“Maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu adalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya hal itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS Az Zumar [39]:49)
Dalam suatu dialog dengan sang Guru, hamba itu pernah ditanya: “Apakah yang engkau ketahui tentang nikmat hidup?”
Hamba itu menjawab: “Nikmat hidup adalah sebuah kesenangan yang dapat dirasakan oleh seseorang yang banyak membawa kebaikan bagi dirinya sebagai anugerah dari Allah Azza wa Jalla.”
Sang Guru tersenyum mendengarnya. Ia ingin mengetahui apa yang ada dalam pikiran muridnya itu disaat keduanya berdialog tentang ujian hidup yang sedang dirasakan di suatu sore beberapa waktu yang lalu. Seperti biasanya Sang Guru membiarkan segala pikiran dan kegundahan hati muridnya itu terlontar ke permukaan terlebih dahulu sebelum sang Guru mengeluarkan kalimat-kalimat penuh hikmah yang menyejukkan.
Sang Guru kemudian berkata, “Nikmat adalah suatu kesenangan ataupun kebahagiaan yang bersifat kekal adanya. Karena itu sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa kesenangan yang kita dapatkan di dunia ini adalah ‘nikmat’.”
Sang Guru lalu membacakan Surah Az Zumar ayat 49 diatas dan melanjutkan dialognya:
“Sebahagian ulama mengatakan bahwa sebenarnya di dunia ini tidak ada kenikmatan. Kenikmatan di dunia ini hanyalah sebatas menghalangi datangnya penderitaan. Sebagaimana penderitaan lapar dan dahaga dapat dihalangi oleh makan dan minum. Jadi makan dan minum bagi yang lapar dan dahaga adalah ‘nikmat’. Demikian pula dengan penderitaan menjadi orang hina dan rendah dihadapan manusia lain dapat dihalangi oleh jabatan dan harta. Dalam hal ini harta dan jabatan itu adalah ‘nikmat’ dan bagi sebagian orang dipahami sebagai tanda ‘kasih sayang’ Allah kepadanya (Baca: QS89:15-20).”
Hamba itu balik bertanya, “Bukankah Allah Azza wa Jalla banyak memakai kata ‘nikmat’ di dalam Al Quran yang merujuk pada suatu kesenangan di dunia?”
“Benar. Yang harus kita ingat adalah ‘nikmat’ itu memiliki tingkatan” Jawab sang Guru.
“Maukah engkau mendengarkan penjelasannya?” Tanya sang Guru lagi.
“Tentu, Guru. Saya akan mendengarkannya.” Jawab Hamba itu.
Sang Guru selalu santun dalam menyampaikan pendapatnya. Tidak pernah memaksakan kehendak dan selalu berpegang teguh pada prinsip kebenaran. Ia selalu sabar menghadapi setiap pertanyaan murid semata wayangnya itu yang berbeda tautan usia jauh dengannya.
“Seorang ulama yang disegani, Ibnu Qayyim Al Jauziyah pernah berkata bahwa nikmat itu ada tiga hal: (1)Nikmat Jasmaniah, (2)Nikmat Ambisi, (3)Nikmat Ruhaniyah.”
“Kenikmatan Jasmaniah adalah jika segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi seperti makanan, minuman dan bersetubuh. Kenikmatan seperti ini adalah kenikmatan yang terendah karena bukan saja manusia yang merasakannya, tapi hewan pun dapat merasakannya. Seandainya kualitas manusia ditentukan oleh kenikmatan jasmaniah yang diperolehnya, tentulah manusia yang paling mulia dan berkualitas ditentukan sebanyak apa ia dapat makan, minum dan berhubungan seksual. Tapi kenyataannya tidak demikian. Merujuklah pada manusia-manusia pilihan Allah seperti Nabi dan para Rasul-Nya. Sebahagian besar dari mereka (kalau tidak seluruhnya) adalah manusia mulia yang jauh dari mendapat porsi makanan, minuman dan hubungan seksual yang mencukupi. Justru musuh-musuh para Nabi dan Rasul tersebut yang memperolehnya.”
“Kenikmatan Ambisi diperoleh seorang dari jabatan, sifat sombong, dan sifat angkuh terhadap orang lain. Ia melampiaskan nafsu berkuasanya dengan memerintah dan mengatur orang lain sesuai dengan keinginannya. Ia amat menikmati setiap perintah dan suruhan kepada orang lain walaupun seringkali hal ini mendapat perlawanan dari orang yang dipimpinnya. Ia akan dimusuhi oleh banyak orang. Contoh yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah prilaku seorang suami kepada istri dan anak-anaknya. Terkadang ia ingin mewarnai jalan hidup istri dan anak-anaknya dengan berlaku arogan dan sombong. Semua harus tunduk kepada titah kuasanya tanpa boleh membantah. Ia meletakkan kebenaran dan keadilan dalam pikirannya sendiri dan tidak pernah ingin dibantah dalam menentukannya.”
Sang guru diam sejenak dan seperti tak ingin meneruskan kalimatnya untuk menjelaskan nikmat yang ketiga. Hamba itu memandang kepadanya. Terlihat wajah sang guru yang memancarkan keteduhan berubah menjadi sendu. Genangan air mata terlihat berkumpul di sudut matanya yang bening. Ia mengusapnya terlebih dahulu sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya dengan suaranya yang terdengar parau.
“Kenikmatan Ruhaniyah hanya dapat dirasakan oleh jiwa yang mulia dan terhormat. Ia adalah jalan para Nabi dan Rasul Allah. Ia merasakan cinta yang sungguh terasa berat dan menyesakkan dada. Kecintaan kepada Allah. Ia tak henti-hentinya mendekatkan dirinya kepada Allah sebagai bentuk kenikmatan yang hakiki. Shalat baginya adalah saat berdialog dengan Rabb-nya yang tidak ingin ditundanya walau sekejap. Ia bangun untuk beribadah serta bermunajat di tengah malam ketika orang lain tidur. Ia berdzikir disaat manusia lain sibuk dengan urusan dunianya masing-masing. Disaat sepi ia menangis karena rindu kepada Allah. Tak habis-habisnya ia merasakan cinta yang tidak pernah padam antara dirinya dengan Allah…Sang Kekasih sejatinya. Setiap kali ia berhubungan dengan manusia, ia selalu mengedepankan sikap santun, sabar, menjaga kehormatan diri dan berwibawa karena ia sadar, Allah Azza wa Jalla menghendakinya untuk berprilaku demikian. Ia selalu menjaga dirinya agar murka Allah tidak diturunkan kepadanya. Ia jauh dari kemaksiatan dan kekufuran.
Sang Guru kemudian melanjutkan dengan suara yang amat perlahan,
“Seseorang yang senang memandang kepada Allah, maka semua orang akan senang memandangnya. Kenikmatan yang ia rasakan dalam kecintaan kepada Allah tidak sebanding dengan kenikmatan apapun di dunia ini walaupun sebesar gunung.”
“Ketahuilah bahwa sesuatu yang paling nikmat di dunia ini adalah mengenal Allah dan mencintai-Nya. Sesuatu yang paling nikmat kelak di akhirat adalah memandang wajah Allah dan mendengar-Nya berbicara tanpa ada perantara.”
Hamba itu kini hanya dapat tertegun dan berurai air mata. Ia masih mendengar pesan akhir sang Guru untuknya.
“Berdoalah selalu dengan sebuah doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw: ‘Ya Rabb, sesungguhnya aku memohon cinta-Mu, cinta hamba-hamba-Mu yang mencintai-Mu, dan ajari aku amal shaleh yang mengantarkan aku untuk memperoleh cinta-Mu’ (HR Ahmad, Al Hakim & At Tirmidzi)”
Sebuah ayat bergaung dibenaknya.....
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena (merindukan) wajah Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS Al Insaan [76]:9)
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri
No comments:
Post a Comment