Tuesday, 22 February 2011

Hamba-Hamba Yang Mendapat Lindungan-Nya

Apakah yang paling kita nantikan selain dari lindungan Allah SWT kepada kita disaat hari kiamat yang sangat dahsyat itu? Allah berjanji akan melindungi hamba-hamba-Nya yang tunduk patuh kepada perintah-Nya dan berusaha untuk menjauhi larangan-Nya dan yang mencintai-Nya dengan tulus. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah saw menjelaskan tentang hamba-hamba Allah SWT yang akan memperoleh lindungan disaat hari kiamat nanti.

“Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan (lindungan) Allah pada hari kiamat kelak dimana tidak ada yang dapat berlindung kecuali dalam naungan Allah SWT semata. Mereka adalah: Pemimpin yang adil; Seseorang yang masih muda dan tumbuh dalam keadaan senantiasa beribadah kepada Allah SWT; Seseorang yang hatinya senantiasa tertambat dengan (kepentingan) mesjid; Dua orang sahabat yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena kepentingan Allah semata; Seorang laki-laki yang ketika dirayu oleh wanita cantik dan memiliki kekuasaan, maka ia menolaknya dan berkata: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah'; Seseorang yang bersedeqah sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya; Dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai-sampai meneteskan air mata karena rindu kepada Allah.” (HR Bukhari & Muslim)

Diantara ketujuh golongan itu, salah satunya adalah seorang hamba yang ingat kepada Allah ‘Azza wa Jalla di tempat sepi dimana tidak ada seorang manusia lainnya ada didekatnya, ia menangis mengingat akan kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla dan  karena rindu akan perjumpaan dengan-Nya. Tidak ada yang ia harapkan selain rahmat Allah untuknya. Sungguh hal ini membuktikan betapa kekuatan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla sangatlah penting dan dapat menjadi penyelamat bagi kita kelak di hari kiamat.


Bersumber dari buku: Muhammad Saw of Facebook oleh M. Yasser Fachri, Penerbit Hikmah 2009

Wednesday, 9 February 2011

As Salaam

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah , karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb-nya mereka akan kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al An’am [6]: 108)

Suatu waktu Rasulullah Saw sedang diduduk diberanda rumah bersama istrinya Aisyah rha. Lewatlah seorang yahudi yang kemudian mengolok-olok Nabi. Ia mengeluarkan kata-kata yang kasar. Aisyah beranjak dari tempat duduknya dengan muka yang merah dan hendak membalas apa yang dikatakan seorang yahudi tadi. Dengan lembah lembut, Nabi menutup mulut Aisyah dengan telapak tangannya dan berkata: “Lemah lembut lah Aisyah. Allah mencintai hamba-Nya yang lembut. Allah memberi karena kelembutan. Allah tidak memberi karena kekerasan dan tidak juga karena yang lain.” (HR Muslim)

Terkadang kita lupa bahwa ISLAM….berakar dari kata As Salaam yang berarti ketenangan, kedamaian dan ketentraman. Sebuah cermin kehidupan yang amat menentramkan dan terasa indah tidak saja bagi sesama muslim tapi orang-orang diluar islam. Selama ini kita lebih memahami arti islam sebagai sebuah keyakinan yang kuat (baca: keimanan) kepada Allah Azza wa Jala dan Rasul-Nya Muhammad Saw. Sehingga terkadang pemahaman seperti ini lebih membawa kita kepada sikap superioritas dan ekslusivisme. Kita merasa bahwa kitalah yang paling benar dalam bersikap dan bertindak serta memandang rendah orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Kita menjadi tertutup dan tidak nyaman dengan semua yang berbau ‘non muslim’ dan men-generaliasasi bahwa setiap Yahudi adalah wajib dimusuhi dan memberi cap  mereka dengan sebutan ‘Laknatulullah’. Kita amatlah antipati dengan keyakinan yang dianut oleh orang-orang Nasrani dan menjadikan simbol-simbol agama mereka menjadi bahan olok-olokan.

Riwayat diatas mengingatkan kita betapa Rasulullah Saw mengedepankan sikap toleran dan menjauhi sikap kasar dan konfrontatif, walaupun seorang Yahudi mengolok-oloknya. Padahal dengan kekuasaan yang Nabi miliki di Madinah saat itu sebagai pemuka masyarakat, amatlah mudah bagi Nabi untuk melakukan sesuatu.  Sejarah menjelaskan bahwa ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, Nabi telah menandatangani Piagam Madinah sebagai sebuah piagam yang mengangkat Nabi sebagai pimpinan masyarakat Madinah dan mengakui hak-hak setiap penduduk Madinah baik yang muslim maupun non muslim, baik yang arab, yahudi maupun non arab lainnya untuk hidup berdampingan secara damai dan saling melindungi.

As Salam seharusnya menjadi jaminan bagi kita sesama muslim untuk menyebarkan salam yang diartikan dengan persaudaran yang kuat dan kokoh. Dan ketika berhadapan dengan non muslim. kita seharusnya mengedepankan sikap toleran dan jauh dari ‘angker’ dan ‘permusuhan’. Kezaliman tidaklah harus dibalas dengan kezaliman lainnya dan hujatan tidaklah dibalas dengan hujatan sehingga kesan umat islam sebagai ‘rahmatan lil alamin’ akan terasa hambar dan sirna.

Ayat 108 pada surah Al An’am diatas menerangkan kepada kita secara gamblang bahwa hujatan terhadap Yahudi ataupun Nasrani terutama akan hal-hal yang menyangkut ritual (simbol-simbol) agama mereka justru akan memperburuk keadaan dan memperburuk citra Islam. Bukankah ada cara-cara yang lebih elegan dalam menangkis segala kezaliman dan hujatan itu?

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa pencitraan yang positif tentang suatu masyarakat ataupun bangsa dapat membawa kemajuan bagi bangsa tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mengedepankan sifat-sifat yang positif seperti sabar, santun, terdidik dan toleran serta disiplin diri yang tinggi. Dan hal ini harus dilakukan secara terus-menerus tanpa henti. Di dalam Al Quran Allah menyebutnya dengan amar ma’ruf nahi munkar (QS Ali Imran [3]:110).

Dalam sisi yang lain sejarah juga mengajarkan kepada kita bahwa sikap yang buruk justru akan membawa pencitraan yang negatif. Hal ini bisa terlihat dari sikap sebagian dari saudara-saudara kita di belahan bumi Arab yang selalu mengedepankan sikap amarah, arogan dan konfrotatif justru memperoleh citra negatif sehingga memperburuk citra Islam secara keseluruhan?

Sudah saatnya bagi kita untuk merubah semua itu saat ini. Rasulullah telah memberi teladan yang begitu sarat makna dan kebaikan. Adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk mencontohnya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara mu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fushshilat [41]: 34-35)
 

Wallahu a'lam Bissawab

Mohammad Fachri




Friday, 4 February 2011

Hormatilah Anak-Anak Mu!

Dalam suatu majelis Rasulullah mengingatkan para sahabat-sahabatnya, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi Menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.”

Sungguh indah kata-kata Rasulullah. Nabi menggunakan kata “membantu” bukan “mengajar” karena anak adalah amanah Allah ‘Azza wa Jalla yang bukan milik orang tuanya. Orang tua hanya diberi amanah untuk membantu anak tersebut untuk berada dalam jalan kebenaran sedang yang menentukan jalan sang anak adalah Allah SWT semata. Demikian juga kata-kata Rasulullah saw yang menjelaskan sang anak tidak “salah” hanya “keliru” karena sebagai seorang anak ia belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Kata “salah” identik dengan dosa, sedang anak-anak belumlah dikatakan berdosa. Begitu besar penghargaan Rasulullah saw kepada seorang anak.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara pasangan hidup mu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka; jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta memaafkan (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah ujian (bagimu): di sisi Allah ada pahala yang besar.”  (QS  At Taghaabun [64]: 14-15)

Sebahagian orangtua sering kali salah dalam memahami ayat diatas. Anak dianggap ujian yang selalu menyulitkan bagi kedua orangtuanya. Padahal tidaklah demikian adanya. Tuntunan Rasulullah saw dalam dua hadish diatas dapat dijadikan rujukan bahwa anak adalah sumber kebaikan dan amal sholeh bagi kedua orangtuanya. Jika kedua orangtuanya dapat mendidiknya dengan benar dan baik maka hal itu akan berbuah kebaikan bagi keduanya. Ingatlah sabda Rasulullah saw, “Jika seseorang telah wafat, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga hal: sedeqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR Muslim). Seorang anak yang dididik dengan baik akan menjadi anak yang sholeh yang kelak akan menyelamatkan kedua orangtuanya dari azab kubur dan siksaan api neraka. Sungguh merupakan keberuntungan bagi kedua orangtuanya.


Wallahu A'lam BIssawab


M. Fachri




Sumber: Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan oleh M. Quraish Shihab. Hal 263. Penerbit Mizan.