Dalam sebuah dialog diantara sang Ibu dengan anak lelakinya itu, terdapat sebuah nasehat yang berbekas begitu dalam ke jiwa sang anak:
“Ketahuilah nak, dunia ini adalah pertarungan antara kebaikan dan keburukan yang tidak akan pernah habis-habisnya. Selalulah berada di pihak yang benar agar Allah tetap menjagamu. Kebesaraan seseorang tidaklah selalu berhubungan dengan banyaknya harta dan kekuasaan. Namun kebesaraan terletak pada kebersihan hati, kesucian nurani dan kemampuan akal untuk mengubah keadaan di diri dan di luar diri untuk menjadi lebih baik.”
Sebagai penutup sang Ibu mengutip sebuah ayat Al Quran,
“…Sungguh bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh” (QS21:105)
Sang Ibu benar, dunia ini adalah tempat bercampurnya antara keadilan dan kezaliman; kebaikan dan keburukan; kesalehan dan kekufuran. Dalam QS Luqman ayat 17 (dalam tulisan bagian pertama), Luqman menasehati anak-anaknya untuk selalu mengajak orang-orang di lingkungannya untuk berbuat kebenaran dan menjauhi segala keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Bukankah nabi-nabi Allah beserta pengikut-pengikutnya yang setia adalah pejuang-pejuang kebenaran yang berjuang habis-habisan (baca:jihad) demi tegaknya kebenaran di muka bumi?
Kalau kita merenung lebih jauh, harta dan kekuasaan itu hanyalah sebuah kendaraan untuk mengantarkan seseorang dalam mencapai sesuatu. Bukan sebagai parameter ‘kebesaran’ seseorang. Berapa banyak dari manusia di dunia ini yang berusaha mendapatkan harta dan kekuasaan dengan cara yang jauh dari kebaikan. Saling menyikut dan mencuri adalah hal-hal yang sangat lumrah pada zaman sekarang ini. Mereka berpikir bahwa harta dan kekuasaan itu dapat meng-kekal-kan dirinya tapi pada akhirnya hanya membuat dirinya hina.
Luqman ‘besar’ adalah karena kesalihannya bukan karena hartanya dan bukan pula karena kekuasaan yang dimilikinya. Demikian juga para Nabi dan Rasul-Rasul Allah di muka bumi. Tidak ada satupun dari mereka yang ‘besar’ karena harta atau kekuasaan yang dimilikinya, tidak juga Nabi Daud as dan Sulaiman as yang dinyatakan Allah sebagai Nabi dan Rasul terkaya dengan genggaman kekuasaan lebih dari separuh bumi ini pada masanya. Mereka semua ‘besar’ adalah karena kesalehan yang ada pada diri mereka. Allah Azza wa Jalla beserta para malaikatnya bersalawat atas mereka.
Dua kisah yang dapat menjadi pelajaran bagi kita tentang manusia yang ingin meraih ‘kebesaran’ karena harta dan kekuasaan di dalam Al Quran adalah kisah Qarun dan Firaun. Qarun mencoba untuk menjadi ‘besar’ karena harta yang dimilikinya. Pada akhirnya ia harus menuai kebinasaan yang pedih (baca QS28:76-82). Demikian juga kisah Fir’aun yang mencoba menjadi ‘besar’ karena kekuasaannya yang pada akhirnya mengalami kehancuran (baca QS 10:88-92).
Apakah kita tidak boleh khawatir akan masa depan anak-anak kita?
Allah berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS An Nisaa’ [4]:9)
Allah Azza wa Jalla menyadari kekhawatiran kita dan memberi solusi dengan meminta kita untuk bertaqwa dan bersikap jujur. Ketaqwaan sudah seharusnya bukan hanya dimaknai dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, tapi lebih jauh dari itu: Bagaimana nilai-nilai ketaqwaan itu akan bermuara pada kesalehan individu yang buahnya akan bermanfaat bagi siapa saja. Nilai-nilai ketaqwaan itu akan menyebar bagai angin yang membawa serbuk sari menuju putik untuk selanjutnya menghasilkan bunga yang harum semerbak dan pada akhirnya menjadi buah yang ranum dan manis. Buah yang ranum dan manis inilah yang disebut kesalehan.
Orang tua yang shaleh akan menghasilkan keturunan yang shaleh pula. Hal ini terjadi pada Nabi Ibrahim as yang bergelar khalilullah (baca: kesayangan Allah). Ia memiliki keturunan yang sebagian besarnya menjadi nabi dan Rasul. Dari Istrinya Sarah ia memperoleh Ishak dengan anak keturunannya: Ya’kub (Israil), Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya hingga Isa Ibn Maryam. Demikian juga dari istrinya Hajar, ia memperoleh Ismail dengan anak keturunannya yang bermuara hingga pada Rasulullah Saw.
Demikian pula sebaliknya orangtua yang penuh dengan kekufuran akan menghasilkan keturunan yang kufur pula. Ingatkah kita akan kisah Nabi Nuh yang berdoa kepada Rabb-nya disaat azab Allah turun kepada kaumnya?
“Nuh berkata: ‘Ya Rabb, janganlah Engkau biarkan seorangpun diantara orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan melahirkan melainkan anak-anak yang akan berbuat kekufuran kepada-Mu.” (QS Nuh [71]:26-27)
Anak adalah cermin diri kita sendiri. Sebuah pepatah pernah mengisi ruang di benak kita, “Buruk rupa cermin dibelah”. Ketika kita melihat pada diri anak-anak kita ada sifat atau tabiat yang buruk, kita malu untuk mengakuinya. Kita hanya mengakui sifat atau tabiatnya yang baik dan ideal saja untuk kemudian menimpakan yang buruk pada lingkungan atau pasangan hidup kita. Kita menyalahkan suami/istri sendiri dan menuduhnya telah memberi kontribusi yang buruk terhadap sifat atau tabiat anak-anak kita. Alangkah naïf nya diri kita.
ooOOOoo
Seorang ulama pernah berkata, “Jangan jadikan cermin kesuksesanmu dari apa yang kau dapat tapi bercerminlah pada anakmu. Jika masih ada keburukan di diri anakmu maka engkau belumlah seorang yang dikatakan sukses.”
Mulailah untuk mengajar anak-anak kita dengan nilai-nilai ketaqwaan sedikit demi sedikit. QS Luqman ayat 12 – 19 adalah pedoman yang berlaku umum bagi kita semua. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya harus dipahami dengan benar dan sabar dalam mengajarkannya adalah hal yang terpenting agar kelak anak-anak kita selamat dari segala kekufuran.
Sesuatu yang harus kita pahami dari QS An Nisa ayat 9 diatas adalah ketaqwaan yang kita miliki tidak hanya melahirkan kesalehan individu saja tapi juga pada rezeki yang akan diperoleh oleh anak-anak kita. Allah akan menjamin kehidupan mereka jauh setelah kita tidak lagi berada di dunia yang fana ini.
Ingatkah kita akan kisah nabi Allah Musa as dan seorang hamba-Nya yang memiliki kelebihan? Sebagian ulama menafsirkannya sebagai nabi Khidir walaupun keabsahan riwayatnya masih diperdebatkan.
“Ketika keduanya sampai di sebuah perkampungan, mereka meminta makanan kepada penduduknya tapi penduduknya menolak untuk memberikan makanan kepada mereka. Keduanya mendapatkan suatu rumah yang dindingnya hampir roboh, maka hamba Allah itu memperbaikinya. Musa berkata kepadanya, ‘Jika engkau mau, kamu dapat mengambil upah dari pekerjaan kamu itu’. Hamba itu kemudian berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dan kamu, aku akan memberitahukan kepadamu tujuan dari perbuatanku yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” QS Al Kahfi [18]:77-78)
Hal ini kemudian dijelaskan oleh hamba Allah tersebut:
“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di perkampungan itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan kedua orangtuanya yang tidak mereka ketahui. Kedua orangtua mereka adalah orang-orang yang saleh, maka Allah menghendaki agar kelak mereka sampai kepada masa dewasa dan menemukan harta simpanan itu sebagai rahmat Tuhanmu. Dan bukanlah aku yang melakukan hal itu menurut kemauan diriku sendiri. Demikianlah tujuan-tujuan dari perbuatanku yang kamu tidak dapat sabar karenanya.” (QS Al Kahfi [18]:82)
"...Kedua orang tua mereka adalah orang-orang yang saleh..."
Pantaskah kita mengkhawatirkannya? Sungguh sebuah hikmah kehidupan yang tak ternilai harganya.
Pantaskah kita mengkhawatirkannya? Sungguh sebuah hikmah kehidupan yang tak ternilai harganya.
“Dan sungguh telah Kami mudahkan Al Quran ini untuk menjadi pelajaran, maka adakah yang mengambil pelajaran?” (QS Al Qamar [54]:22)
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri
No comments:
Post a Comment