik ulama, sahabat maupun keluarga ku selalu mengingatkanku dengan firman Allah di QS Al Baqarah [2]:286, “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya…” Hal itu dapat kupahami dengan mudah, tapi yang selalu menjadi inspirasiku adalah pernyataan Allah pada QS Al Insan [76]:2, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karenanya kami jadikan dia mendengar dan melihat.” Aku sadar bahwa hidup itu hanyalah tempat ujian. Ujian itu pastilah sulit, tapi tetap dalam koridor kemampuan hamba-Nya. Dunia ini bukanlah tempat untuk menerima hasil ujian, Kelak di akhirat hasil ujian itu akan diperoleh terlepas dari hasil yang diperoleh itu baik atau buruk.
Rasulullah bersabda: “Jika Allah menghendaki kebaikan pada diri hamba-Nya, Dia akan menyegerakan untuknya ujian di dunia. Dan jika Allah menghendaki keburukan pada diri hamba-Nya, Dia akan mengakhirkan ujian lantaran dosa-dosanya, hingga hamba itu akan didatangkan dengan membawa dosa-dosa tersebut pada hari kiamat.” (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Aku berusaha merenungi hadish ini. Memang begitulah adanya. Allah menguji hamba-nya bukanlah karena kebencian tetapi karena Allah menghendaki kebaikan. Di sebuah tafsir, aku menemukan arti kata Rabb yang sebenarnya. Kata “Rabb” dalam bahasa arab berarti “pendidik”. Artinya Allah Maha Mendidik hamba-hamba-Nya. Kalau aku merenungi lebih jauh, Rasulullah saw sendiri mengalami ujian yang luar biasa dalam kehidupannya. Ketika berdakwah di Mekkah, Rasulullah sering disakiti oleh orang kafir quraish dengan lemparan batu dan caci maki. Demikian juga ketika di Madinah, Rasulullah selalu mendapat fitnah dari orang-orang yahudi Madinah. Belum lagi begitu banyak Rasulullah harus kehilangan orang-orang yang di sayangi nya, istrinya Khadijah, anak lelakinya Ibrahim dan lebih dari 4 orang anak-anak perempuannya yang meninggal karena sakit. Aku teringat akan sebuah hadish yang begitu menggugah:
Rasulullah bersabda:”Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian yang sederjat dibawah mereka, kemudian dibawahnya lagi. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kadar imannya, jika kekuatan imannya tangguh maka ujiannya akan lebih keras. Dan jika kadar keimanan nya lemah, maka ujiannya sesuai dengan kadar iman nya. Ujian akan senantiasa menyertai seorang hamba hingga ia berjalan dimuka bumi, sementara tidak ada lagi satu kesalahan pun yang melekat pada dirinya.”  (HR Ahmad dan At Tirmidzi) 
Aku kembali membuka Al Quran terjemahan kecilku, ketika kubaca QS At-Taghabun [64]:15“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu: di sisi Allah lah pahala yang besar.” Aku bersyukur, Allah telah memilihku. Memilih untuk menapaki jalan-Nya yang lurus. Begitu besar rahmat-Nya bagiku. Allah memberi cobaan bagiku dengan mengamanahkan seorang anak yang autis sebagai ladang amal bagiku. Hari-hari yang kujalani bersamanya adalah suatu kebaikan buatku selama aku sabar menghadapinya. Aku menyadari, begitu indah ujian ini kurasakan.
Ada suatu hadish yang selalu menjadi sumber inspirasi bagiku yang pernah kubaca. Dari Ibnu Abbas berkata: “Pada zaman Rasulullah, ada seorang wanita kulit hitam bernama Sa’irah Al-Asadiyah datang kepada Nabi dan berkata, ‘Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsy). Maukah Engkau ya Rasulullah mendoakan untuk kesembuhanku?’ Rasulullah bersabda: ‘Jika engkau mau bersabar atas penyakitmu, itu lebih baik bagimu dan surga akan menantimu kelak. Namun, jika engkau ingin sembuh, aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.’ Wanita itu berkata: ‘ya Rasulullah, aku memilih untuk bersabar, aku mohon Engkau berdoa kepada Allah agar ketika aku kambuh, auratku tidak tersingkap.’ Lalu Rasulullah mendoakannya.”[1] Sungguh mulia wanita ini. Ia memilih untuk sabar, walaupun jika ia mau, doa Rasulullah pasti dikabulkan Allah. Begitu sempurna akhlaknya. Ia lebih mementingkan agar tidak tersingkap auratnya daripada penyakitnya. Dimana saat sekarang ini, wanita lebih suka untuk mempertontonkan auratnya. Sa’irah lebih mementingkan kesabaran daripada sembuh dan bisa jadi dengan kesembuhannya itu dapat menjadikan ia leluasa untuk berbuat maksiat dan melupakan Allah SWT. Wanita ini ketika wafatnya begitu dipuji oleh Rasulullah karena mendapat jaminan surga yang tertinggi.
Kisah yang bersumber pada Rasulullah saw ini menginspirasiku akan dua hal. Sejak membacanya dan kurenungkan, aku memutuskan untuk menggunakan jilbab dan yang terpenting adalah aku tidak pernah lagi berdoa untuk meminta kesembuhan bagi anak ku. Aku hanya berdoa: “Ya Allah, jadikanlah anak ku ini sebagai penyejuk hati bagiku dan sesuatu yang selalu menjadikan sebab kedekatanku kepada Engkau. Engkau lah sebaik-baik pelindung baginya. Jadikanlah kesabaran selalu di dalam hatiku dalam menghadapinya dan jadikanlah kesabaran itu kelak yang menghantarkan aku untuk dapat melihat wajah Mu yang Maha Agung…..Ya Allah, sungguh aku rindu untuk bersimpuh dihadapan Mu kelak dalam keadaan Engkau ridho kepadaku.”

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri
 
 
 
 

[1] Shahih Al Bukhari (5652), Muslim (2576) dan Ahmad (323)

Friday 4 November 2011

Panutan Zaman

“(Ibrahim berkata): ‘Ya Rabb ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh’. Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) untuk berusaha bersamanya, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, “Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS Ash Shaaffaat [37]:100-102)

Allah Azza wa Jalla mengabadikan sebuah dialog yang sungguh indah antara seorang bapak dengan anaknya. Seorang nabi yang Agung bergelar khaliullah (baca: kesayangan Allah) Ibrahim as dengan puteranya Ismail as yang ketika itu belum menjadi nabi. Sebuah dialog yang penuh dengan kasih sayang. Sang bapak memanggil anaknya dengan sebutan ‘ya bunnayya’ sebuah panggilan yang jika diterjemahkan mengandung nilai yang amat mulia dan dengan ruh kasih yang mengayomi. Bukan sebuah panggilan biasa ataupun panggilan yang menafikan kedudukan sang anak. Dan bukan pula panggilan yang menempatkan sang anak pada posisi dibawah sang ayah. Demikian juga sang anak memanggil sang bapak dengan sebutan ‘ya abati’ sebuah panggilan yang menempatkan sang ayah pada kedudukan yang sebenarnya. Panggilan yang penuh dengan rasa hormat dan ketundukan yang menyertai.

Pernahkah kita membayangkan betapa besarnya peristiwa yang mengiringi dialog pada ayat diatas? Sebuah peristiwa yang terus menjadi buah bibir dan panutan bagi siapapun yang datang sesudah mereka, baik bagi hamba Allah yang sedang berhaji maupun yang tidak diseluruh belahan dunia ini. Itulah peristiwa Qurban.

Dari penafsiran ayat QS Ash Shaafaat diatas, jelas terlihat bahwa penyampaian perintah untuk menyembelih (baca: berkurban) tidaklah didapat Nabi Ibrahim as melalui perantaraan wahyu Allah, tapi hanya berdasarkan mimpi. Allah mengabarkannya melalui mimpi yang berulang-ulang untuk menguji keta’atan nabi Ibrahim as dalam menjalankan perintah Allah Tabarakta wa Ta’ala. Setelah hatinya yakin, barulah nabi Ibrahim as mengabarkannya kepada sang anak. Ia mengajak anaknya untuk berdialog dan meminta pendapatnya sebelum memutuskan. Sungguh sebuah dialog yang indah dan jauh dari kesan arogan.

Kita bertanya ke diri kita sendiri: “Dapatkah kita bertindak demikian sebagai seorang ayah?”

Seharusnya Nabi Ibrahim yang jelas-jelas mendapat mandat dari Allah dan dengan gelar yang ia sandang lebih pantas bersikap arogan demi untuk “melaksanakan perintah Allah” tapi…….tidak demikian adanya. Sang Nabi mengajak puteranya berdialog yang menurut beberapa riwayat terjadi di bukit-bukit berbatu di Mina di dekat tempat melontar jumrah. 

Yang sangat memilukan adalah kita yang masih “bergelar manusia biasa ini” jauh dari mendahulukan dialog kepada anak-anak kita. Terkadang untuk mempertahankan pendapat kita sendiri yang bukan “mandat dari Allah” mungkin yang sering keluar dari lisan kita adalah, “Aku ayahmu dan aku mengetahui mana yang terbaik untukmu.” Bukankah ini sebuah ironi yang memilukan?

Sebagai seorang ayah, kita memiliki begitu banyak kelemahan dan kekurangan untuk dapat berdialog secara baik dengan anak-anak kita. Tidak pernah rasanya kita memberi ruang kepada anak-anak kita untuk mengemukakan pendapatnya tanpa disertai rasa takut dan pamrih. Kita selalu menganggap rendah kemampuan anak-anak kita dan selalu menempatkan diri kita diatas mereka. Disadari atau tidak kita lebih banyak menanamkan betapa pentingnya ‘kecukupan materi’ dibanding dengan ‘kekayaan hati’

                                                
Dunia ini terkadang telah menjadi sebuah ajang untuk memamerkan apa yang sebenarnya hanya sebuah amanah dari Allah. Anak adalah amanah yang Allah berikan agar kita membimbingnya dengan sebaik-baiknya dengan harapan kelak ia menjadi seseorang yang bermanfaat bagi masyarakatnya walaupun dalam ruang lingkup yang amat sederhana. Orang tua bukanlah sosok yang menentukan jalan hidup sang anak tapi lebih kepada mengantarkannya untuk meraih apa yang dicita-citakan. Mendorong dan mengayominya dengan segala kemampuan yang ada untuk menjadikannya bagian dari sebuah masyarakat yang dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat itu sendiri. Bukan menjadi sampah masyarakat yang hanya menjadi sumber hujatan dan ketidakpuasan. Berapa banyak dari kita menjadi pengusaha, pejabat pemerintah maupun anggota dewan tapi mempunyai prilaku layaknya seorang pencuri yang merupakan sampah masyarakat sehingga menjadi sasaran hujatan dan ketidakpuasan? Untuk itulah sudah seharusnya kita lebih membekalinya dengan nilai-nilai “akhlak mulia” selain daripada ilmu yang bermanfaat agar kelak ia memiliki keseimbangan dalam hal kecerdasan ‘otak’ dan ‘hati nurani’.


ooOOOoo


Dalam sebuah pertemuan dengan seorang Bapak disebuah masjid beberapa waktu yang lalu, hamba itu mendapat suatu pelajaran yang amat berharga. Sang Bapak adalah seorang mantan pengusaha yang amat sukses. Dimulai dari usaha kecil yang ia bangun lebih dari empat puluh tahun yang lalu, usahanya berkembang menjadi beberapa bidang usaha dan terus beranak pinak. Kekayaannya amatlah melimpah ruah dan mencukupi bagi anak keturunannya. Ia bercerita kepada hamba itu tentang suka duka bersama istrinya mendidik anak-anak mereka. Ia mengembangkan usahanya sesuai dengan potensi dan bakat yang ada pada anak-anaknya. Ia selalu berdialog dengan mereka. Jika salah satu dari anak-anaknya tidak memiliki minat ataupun kemampuan untuk mengelola suatu usaha yang telah dibangunnya, ia menjualnya dan hasil penjualannya ia pergunakan untuk memperbesar usaha yang telah ada. Begitu seterusnya.

Saat umurnya mencapai enam puluh tahun, ia menyatakan pensiun dan menyerahkan seluruh pengelolaan usahanya kepada tiga anak-anaknya yang telah ia didik dan persiapkan. Demikiannya juga dengan harta yang ia miliki. Ia membagikan seluruh hartanya untuk orang-orang yang telah banyak berjasa kepadanya selama ini sebagai wasiat dan kepada ahli waris termasuk istrinya sesuai dengan hukum fara’id. Ia tidak meninggalkan apapun untuk dirinya. Tidak juga sebuah kendaraanpun. Rumah yang telah mereka tempati selama dua puluh lima tahun terakhir ini adalah atas nama istrinya. Demikian juga dengan beberapa rumah yang lain yang ia buat atas nama anak-anaknya. Ia hanya meminta jatah ‘uang pensiun’ yang ditentukannya sendiri. Ia membisikkan jumlah yang ia terima setiap bulan kepada hamba itu. Sebuah gambaran jumlah yang amat sangat sederhana dibanding dengan seluruh kekayaan yang ia miliki.  

Ia berkata kepada hamba itu, “Saya ingin menghadap Rabb saya dalam keadaan bersih. Saya sangat sadar, bukanlah harta dan bukanlah jabatan yang akan menyelamatkan saya dari azab yang pedih, tapi amal shaleh yang selalu saya lakukan……Saya merasa bahagia saat saya tidak memiliki apapun di dunia ini. Hati saya menjadi tenteram dan damai. Ketika saya memiliki harta dan kekuasaan, keduanya selalu membuat saya cemas dan lalai dari mengingat kebesaran-Nya.

Hamba itu terpaku melihatnya……Seolah tak percaya apa yang sang Bapak sampaikan kepadanya. Sungguh sebuah niat yang sangat mulia dan terlontar dari seseorang yang sungguh mendapat hidayah yang luar biasa dari Allah Azza wa Jalla. Seorang hamba pilihan-Nya.

Dengan mata yang berkaca-kaca sang Bapak kemudian berkata, “Saya selalu berdoa di setiap sujud yang saya lakukan, 'Ya Rabb, wafatkan aku dalam keadaan beribadah kepada-Mu….'”

Rasulullah mengajarkan sebuah doa:
“Ya Allah, baguskanlah untukku agamaku yang jadi pegangan urusanku, baguskan pula untukku duniaku yang jadi tempat penghidupanku, dan baguskanlah akhiratku yang akan menjadi tempat kembali ku nanti, jadikanlah hidup ku ini sebagai bekal bagiku dalam segala kebaikan, serta jadikanlah mati ku sebagai pelepas dari segala keburukan.” (HR. Muslim)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Friday 21 October 2011

Sebuah Bentuk Jihad

“Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya” (QS Al Baqarah [2]:207)

Malam itu, di masjid tempat hamba itu selalu melaksanakan kewajiban nya, seorang Bapak tampak kembali terlihat. Ia bersimpuh di salah satu sudut yang selalu menjadi tempatnya bermunajat. Ia sedang khusyu’ berdoa diantara waktu Maghrib dan Isya. Sudah seminggu ini sang Bapak tidak terlihat. Hamba itu selalu bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang terjadi dengannya. Dari kejauhan, tampak raut wajah sang Bapak yang penuh dengan guratan-guratan kematangan dari berbagai bermacam episode kehidupan yang naik turun bagai gelombang samudera tak bertepi.

Hamba itu tak ingin mengganggunya dalam kekhusyukan doanya. Ketika shalat Isya berjamaah akan didirikan, hamba itu mendekatinya dan mengucapkan salam kepadanya. Ia balas dengan memeluk hamba itu dengan sangat erat bagai dua orang sahabat  yang telah lama tidak bertemu. Ia larut dalam tangis yang terdengar tidak biasa. Hamba itu mempersilahkannya untuk berdiri tepat di belakang imam seperti biasanya tapi kali ini ia menolaknya.

“Saya tak kuat berdiri”  Katanya sembari mengusap air matanya yang masih saja terlihat membasahi wajahnya. Ia memilih tempat di ujung sebelah kiri saf agar leluasa shalat sembari duduk. Hamba itu membiarkannya.

Seusai shalat, didepan hamba itu dan beberapa Jemaah yang bertaut usia jauh dengannya, ia bercerita akan kisahnya. Beberapa hari yang lalu ia baru saja menjalani operasi . Baru kemarin ia kembali dari rumah sakit. Ia diharuskan beristirahat untuk memulihkan kondisinya. Terlebih dengan usianya yang tidak lagi muda membuatnya harus banyak menahan diri termasuk mendatangi rumah Allah pada setiap malamnya.

Ia bercerita, setiap kali mendengar suara adzan dari masjid yang selalu menjadi rumah keduanya itu, hatinya benar-benar bergetar. Tak kuasa ia menahan airmatanya. Ia rindu untuk mendatanginya. Ia ingat sebuah kisah sahabat Rasulullah saw yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Seorang sahabat Nabi yang tidak sempurna fisiknya.

Ummi Maktum, begitu namanya sering disebut adalah seorang yang buta sejak lahir. Walau demikian suara merdunya menjadi sesuatu yang amat bermanfaat. Ia bergantian peran dengan Bilal bin Rabbah sebagai pelantun adzan (baca Muadzzin) yang seringkali di daulat oleh Rasulullah saw. Namanya begitu harum sebagai salah seorang sahabat utama Rasulullah. Ummi Maktum jualah yang menjadi sebab turunnya surah ‘Abasa. Surah ke-80 dalam al Quran yang mengisahkan betapa mulianya seseorang yang selalu haus untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat.

Dalam sebuah pertemuan, Ummi Maktum bertanya kepada Rasulullah saw yang sedang menjelaskan keutamaan untuk shalat berjemaah di masjid. “Ya Rasulullah, apakah saya diwajibkan kendati saya tidak dapat melihat?” Nabi menjawab, “Apakah engkau mendengar seruan adzan dari tempat dimana engkau tinggal?” Ummi Maktum menjawab, “Benar ya Rasulullah, saya mendengarnya.” Nabi kemudian menjawabnya, “Kalau begitu engkau harus pergi ke masjid walaupun dalam keadaan merangkak.” (HR Muslim)

Tangisan sang Bapak kembali terdengar diakhir ia menyampaikan kisah ini. Ia sadar dirinya masih jauh lebih beruntung daripada keadaan sahabat-sahabat Nabi pada masa silam. Mereka harus berjuang mendatangi rumah Allah dalam kegelapan malam, dalam kedinginan yang mengigit disaat musim dingin atau panas terik yang membakar di waktu siang. Sang Bapak memiliki kendaraan yang siap mengantarkannya kemanapun ia pergi. Malam itu, walaupun istrinya melarangnya, ia tetap pergi. Sang istri akhirnya luluh dan mengantarkannya. Perasaannya amat bahagia bagai ia bertemu dengan Rabb-nya.

                                                   ooOOOoo

Terkadang kita lupa bahwa memakmurkan rumah Allah itu adalah sebagian dari amal shaleh yang bernilai jihad. Pengertian jihad amatlah luas. Bukanlah hanya sekedar angkat senjata atau sanggup menahan kemelaratan karena di dzalimi demi tegaknya syiar agama Allah.

Jihad yang bermakna dasar ‘bersungguh-sungguh’ itu, memerlukan pemahaman yang lebih membumi dalam konteks kekinian. Orangtua yang berusaha mendidik anaknya dengan lemah lembut untuk selalu taat pada aturan agama dan membimbing mereka untuk melewati masa-masa sulit dan senang adalah juga jihad. Demikian juga dengan membantu kaum miskin dan papa melalui bantuan pendidikan dan pangan yang terorganisir adalah juga bentuk jihad. Bukankah Allah Tabaraka wa Ta’ala lebih menyukai  seorang muslim yang kuat daripada muslim yang lemah? Adalah tugas kita semua untuk menegakkan syiar agama Allah ini agar menjadi ‘rahmatan lil alamin’ sesuai apa yang Allah kehendaki.

Tapi amatlah disayangkan, sebagai seorang yang mengaku muslim laki-laki, sebahagian dari kita hanya pergi ke masjid sekali dalam seminggu yaitu pada hari Jumat saja. Selain hari itu ia tidak pernah menjejakkan kakinya untuk memasuki rumah Allah. Apakah ini yang dapat dinamakan memakmurkan rumah Allah?

Selain dari ‘bersungguh-sungguh’ sesuatu dapat dikatakan bernilai jihad jika dilakukan dengan ‘konsisten’ yang berarti terus-menerus. Jangankan ‘konsisten’ dan ‘bersungguh-sungguh’, terkadang hal-hal kecil saja tidak dapat kita lakukan dengan baik. Misalnya menghadiri majelis ta’lim (pengajian) yang dilaksanakan di lingkungan keluarga atau tempat tinggal kita. Seberapa sering kita dapat menghadirinya? Demikian juga halnya jika kita diminta untuk terlibat dalam sebuah kegiatan keagamaan seperti kegiatan Qurban di lingkungan tempat tinggal kita? Apakah kita bersedia dengan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kita?

Dalam dunia yang semakin hedonis dan tumpulnya hati nurani seperti saat ini, kita sering lupa. Kita hanya hidup diantara dua waktu shalat. Diantara waktu-waktu shalat itu kita diberikan jatah kehidupan untuk menentukan arah dan langkah yang ingin kita tempuh dan berjihad di jalan Allah sesuai dengan kemampuan. Kelak kita akan mempertanggungjawabkannya dihadapan Yang Maha Hidup, Allah Azza wa Jalla. Kita mulai suatu hari dengan bersujud kepada-Nya di waktu Shubuh untuk kemudian kita pergunakan jatah hidup kita dengan melakukan segala bentuk usaha kehidupan yang bermanfaat hingga waktu Dhuhur menjelang yang mengharuskan kita untuk kembali bersujud kepada-Nya. Kemudian kembali kita menghabiskan jatah hidup kita sampai waktu Ashar menghampiri. Demikian seterusnya…hingga akhirnya pada suatu saat yang telah ditentukan, nafas kita akan terhenti….karena jatah hidup kita telah habis dan kita harus kembali kepada-Nya mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lalui.

Hidup itu begitu sederhana dalam pandangan Allah, tapi tidak dalam pandangan kita manusia yang enggan untuk menyadari hakikat hidup yang sesungguhnya adalah ‘hanya diberi jatah diantara dua sholat itu’.  Hal ini Allah Azza wa Jalla nyatakan di dalam kitab-Nya yang mulia sebagai sebuah penjelasan,

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz Dzaariyaat [51]:56)

Kita ingin selalu meraih segalanya dan lebih mementingkan apa yang ingin kita raih hingga lupa untuk bersujud kepada-Nya. Kalaupun kita ingat untuk bersujud, hal itu sering kali kita lakukan diakhir waktu shalat dan dalam keadaan yang terburu-buru seolah tidak menyadari bahwa sesuatu itu dapat tiba-tiba berakhir sebelum kita meraih apapun dalam hidup ini.

Ketika kekuasaan dan Harta telah dalam genggaman, kita merasa menjadi seorang manusia kuat yang dengan keduanya kita bisa melakukan apa saja, memperoleh apa saja yang jadi keinginan kita, memberi perintah kesana-kemari dan berusaha untuk menentukan jalan hidup anak-anak kita. Menganggap mereka tidak tahu apa-apa dalam menentukan masa depan mereka dan menganggap bahwa hidup yang penuh kemapanan itulah yang membahagiakan. Sungguh sebuah ironi kehidupan yang membutakan. Harta dan kekuasaan itu cenderung untuk mengikis habis empati dan hati nurani seseorang hingga ia tidak pernah puas akan apa telah ia raih dan selalu ingin memperoleh pujian akan apa yang telah dilakukannya.

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad lah di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu menyadarinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, dan memasukkan kamu ke dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar. Dan ada lagi karunia yang lain yang amat kamu sukai yaitu pertolongan Allah dan kemenangan yang dekat waktunya. Dan sampaikanlah berita gembira itni kepada orang-orang yang beriman.” (QS As Shaff [61]:10-13) 

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Thursday 6 October 2011

Bekal Taqwa

“Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi. Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan-Nya yang memiliki sayap, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu.” (QS Faathir [35]:1)

Seorang teman menyampaikan bahwa tahun ini ia telah diberi nikmat oleh Allah Azza wa Jalla untuk mengerjakan ibadah haji dan siap untuk berangkat dalam beberapa hari ke depan. Ia bertanya kepada hamba itu, bekal apa yang harus ia persiapkan untuk memperoleh haji yang ‘mabrur’.

Hamba itu balik bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu persiapkan untuk berjumpa dengan Tuhanmu?”

Ia terdiam sebentar. Raut wajahnya berubah menjadi muram. Sembari menghela nafas, ia berkata, “Aku bukan ingin mati disana, aku hanya ingin meraih haji yang mabrur.”

Perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang hanya dapat dilakukan oleh yang “mampu”. Bukan hanya dari sisi materi tapi juga secara ruhani. Begitu banyak ragam niat seseorang untuk berhaji. Ada yang untuk mengejar status dan ada juga yang sekedar “mencuci dosa” yang telah menumpuk terlalu banyak. Ada juga yang ingin memuaskan hawa nafsunya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu dan pantas untuk menyandang sebuah gelar “Haji” atau “Hajjah”.  Dan yang lebih mengharukan, tanpa disadari atau tidak, bagi sebahagian orang, ibadah haji tak lebih dari sebuah perjalanan wisata dengan membayangkan tempat-tempat indah nan syahdu untuk dikunjungi serta tempat menghabiskan uang untuk berbelanja.

Perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang sarat dengan simbol dan makna. Simbol-simbol yang terukir dalam pakaian ihram yang hanya dua lembar sebagai pertanda bahwa ketika kita menghadap Allah Azza wa Jalla, tak ada sesuatupun yang kita bawa kecuali dua lembar kain yang akan melingkari tubuh kita. Demikian juga ritual melontar jumrah melambangkan perlawanan kita terhadap syaitan yang terus berusaha menggoda. Pertarungan antara keburukan dan kebaikan itu akan selalu ada selama ruh masih bersemayam dalam tubuh kita.

Puncak dari ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah. Allah telah memilih hari ke-9 dalam suatu bulan yang menjadi penutup tahun Hijriyah. Angka 9 adalah simbol pencapaian tertinggi dari seorang hamba dalam hidupnya. Puncak dari segala yang telah ia lakukan. Ketika ia berada di puncak, sudah seharusnya ia melakukan muhasabah (kontemplasi) untuk kembali mensucikan dirinya. Dimulai dari matahari tergelincir di waktu Dhuhur sampai matahari terbenam di waktu Maghrib, seluruh hamba yang berniat haji diharuskan hadir untuk berdiam diri dan melakukan suatu pendekatan dengan Rabb Yang Maha Agung secara sendiri-sendiri. Dan bukan berjamaah. Sampai-sampai Rasulullah Saw sendiri men jama’-qashar shalat Dhuhur dan Ashar nya ketika Wukuf agar leluasa mendekatkan dirinya pada Rabb Yang Maha Hidup. Tidak ada undangan yang lebih agung ketika Allah memulikan hamba-hamba-Nya di Arafah. Dan hal ini terangkai dalam sebuah pesan Rasulullah Saw, "Haji itu adalah Arafah dan tiada yang membatasi seorang hamba dengan Rabb-nya di hari itu, mereka berada dalam pelukan-Nya" (HR Bukhari).

Arafah adalah replika dari sebuah padang mahsyar kelak tempat dimana semua manusia berkumpul untuk menunggu keputusan Allah Azza wa Jalla. Menimbang dengan ‘mizan’ (baca: timbangan yang adil) kebaikan dan keburukan demi untuk mendapat balasan. Di Arafah semua hamba-Nya yang sedang ber wukuf  sama kedudukannya, sama-sama merasakan kebesaran-Nya. Tempat jutaan hamba-hamba-Nya melantunkan pujian dan bermunajat dengan linangan air mata yang membasahi setiap wajah-wajah mereka demi memperoleh ampunan dan ridha-Nya.

Bagi kita yang tidak hadir pada hari itu di Arafah untuk menunaikan ibadah haji, kita disunahkan berpuasa untuk merasakan begitu hebat peristiwa yang hanya sekali saja terjadi sepanjang tahun itu dan kitapun layak mendapat pengampunan Allah Azza wa Jalla atas segala dosa yang telah kita lakukan sepanjang tahun yang lalu.

Semua ritual ibadah haji akan menanamkan kepada kita begitu kecilnya kedudukan kita dihadapan Allah Azza wa Jalla. Begitu besarnya kekuasaan Allah atas segala sesuatu di alam semesta ini. Tidak ada yang layak disembah dan terus menerus diagungkan selain kalimat-kalimat-Nya yang berpadu pada dzikir, tahlil dan tahmid yang tiada henti.

Satu hal yang hamba itu rasakan dalam perjalanan haji nya beberapa tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan dari benak yang lemah ini. Peristiwa itu terjadi setelah selesai mengerjakan tawaf ifadah dan sa’i shafa-marwah pada tanggal 10 Zulhijjah di siang hari yang sangat terik. Setelah ibadah ritual itu, tenggorokan ini terasa amat kering dan tercekat. Hamba itu mencari air zam zam untuk diminum. Biasanya air itu ada di dalam wadah berwarna coklat muda yang tersebar disekeliling Masjidil Haram.  Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Semua wadah itu kosong adanya. Bisa jadi begitu banyak Jemaah yang membutuhkannya sehingga tidak ada yang tersisa sedikitpun.

Hamba itu terus mencari dan melangkahkan kakinya menuju sumur zam-zam yang dikala itu masih berbentuk ruang bawah tanah. Sesuatu yang aneh terjadi. Jalan menuju ruang sumur zam-zam itu tidak terlihat sama sekali karena kerumunan Jemaah yang sedang melakukan thawaf ifadah begitu memuncak. Tak mungkin rasanya hal itu bisa dicapai.

Dalam keadaan seperti itu, keputusasaan itu menyeruak memenuhi jiwa yang labil ini. Istighfar terus dilantunkan, tasbih dan tahmid terus mengiringi langkah yang mulai terasa berat untuk ditapaki. Akhirnya hamba itu itu duduk bersandar pada sebuah tiang penopang Masjidil Haram sembari berdoa pada Rabb-nya memohon pertolongan akan keadaan jiwanya tak sanggup lagi untuk berdiri. Kepalanya terasa berat dan berputar-putar.

Disaat kepasrahan itu melanda, hamba itu teringat akan kisah seorang ibu yang tegar. Istri dari nabi Ibrahim as yang bernama Hajar. Seorang diri ia berusaha untuk mencari air bagi anaknya Ismail yang terus menerus menangis kehausan. Saat dimana kesulitan itu memuncak dan segala usaha telah dilakukan tanpa ada hasil,  disaat itu pula pertolongan Allah datang dengan air zam zam yang sampai saat ini masih dapat kita nikmati.

Hamba itu terus mengucap, “Ya Rabb, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.”  Sembari memandang ke arah Ka’bah yang terlihat begitu tegar dan indah.  

Tanpa hamba itu sadari, seorang pria berwajah arab dengan memakai pakaian ihram yang masih terlihat bersih dan rapi mendekat ke arahnya. Sang Bapak membawa sebuah cangkir putih yang berisi air zam zam. Tepat di depannya, sang Bapak berhenti dan dengan tersenyum ia memberi cangkir di tangan kanannya kepada hamba itu sembari berkata “Barakallah” dan menepuk pundaknya.

Hamba itu tersenyum lebar kepadanya dan mengucap “Syukran “ berkali-kali. Sang Bapak cepat berlalu.

Hamba itu mengucap kalimat syukur yang tiada putus-putusnya sembari bersujud. Memang benar….malaikat tidak akan pernah menampakkan sayap-sayapnya.…

Hamba itu berkata kepada temannya, “Bawalah bekal taqwa karena hal itu sangat dibutuhkan.” Sesuai dengan pesan Al Quran:


“…Berbekalah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal itu adalah taqwa dan betaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal” (QS Al Baqarah [2]:197)


Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Saturday 27 August 2011

Penyucian Jiwa


“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tidakkah mereka mengetahui, sesungguhnya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS At Taubah [9]:103-104)

Seorang teman bertanya, kenapa kewajiban shalat selalu dihubungkan dengan kewajiban zakat (Aqimu shalah wa attu zakah)? Demikian juga dengan Puasa yang selalu dihubungkan dengan zakat fitrah? Dan ibadah haji yang selalu dihubungkan dengan penyembelihan hewan qurban?

Dalam pengakuan keimanan kepada Allah, ada dua hal yang menjadi fokus hubungan yang harus selalu dibina yaitu: hubungan vertikal kepada Allah (ibadah) dan hubungan horizontal kepada sesama manusia (muammalah). Allah Azza wa Jalla mengajarkan dengan ayat-ayatnya yang suci bahwa setiap ritual ibadah baru dianggap sempurna jika dampaknya telah dirasakan oleh lingkungan sekelilingnya. Untuk itulah sebagai wadah penyempurnaan ibadah selalu harus diiringi dengan sesuatu kegiatan yang bernilai sosial tinggi. Ibadah shalat selalu diikuti dengan menunaikan zakat, ibadah puasa Ramadhan dengan membayar zakat fitrah dan ibadah haji dengan penyembelihan hewan qurban.

Ibadah shalat misalnya, ibadah ini tidak bernilai apa-apa jika tidak berbekas pada jiwa hamba yang melaksanakannya. Allah mengingatkan kita dengan QS Al Maa’uun

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya dan enggan (menolong) dengan barang yang berguna” (QS 107: 4-7)

Kalimat ‘Enggan menolong dengan barang yang berguna’ adalah mengisyaratkan bahwa siapapun yang telah benar melaksanakan shalat, maka akan tumbuh dihatinya sifat kedermawanan (suka monolong) dengan harta yang dimilikinya (materi) ataupun dengan tenaga dan pikiran (non materi) demi memberi kebaikan bagi orang lain. Dari ayat ini timbul pemahaman bahwa kata ‘sedeqah’ itu mempunya makna yang sangat luas. Sedeqah itu tidak hanya diartikan dengan pemberian dalam bentuk materi tapi juga dalam bentuk non materi. Rasulullah Saw pernah bersabda,

“Jangan kalian menganggap remeh suatu kebaikan (sedeqah) walaupun hanya bermuka cerah (senyum) kepada orang lain” (HR Muslim)

Ulama membagi sedeqah materi dalam dua hal, yang pertama adalah zakat yang sifatnya wajib dan yang kedua adalah infaq yang sifatnya sunnat. Kewajiban zakat ditetapkan oleh Al Quran dalam hal bentuknya (zakat Maal, Buah-buahan, ternak dll). Al Quran juga menentukan siapa dari orang-orang yang boleh menerima zakat tersebut yang dijelaskan pada QS At Taubah [9] ayat 60. Sedangkan hadish Rasulullah Saw mengatur syarat kecukupan dari harta yang harus dibayarkan/dikeluarkan zakatnya yang disebut dengan nishab dan juga besaran dari zakat tersebut (2,5%; 5%; 10%).

Berbeda dengan zakat, infaq dapat dilakukan kapan saja dan kepada siapa saja tanpa ada syarat kecukupan harta (nishab) yang harus dipenuhi dengan besaran yang tidak terbatas pula. Kita dapat memberikannya kepada kerabat dekat, jauh, orang miskin, anak yatim, sahabat, teman dan siapa saja yang kita anggap membutuhkan.

“Bagaimana dengan seseorang yang merasa sudah berinfaq sangat banyak selama ini dan sudah merasa cukup sehingga tidak perlu mengeluarkan zakat lagi?” Seorang teman lain bertanya.

Mendahulukan pekerjaan yang bernilai sunnat daripada wajib adalah sebuah pemahaman yang keliru dan tidak dapat diterima adanya. Sama saja hal ini seperti mendahulukan shalat-shalat sunnat seperti dhuha dan tahajud daripada kewajiban shalat yang lima waktu. Demikian pula dengan orang yang berpuasa Ramadhan tapi ia tidak shalat wajib. Apakah ibadahnya dapat diterima? Jelas sesuatu yang tertolak.

                                                  ooOOOoo

Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu Umar ra, “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah kepada ummat manusia pada bulan Ramadhan” (HR Bukhari & Muslim).

Zakat fitrah dapat dipahami sebagai sebuah wadah untuk mensucikan jiwa dan sebagai penyempurna bagi seluruh amalan ibadah di bulan Ramadhan sesuai dengan hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu ‘Abbas ra,

“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci jiwa bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan, kata-kata kotor, sekaligus untuk memberi makan orang-orang miskin” (HR Muslim)

Jelaslah bahwa ibadah puasa Ramadhan belum dapat sempurna dijalankan jika kewajiban membayar zakat fitrah  tidak dilakukan.

Jenis makanan apakah yang dikeluarkan untuk zakat fitrah?

Zakat fitrah dikeluarkan berupa makanan pokok atau makanan yang merupakan suatu kebiasaan di suatu tempat atau lingkungan tertentu. Hal ini berdasar pada hadish Rasulullah Saw dari Abdullah bin ‘Amr,

“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ (takaran) kurma masak atau satu sha’ (takaran) gandum atas budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin” (HR Bukhari & Muslim)

Kapan waktu terbaik mengeluarkan zakat fitrah?

Sebagian besar ulama mengajurkannya untuk dikeluarkan sebelum shalat Ied dilakukan atau satu dua hari sebelum pelaksanaan shalat Ied (bukan jauh hari sebelumnya). Hal ini berdasar pada hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu Umar ra,

“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka ia akan diterima. Barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka ia termasuk sedeqah biasa.” (HR Bukhari & Muslim)

“Kepada siapa diberikan zakat fitrah?”

Sebahagian besar ulama menyatakan zakat fitrah harus dikeluarkan berupa makanan pokok yang diberikan kepada fakir miskin secara langsung atau kepada pengelola zakat. Dalam hal diberikan kepada pengelola zakat, dibolehkan dalam bentuk uang untuk membayar/membeli makanan pokok yang telah disiapkan oleh pengelola zakat tersebut untuk kemudian pengelola zakat tersebut akan membagikannya kepada fakir miskin.

Bahwa Rasulullah Saw Bersabda, “Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada manusia, lalu ia diberikan sesuap, dua suap, sebuah dan dua buah kurma.” Salah seorang sahabat bertanya: “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu, wahai Rasulullah?”  Nabi bersabda: “Orang yang tidak menemukan harta yang mencukupinya tapi orang-orang tidak tahu karena kesabarannya, ia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain.” (HR Muslim)


Wallahu a'lam Bissawab,
M. Fachri