“Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi. Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan-Nya yang memiliki sayap, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu.” (QS Faathir [35]:1)
Seorang teman menyampaikan bahwa tahun ini ia telah diberi nikmat oleh Allah Azza wa Jalla untuk mengerjakan ibadah haji dan siap untuk berangkat dalam beberapa hari ke depan. Ia bertanya kepada hamba itu, bekal apa yang harus ia persiapkan untuk memperoleh haji yang ‘mabrur’.
Hamba itu balik bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu persiapkan untuk berjumpa dengan Tuhanmu?”
Ia terdiam sebentar. Raut wajahnya berubah menjadi muram. Sembari menghela nafas, ia berkata, “Aku bukan ingin mati disana, aku hanya ingin meraih haji yang mabrur.”
Perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang hanya dapat dilakukan oleh yang “mampu”. Bukan hanya dari sisi materi tapi juga secara ruhani. Begitu banyak ragam niat seseorang untuk berhaji. Ada yang untuk mengejar status dan ada juga yang sekedar “mencuci dosa” yang telah menumpuk terlalu banyak. Ada juga yang ingin memuaskan hawa nafsunya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu dan pantas untuk menyandang sebuah gelar “Haji” atau “Hajjah”. Dan yang lebih mengharukan, tanpa disadari atau tidak, bagi sebahagian orang, ibadah haji tak lebih dari sebuah perjalanan wisata dengan membayangkan tempat-tempat indah nan syahdu untuk dikunjungi serta tempat menghabiskan uang untuk berbelanja.
Perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang sarat dengan simbol dan makna. Simbol-simbol yang terukir dalam pakaian ihram yang hanya dua lembar sebagai pertanda bahwa ketika kita menghadap Allah Azza wa Jalla, tak ada sesuatupun yang kita bawa kecuali dua lembar kain yang akan melingkari tubuh kita. Demikian juga ritual melontar jumrah melambangkan perlawanan kita terhadap syaitan yang terus berusaha menggoda. Pertarungan antara keburukan dan kebaikan itu akan selalu ada selama ruh masih bersemayam dalam tubuh kita.
Puncak dari ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah. Allah telah memilih hari ke-9 dalam suatu bulan yang menjadi penutup tahun Hijriyah. Angka 9 adalah simbol pencapaian tertinggi dari seorang hamba dalam hidupnya. Puncak dari segala yang telah ia lakukan. Ketika ia berada di puncak, sudah seharusnya ia melakukan muhasabah (kontemplasi) untuk kembali mensucikan dirinya. Dimulai dari matahari tergelincir di waktu Dhuhur sampai matahari terbenam di waktu Maghrib, seluruh hamba yang berniat haji diharuskan hadir untuk berdiam diri dan melakukan suatu pendekatan dengan Rabb Yang Maha Agung secara sendiri-sendiri. Dan bukan berjamaah. Sampai-sampai Rasulullah Saw sendiri men jama’-qashar shalat Dhuhur dan Ashar nya ketika Wukuf agar leluasa mendekatkan dirinya pada Rabb Yang Maha Hidup. Tidak ada undangan yang lebih agung ketika Allah memulikan hamba-hamba-Nya di Arafah. Dan hal ini terangkai dalam sebuah pesan Rasulullah Saw, "Haji itu adalah Arafah dan tiada yang membatasi seorang hamba dengan Rabb-nya di hari itu, mereka berada dalam pelukan-Nya" (HR Bukhari).
Arafah adalah replika dari sebuah padang mahsyar kelak tempat dimana semua manusia berkumpul untuk menunggu keputusan Allah Azza wa Jalla. Menimbang dengan ‘mizan’ (baca: timbangan yang adil) kebaikan dan keburukan demi untuk mendapat balasan. Di Arafah semua hamba-Nya yang sedang ber wukuf sama kedudukannya, sama-sama merasakan kebesaran-Nya. Tempat jutaan hamba-hamba-Nya melantunkan pujian dan bermunajat dengan linangan air mata yang membasahi setiap wajah-wajah mereka demi memperoleh ampunan dan ridha-Nya.
Bagi kita yang tidak hadir pada hari itu di Arafah untuk menunaikan ibadah haji, kita disunahkan berpuasa untuk merasakan begitu hebat peristiwa yang hanya sekali saja terjadi sepanjang tahun itu dan kitapun layak mendapat pengampunan Allah Azza wa Jalla atas segala dosa yang telah kita lakukan sepanjang tahun yang lalu.
Semua ritual ibadah haji akan menanamkan kepada kita begitu kecilnya kedudukan kita dihadapan Allah Azza wa Jalla. Begitu besarnya kekuasaan Allah atas segala sesuatu di alam semesta ini. Tidak ada yang layak disembah dan terus menerus diagungkan selain kalimat-kalimat-Nya yang berpadu pada dzikir, tahlil dan tahmid yang tiada henti.
Satu hal yang hamba itu rasakan dalam perjalanan haji nya beberapa tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan dari benak yang lemah ini. Peristiwa itu terjadi setelah selesai mengerjakan tawaf ifadah dan sa’i shafa-marwah pada tanggal 10 Zulhijjah di siang hari yang sangat terik. Setelah ibadah ritual itu, tenggorokan ini terasa amat kering dan tercekat. Hamba itu mencari air zam zam untuk diminum. Biasanya air itu ada di dalam wadah berwarna coklat muda yang tersebar disekeliling Masjidil Haram. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Semua wadah itu kosong adanya. Bisa jadi begitu banyak Jemaah yang membutuhkannya sehingga tidak ada yang tersisa sedikitpun.
Hamba itu terus mencari dan melangkahkan kakinya menuju sumur zam-zam yang dikala itu masih berbentuk ruang bawah tanah. Sesuatu yang aneh terjadi. Jalan menuju ruang sumur zam-zam itu tidak terlihat sama sekali karena kerumunan Jemaah yang sedang melakukan thawaf ifadah begitu memuncak. Tak mungkin rasanya hal itu bisa dicapai.
Dalam keadaan seperti itu, keputusasaan itu menyeruak memenuhi jiwa yang labil ini. Istighfar terus dilantunkan, tasbih dan tahmid terus mengiringi langkah yang mulai terasa berat untuk ditapaki. Akhirnya hamba itu itu duduk bersandar pada sebuah tiang penopang Masjidil Haram sembari berdoa pada Rabb-nya memohon pertolongan akan keadaan jiwanya tak sanggup lagi untuk berdiri. Kepalanya terasa berat dan berputar-putar.
Disaat kepasrahan itu melanda, hamba itu teringat akan kisah seorang ibu yang tegar. Istri dari nabi Ibrahim as yang bernama Hajar. Seorang diri ia berusaha untuk mencari air bagi anaknya Ismail yang terus menerus menangis kehausan. Saat dimana kesulitan itu memuncak dan segala usaha telah dilakukan tanpa ada hasil, disaat itu pula pertolongan Allah datang dengan air zam zam yang sampai saat ini masih dapat kita nikmati.
Hamba itu terus mengucap, “Ya Rabb, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.” Sembari memandang ke arah Ka’bah yang terlihat begitu tegar dan indah.
Tanpa hamba itu sadari, seorang pria berwajah arab dengan memakai pakaian ihram yang masih terlihat bersih dan rapi mendekat ke arahnya. Sang Bapak membawa sebuah cangkir putih yang berisi air zam zam. Tepat di depannya, sang Bapak berhenti dan dengan tersenyum ia memberi cangkir di tangan kanannya kepada hamba itu sembari berkata “Barakallah” dan menepuk pundaknya.
Hamba itu tersenyum lebar kepadanya dan mengucap “Syukran “ berkali-kali. Sang Bapak cepat berlalu.
Hamba itu mengucap kalimat syukur yang tiada putus-putusnya sembari bersujud. Memang benar….malaikat tidak akan pernah menampakkan sayap-sayapnya.…
Hamba itu berkata kepada temannya, “Bawalah bekal taqwa karena hal itu sangat dibutuhkan.” Sesuai dengan pesan Al Quran:
“…Berbekalah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal itu adalah taqwa dan betaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal” (QS Al Baqarah [2]:197)
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri
No comments:
Post a Comment