“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tidakkah mereka mengetahui, sesungguhnya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS At Taubah [9]:103-104)
Seorang teman bertanya, kenapa kewajiban shalat selalu dihubungkan dengan kewajiban zakat (Aqimu shalah wa attu zakah)? Demikian juga dengan Puasa yang selalu dihubungkan dengan zakat fitrah? Dan ibadah haji yang selalu dihubungkan dengan penyembelihan hewan qurban?
Dalam pengakuan keimanan kepada Allah, ada dua hal yang menjadi fokus hubungan yang harus selalu dibina yaitu: hubungan vertikal kepada Allah (ibadah) dan hubungan horizontal kepada sesama manusia (muammalah). Allah Azza wa Jalla mengajarkan dengan ayat-ayatnya yang suci bahwa setiap ritual ibadah baru dianggap sempurna jika dampaknya telah dirasakan oleh lingkungan sekelilingnya. Untuk itulah sebagai wadah penyempurnaan ibadah selalu harus diiringi dengan sesuatu kegiatan yang bernilai sosial tinggi. Ibadah shalat selalu diikuti dengan menunaikan zakat, ibadah puasa Ramadhan dengan membayar zakat fitrah dan ibadah haji dengan penyembelihan hewan qurban.
Ibadah shalat misalnya, ibadah ini tidak bernilai apa-apa jika tidak berbekas pada jiwa hamba yang melaksanakannya. Allah mengingatkan kita dengan QS Al Maa’uun
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya dan enggan (menolong) dengan barang yang berguna” (QS 107: 4-7)
Kalimat ‘Enggan menolong dengan barang yang berguna’ adalah mengisyaratkan bahwa siapapun yang telah benar melaksanakan shalat, maka akan tumbuh dihatinya sifat kedermawanan (suka monolong) dengan harta yang dimilikinya (materi) ataupun dengan tenaga dan pikiran (non materi) demi memberi kebaikan bagi orang lain. Dari ayat ini timbul pemahaman bahwa kata ‘sedeqah’ itu mempunya makna yang sangat luas. Sedeqah itu tidak hanya diartikan dengan pemberian dalam bentuk materi tapi juga dalam bentuk non materi. Rasulullah Saw pernah bersabda,
“Jangan kalian menganggap remeh suatu kebaikan (sedeqah) walaupun hanya bermuka cerah (senyum) kepada orang lain” (HR Muslim)
Ulama membagi sedeqah materi dalam dua hal, yang pertama adalah zakat yang sifatnya wajib dan yang kedua adalah infaq yang sifatnya sunnat. Kewajiban zakat ditetapkan oleh Al Quran dalam hal bentuknya (zakat Maal, Buah-buahan, ternak dll). Al Quran juga menentukan siapa dari orang-orang yang boleh menerima zakat tersebut yang dijelaskan pada QS At Taubah [9] ayat 60. Sedangkan hadish Rasulullah Saw mengatur syarat kecukupan dari harta yang harus dibayarkan/dikeluarkan zakatnya yang disebut dengan nishab dan juga besaran dari zakat tersebut (2,5%; 5%; 10%).
Berbeda dengan zakat, infaq dapat dilakukan kapan saja dan kepada siapa saja tanpa ada syarat kecukupan harta (nishab) yang harus dipenuhi dengan besaran yang tidak terbatas pula. Kita dapat memberikannya kepada kerabat dekat, jauh, orang miskin, anak yatim, sahabat, teman dan siapa saja yang kita anggap membutuhkan.
“Bagaimana dengan seseorang yang merasa sudah berinfaq sangat banyak selama ini dan sudah merasa cukup sehingga tidak perlu mengeluarkan zakat lagi?” Seorang teman lain bertanya.
Mendahulukan pekerjaan yang bernilai sunnat daripada wajib adalah sebuah pemahaman yang keliru dan tidak dapat diterima adanya. Sama saja hal ini seperti mendahulukan shalat-shalat sunnat seperti dhuha dan tahajud daripada kewajiban shalat yang lima waktu. Demikian pula dengan orang yang berpuasa Ramadhan tapi ia tidak shalat wajib. Apakah ibadahnya dapat diterima? Jelas sesuatu yang tertolak.
ooOOOoo
Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu Umar ra, “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah kepada ummat manusia pada bulan Ramadhan” (HR Bukhari & Muslim).
Zakat fitrah dapat dipahami sebagai sebuah wadah untuk mensucikan jiwa dan sebagai penyempurna bagi seluruh amalan ibadah di bulan Ramadhan sesuai dengan hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu ‘Abbas ra,
“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci jiwa bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan, kata-kata kotor, sekaligus untuk memberi makan orang-orang miskin” (HR Muslim)
Jelaslah bahwa ibadah puasa Ramadhan belum dapat sempurna dijalankan jika kewajiban membayar zakat fitrah tidak dilakukan.
Jenis makanan apakah yang dikeluarkan untuk zakat fitrah?
Zakat fitrah dikeluarkan berupa makanan pokok atau makanan yang merupakan suatu kebiasaan di suatu tempat atau lingkungan tertentu. Hal ini berdasar pada hadish Rasulullah Saw dari Abdullah bin ‘Amr,
“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ (takaran) kurma masak atau satu sha’ (takaran) gandum atas budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin” (HR Bukhari & Muslim)
Kapan waktu terbaik mengeluarkan zakat fitrah?
Sebagian besar ulama mengajurkannya untuk dikeluarkan sebelum shalat Ied dilakukan atau satu dua hari sebelum pelaksanaan shalat Ied (bukan jauh hari sebelumnya). Hal ini berdasar pada hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu Umar ra,
“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka ia akan diterima. Barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka ia termasuk sedeqah biasa.” (HR Bukhari & Muslim)
“Kepada siapa diberikan zakat fitrah?”
Sebahagian besar ulama menyatakan zakat fitrah harus dikeluarkan berupa makanan pokok yang diberikan kepada fakir miskin secara langsung atau kepada pengelola zakat. Dalam hal diberikan kepada pengelola zakat, dibolehkan dalam bentuk uang untuk membayar/membeli makanan pokok yang telah disiapkan oleh pengelola zakat tersebut untuk kemudian pengelola zakat tersebut akan membagikannya kepada fakir miskin.
Bahwa Rasulullah Saw Bersabda, “Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada manusia, lalu ia diberikan sesuap, dua suap, sebuah dan dua buah kurma.” Salah seorang sahabat bertanya: “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu, wahai Rasulullah?” Nabi bersabda: “Orang yang tidak menemukan harta yang mencukupinya tapi orang-orang tidak tahu karena kesabarannya, ia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain.” (HR Muslim)
Wallahu a'lam Bissawab,
M. Fachri