“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah , karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb-nya mereka akan kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al An’am [6]: 108)
Suatu waktu Rasulullah Saw sedang diduduk diberanda rumah bersama istrinya Aisyah rha. Lewatlah seorang yahudi yang kemudian mengolok-olok Nabi. Ia mengeluarkan kata-kata yang kasar. Aisyah beranjak dari tempat duduknya dengan muka yang merah dan hendak membalas apa yang dikatakan seorang yahudi tadi. Dengan lembah lembut, Nabi menutup mulut Aisyah dengan telapak tangannya dan berkata: “Lemah lembut lah Aisyah. Allah mencintai hamba-Nya yang lembut. Allah memberi karena kelembutan. Allah tidak memberi karena kekerasan dan tidak juga karena yang lain.” (HR Muslim)
Terkadang kita lupa bahwa ISLAM….berakar dari kata As Salaam yang berarti ketenangan, kedamaian dan ketentraman. Sebuah cermin kehidupan yang amat menentramkan dan terasa indah tidak saja bagi sesama muslim tapi orang-orang diluar islam. Selama ini kita lebih memahami arti islam sebagai sebuah keyakinan yang kuat (baca: keimanan) kepada Allah Azza wa Jala dan Rasul-Nya Muhammad Saw. Sehingga terkadang pemahaman seperti ini lebih membawa kita kepada sikap superioritas dan ekslusivisme. Kita merasa bahwa kitalah yang paling benar dalam bersikap dan bertindak serta memandang rendah orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Kita menjadi tertutup dan tidak nyaman dengan semua yang berbau ‘non muslim’ dan men-generaliasasi bahwa setiap Yahudi adalah wajib dimusuhi dan memberi cap mereka dengan sebutan ‘Laknatulullah’. Kita amatlah antipati dengan keyakinan yang dianut oleh orang-orang Nasrani dan menjadikan simbol-simbol agama mereka menjadi bahan olok-olokan.
Riwayat diatas mengingatkan kita betapa Rasulullah Saw mengedepankan sikap toleran dan menjauhi sikap kasar dan konfrontatif, walaupun seorang Yahudi mengolok-oloknya. Padahal dengan kekuasaan yang Nabi miliki di Madinah saat itu sebagai pemuka masyarakat, amatlah mudah bagi Nabi untuk melakukan sesuatu. Sejarah menjelaskan bahwa ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, Nabi telah menandatangani Piagam Madinah sebagai sebuah piagam yang mengangkat Nabi sebagai pimpinan masyarakat Madinah dan mengakui hak-hak setiap penduduk Madinah baik yang muslim maupun non muslim, baik yang arab, yahudi maupun non arab lainnya untuk hidup berdampingan secara damai dan saling melindungi.
As Salam seharusnya menjadi jaminan bagi kita sesama muslim untuk menyebarkan salam yang diartikan dengan persaudaran yang kuat dan kokoh. Dan ketika berhadapan dengan non muslim. kita seharusnya mengedepankan sikap toleran dan jauh dari ‘angker’ dan ‘permusuhan’. Kezaliman tidaklah harus dibalas dengan kezaliman lainnya dan hujatan tidaklah dibalas dengan hujatan sehingga kesan umat islam sebagai ‘rahmatan lil alamin’ akan terasa hambar dan sirna.
Ayat 108 pada surah Al An’am diatas menerangkan kepada kita secara gamblang bahwa hujatan terhadap Yahudi ataupun Nasrani terutama akan hal-hal yang menyangkut ritual (simbol-simbol) agama mereka justru akan memperburuk keadaan dan memperburuk citra Islam. Bukankah ada cara-cara yang lebih elegan dalam menangkis segala kezaliman dan hujatan itu?
Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa pencitraan yang positif tentang suatu masyarakat ataupun bangsa dapat membawa kemajuan bagi bangsa tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mengedepankan sifat-sifat yang positif seperti sabar, santun, terdidik dan toleran serta disiplin diri yang tinggi. Dan hal ini harus dilakukan secara terus-menerus tanpa henti. Di dalam Al Quran Allah menyebutnya dengan amar ma’ruf nahi munkar (QS Ali Imran [3]:110).
Dalam sisi yang lain sejarah juga mengajarkan kepada kita bahwa sikap yang buruk justru akan membawa pencitraan yang negatif. Hal ini bisa terlihat dari sikap sebagian dari saudara-saudara kita di belahan bumi Arab yang selalu mengedepankan sikap amarah, arogan dan konfrotatif justru memperoleh citra negatif sehingga memperburuk citra Islam secara keseluruhan?
Sudah saatnya bagi kita untuk merubah semua itu saat ini. Rasulullah telah memberi teladan yang begitu sarat makna dan kebaikan. Adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk mencontohnya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara mu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fushshilat [41]: 34-35)
Wallahu a'lam Bissawab
Mohammad Fachri