Saturday, 27 August 2011

Penyucian Jiwa


“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tidakkah mereka mengetahui, sesungguhnya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS At Taubah [9]:103-104)

Seorang teman bertanya, kenapa kewajiban shalat selalu dihubungkan dengan kewajiban zakat (Aqimu shalah wa attu zakah)? Demikian juga dengan Puasa yang selalu dihubungkan dengan zakat fitrah? Dan ibadah haji yang selalu dihubungkan dengan penyembelihan hewan qurban?

Dalam pengakuan keimanan kepada Allah, ada dua hal yang menjadi fokus hubungan yang harus selalu dibina yaitu: hubungan vertikal kepada Allah (ibadah) dan hubungan horizontal kepada sesama manusia (muammalah). Allah Azza wa Jalla mengajarkan dengan ayat-ayatnya yang suci bahwa setiap ritual ibadah baru dianggap sempurna jika dampaknya telah dirasakan oleh lingkungan sekelilingnya. Untuk itulah sebagai wadah penyempurnaan ibadah selalu harus diiringi dengan sesuatu kegiatan yang bernilai sosial tinggi. Ibadah shalat selalu diikuti dengan menunaikan zakat, ibadah puasa Ramadhan dengan membayar zakat fitrah dan ibadah haji dengan penyembelihan hewan qurban.

Ibadah shalat misalnya, ibadah ini tidak bernilai apa-apa jika tidak berbekas pada jiwa hamba yang melaksanakannya. Allah mengingatkan kita dengan QS Al Maa’uun

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya dan enggan (menolong) dengan barang yang berguna” (QS 107: 4-7)

Kalimat ‘Enggan menolong dengan barang yang berguna’ adalah mengisyaratkan bahwa siapapun yang telah benar melaksanakan shalat, maka akan tumbuh dihatinya sifat kedermawanan (suka monolong) dengan harta yang dimilikinya (materi) ataupun dengan tenaga dan pikiran (non materi) demi memberi kebaikan bagi orang lain. Dari ayat ini timbul pemahaman bahwa kata ‘sedeqah’ itu mempunya makna yang sangat luas. Sedeqah itu tidak hanya diartikan dengan pemberian dalam bentuk materi tapi juga dalam bentuk non materi. Rasulullah Saw pernah bersabda,

“Jangan kalian menganggap remeh suatu kebaikan (sedeqah) walaupun hanya bermuka cerah (senyum) kepada orang lain” (HR Muslim)

Ulama membagi sedeqah materi dalam dua hal, yang pertama adalah zakat yang sifatnya wajib dan yang kedua adalah infaq yang sifatnya sunnat. Kewajiban zakat ditetapkan oleh Al Quran dalam hal bentuknya (zakat Maal, Buah-buahan, ternak dll). Al Quran juga menentukan siapa dari orang-orang yang boleh menerima zakat tersebut yang dijelaskan pada QS At Taubah [9] ayat 60. Sedangkan hadish Rasulullah Saw mengatur syarat kecukupan dari harta yang harus dibayarkan/dikeluarkan zakatnya yang disebut dengan nishab dan juga besaran dari zakat tersebut (2,5%; 5%; 10%).

Berbeda dengan zakat, infaq dapat dilakukan kapan saja dan kepada siapa saja tanpa ada syarat kecukupan harta (nishab) yang harus dipenuhi dengan besaran yang tidak terbatas pula. Kita dapat memberikannya kepada kerabat dekat, jauh, orang miskin, anak yatim, sahabat, teman dan siapa saja yang kita anggap membutuhkan.

“Bagaimana dengan seseorang yang merasa sudah berinfaq sangat banyak selama ini dan sudah merasa cukup sehingga tidak perlu mengeluarkan zakat lagi?” Seorang teman lain bertanya.

Mendahulukan pekerjaan yang bernilai sunnat daripada wajib adalah sebuah pemahaman yang keliru dan tidak dapat diterima adanya. Sama saja hal ini seperti mendahulukan shalat-shalat sunnat seperti dhuha dan tahajud daripada kewajiban shalat yang lima waktu. Demikian pula dengan orang yang berpuasa Ramadhan tapi ia tidak shalat wajib. Apakah ibadahnya dapat diterima? Jelas sesuatu yang tertolak.

                                                  ooOOOoo

Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu Umar ra, “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah kepada ummat manusia pada bulan Ramadhan” (HR Bukhari & Muslim).

Zakat fitrah dapat dipahami sebagai sebuah wadah untuk mensucikan jiwa dan sebagai penyempurna bagi seluruh amalan ibadah di bulan Ramadhan sesuai dengan hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu ‘Abbas ra,

“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci jiwa bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan, kata-kata kotor, sekaligus untuk memberi makan orang-orang miskin” (HR Muslim)

Jelaslah bahwa ibadah puasa Ramadhan belum dapat sempurna dijalankan jika kewajiban membayar zakat fitrah  tidak dilakukan.

Jenis makanan apakah yang dikeluarkan untuk zakat fitrah?

Zakat fitrah dikeluarkan berupa makanan pokok atau makanan yang merupakan suatu kebiasaan di suatu tempat atau lingkungan tertentu. Hal ini berdasar pada hadish Rasulullah Saw dari Abdullah bin ‘Amr,

“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ (takaran) kurma masak atau satu sha’ (takaran) gandum atas budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin” (HR Bukhari & Muslim)

Kapan waktu terbaik mengeluarkan zakat fitrah?

Sebagian besar ulama mengajurkannya untuk dikeluarkan sebelum shalat Ied dilakukan atau satu dua hari sebelum pelaksanaan shalat Ied (bukan jauh hari sebelumnya). Hal ini berdasar pada hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu Umar ra,

“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka ia akan diterima. Barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka ia termasuk sedeqah biasa.” (HR Bukhari & Muslim)

“Kepada siapa diberikan zakat fitrah?”

Sebahagian besar ulama menyatakan zakat fitrah harus dikeluarkan berupa makanan pokok yang diberikan kepada fakir miskin secara langsung atau kepada pengelola zakat. Dalam hal diberikan kepada pengelola zakat, dibolehkan dalam bentuk uang untuk membayar/membeli makanan pokok yang telah disiapkan oleh pengelola zakat tersebut untuk kemudian pengelola zakat tersebut akan membagikannya kepada fakir miskin.

Bahwa Rasulullah Saw Bersabda, “Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada manusia, lalu ia diberikan sesuap, dua suap, sebuah dan dua buah kurma.” Salah seorang sahabat bertanya: “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu, wahai Rasulullah?”  Nabi bersabda: “Orang yang tidak menemukan harta yang mencukupinya tapi orang-orang tidak tahu karena kesabarannya, ia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain.” (HR Muslim)


Wallahu a'lam Bissawab,
M. Fachri

Monday, 22 August 2011

Malam-Malam I'tikaf


“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(QS Ar Rum [30]:30)

Hari-hari akhir Ramadhan adalah ajang pembuktian diri. Pribadi-pribadi yang istiqamah yang benar-benar ingin meraih predikat taqwa akan semakin mendekatkan dirinya pada Allah tanpa ingin kehilangan sedikitpun momen penting ini. Mereka melaksanakan I’tikaf di masjid di malam hari, mendekatkan diri mereka kepada Rabb Yang Maha Agung. Mereka melaksanakan shalat, membaca kitab-Nya, berdzikir dan berdoa dengan linangan air mata. Mengadukan segala permasalahan yang dihadapi kepada Penguasa abadi alam semesta, Rabb Yang Maha Hidup dan Menghidupkan.

Dalam sebuah hadish Qudsi, Allah berkata,

"Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka ia telah menyatakan perang dengan-Ku! Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku selain dengan sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Kemudian, tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang Aku sunnat kan sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memegang, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku penuhi permintaannya dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti Aku melindunginya.” (HR. Bukhari)

Dalam melewati sebuah malam ganjil di sebuah Masjid, hamba itu bertemu dengan seorang Bapak yang dari kerutan di wajahnya tidaklah menampakkan ia dalam keadaan muda lagi. Ia amat tekun melewati malam I’tikaf nya. Terkadang terlihat ia shalat dan disusul dengan berdoa. Terdengar rintihan suaranya di sela doa-doanya yang panjang. Setelah selesai, ia lanjutkan dengan membaca Al Quran yang suaranya nyaris tidak terdengar bagi orang-orang yang ada disekitarnya. Ia membacanya dengan amat perlahan. Terkadang ia berhenti pada ayat-ayat yang menyuruh bersyukur, ia pun bersujud untuk kemudian berdoa kembali, meminta kepada Rabb-nya untuk menjadi hamba-Nya yang bersyukur. Ketika ia sampai pada ayat yang memaparkan beratnya siksa, terdengar rintihan suaranya kembali bergema. Ia terisak sejenak teringat akan beratnya konsekuensi dari dosa yang pernah diperbuat. Selesai membaca Al Quran ia teruskan dengan berdzikir kepada Allah. Melantunkan kalimat-kalimat indah memuji Rabb-nya. Lelehan air matanya terlihat membasahi wajahnya.

Suatu saat ia bangkit menuju tempat dimana hamba itu duduk. Ia ingin memberi hamba itu sebotol air mineral. Dalam suasana I’tikaf di musim kemarau seperti saat ini, suasana sepertiga akhir malam tetap saja menyisakan kegerahan yang dirasakan oleh tubuh yang lemah ini. Sebuah tantangan yang merupakan bahan rayuan syaitan untuk meninggalkan I’tikaf dan pulang merasakan sejuknya kamar tidur ber AC dan kasur yang empuk.

Hamba itu mengucapkan terima kasih kepadanya. Walaupun minuman air putih dalam wadah yang dibawa dari rumah ada di dekatnya, hamba itu tidak ingin menolak pemberian sang Bapak di malam yang penuh berkah ini agar mereka sama-sama memperoleh kebaikan.

Ia bertanya kepada hamba itu, apa alasannya untuk melakukan I’tikaf.

Hamba itu menjawab, “Ingin melewati sepuluh malam yang terindah dimana Allah begitu dekat dengan hamba-Nya.”

“Bukan mengejar Lailatul Qadr?” Tanyanya lagi.

“Hakikatnya begitu, Pak…tapi bukankah Lailatul Qadr itu tidak hanya dimaknai secara fisik?” Jawab hamba itu.

Terlihat wajahnya sedikit bingung dan mengharapkan jawaban yang lebih. Hamba itu mencoba untuk menjelaskannya.

Kisah-kisah di dalam Al Quran seringkali tidak dimaknai secara fisik dimana tempat dan waktu mengambil peran penting. Hal ini dapat kita pahami pada peristiwa Gua Kahfi dan kisah penguasa dunia yang bernama Dzulqarnain (keduanya terdapat dalam QS Al Kahfi); Peristiwa terbelahnya laut merah oleh Nabi Musa as dan pengikutnya dari Bani Israil; Kisah perjalanan Nabi Musa dengan seorang hamba (yang diyakini sebagai Nabi Khidir); Kisah terdamparnya perahu Nabi Nuh. Kisah-kisah ini adalah sebahagian dari kisah-kisah Al Quran yang tidak menyandarkan pada hal yang fisik. Semua kisah diatas tidak memuat tempat dan waktu kejadian.

Bagi sebahagian ulama memaknai Lailatul Qadr secara fisik berarti sama dengan memaknai suatu sejarah yang telah berlalu dan tidak mungkin kembali lagi karena tempat dan waktunya sudah terjadi ribuan tahun yang lalu ketika QS Al Alaq diturunkan pertama kali di gua Hira. Kalaupun dipaksakan untuk dimaknai secara fisik, saat ini mustahil bagi kita untuk bertemu dengan Lailatul Qadr kembali. Terlebih bagi kita yang tinggal bukan di Mekkah. Ada perbedaan waktu beberapa jam sehingga kita tidak mungkin bertemu dengan Lailatul Qadr dalam bentuk yang asli-nya yaitu di sepertiga malam yang akhir. 

Rasulullah Saw sendiri melakukan I’tikaf dan menganjurkan umatnya (dalam beberapa hadish yang shahih) untuk melakukannya di sepuluh malam terakhir dan terutama di malam-malam ganjil. Seandainya kehadiran Lailatul Qadr hanya ketika turunya Al Quran pertama kali, tentu Nabi tidak pernah menganjurkan untuk mencarinya. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Lailatul Qadr  turun secara berkesinambungan setiap tahun.

Hal ini juga dikuatkan oleh QS Al Qadr yang menceritakan betapa hebat nilai dan peristiwanya (ayat 3: “Lebih baik dari seribu bulan”) dan ayat 4: “Malaikat –malaikat dan ruh turun secara berkesinambungan dengan izin Rabb mereka”). Momen yang sulit untuk kita lewatkan dalam kehidupan ini.

Cobalah kita bayangkan, Nabi Saw menyuruh kita mencari di sepuluh malam diantara 354 malam (dalam hitungan kalender Hijriyah) yang ada. Bukankah hal ini mudah bagi kita? Tapi kenapa banyak dari kita tidak melakukannya? Dan bagi yang berusaha mencarinya, mereka hanya memfokuskan diri untuk mendapatkannya secara fisik bagai sebuah momen ‘Detik-Detik Proklamasi’ yang sakral itu.

Kalau kita merenung lebih jauh, Rasulullah dalam menjalani hari-harinya sebelum diutus oleh Allah Azza wa Jalla untuk menjadi Rasul, sering melewati malam-malamnya di gua Hira untuk mencari ‘kedamaian’. Kenapa hal ini Nabi lakukan?

Hanya ada satu jawaban: ‘Karena saat itu jiwanya kosong’

Prilaku jahiliyah telah merusak segala sendi-sendi kehidupan manusia. Tipu-menipu, zinah dan segala kebobrokan prilaku masyarakat telah mendominasi. Nabi bagai terkucil dari masyarakatnya. Ia gundah dan selalu menolak segala bentuk keburukan tapi ia bukanlah seseorang yang punya kuasa akan hal itu. Ia telah mencapai puncak kemapanan hidup dengan menjadi saudagar kaya dan memiliki istri yang kaya pula serta hidup dalam strata sosial yang dihormati. Hanya satu hal yang tidak didapatnya: “Kedamaian”.

Peristiwa turunnya Al Quran pada malam Qadr telah membawa Nabi pada sebuah momen kehidupan yang baru dimana momen itu merubah segala sisi kehidupannya 180 derajat. Kedamaian itu ia peroleh dengan wahyu Illahi yang turun dan dengan kedamaian itu pula Nabi memperoleh kemuliaan hidup. Satu hal yang dapat kita ambil pelajaran bahwa meraih ‘kedamaian’ itu tidaklah dapat diraih secara ‘instan’. Harus melalui proses yang panjang dengan bolak-baliknya Nabi menuju gua Hira sebelum pada akhirnya mendapatkan wahyu.

Hal ini pula yang tercermin pada seseorang yang menginginkan untuk memperoleh Lailatul Qadr.  Ia telah memulainya sejak hari pertama ia menjalankan puasa. Ia akan berusaha untuk tulus dan ikhlas dalam menjalankan setiap ritual ibadahnya yang akan membekas dalam jiwanya yang terdalam. Puncak hal ini ia rasakan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan ketika malam-malamnya ia lewatkan menyendiri dengan Rabb-nya Yang Maha Agung di salah satu rumah-Nya (masjid) dimuka bumi ini. Berdialog dengan-Nya untuk mengadukan keadaannya, memohon kepada Rabb-nya memilihkan masa depan yang baik untuknya dan meminta kepada-Nya untuk dibangunkan sebuah rumah di surga-Nya yang tertinggi. Puncak dari semua itu, ia memperoleh ‘kedamaian’ seperti Rasul-Nya yang memperoleh kedamaian di malam Qadr ketika Al Quran pertama kali diturunkan. 

“Malam itu penuh dengan ‘kedamaian’ sampai terbit fajar” (QS Al Qadr [97]:5)

Pada akhirnya seseorang yang mendapat kedamaian di malam Lailatul Qadr akan terpancar sebuah keadaan yang pernah disampaikan oleh seorang ulama besar Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Menurutnya, “Hati yang memperoleh kedamaian mengantarkan pemiliknya dari ragu menjadi yakin, dari kebodohan kepada ilmu,  dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya kepada ikhlas, lemah kepada teguh dan sombong kepada rendah hati.”

Hal inilah yang dapat dijadikan bukti pertemuan seorang hamba dengan Lailatul Qadr. Sifat-sifat yang baik itu akan memancar dari dirinya. Sebuah momen akan terjadi dimana dirinya akan berubah 180 derajat menuju hal yang lebih baik.

Untuk itulah hadish Qudsi yang telah dituliskan diatas begitu relevan dengan keadaan seorang hamba yang bertemu dengan Lailatul Qadr:

Sebagai bentuk cinta Allah kepada hamba-Nya itu, Allah akan senantiasa menjaga pendengarannya dari sesuatu yang jika didengarnya dapat merugikannya. Allah akan menjaga penglihatannya dari sesuatu yang dapat mempengaruhinya untuk berbuat kemaksiatan. Demikian juga Allah akan menjaga tangannya dari mengambil sesuatu yang haram sehingga terjaga dirinya, pasangan hidupnya dan anak-anaknya.  Kemanapun ia langkahkan kakinya, Allah selalu bersamanya…mengarahkannya untuk melangkah dalam kebaikan sehingga memperoleh rezeki yang diberkahi-Nya. Dan yang terindah dari semuanya adalah Allah akan mengabulkan segala yang diminta oleh hamba-Nya itu.

Suatu saat, ketika waktunya telah sampai, malaikat-malaikat akan datang kepadanya dan berkata, “Wahai jiwa yang memiliki kedamaian, kembalilah kepada Rabb mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya” (QS Al Fajr [89]:27-28) dan iapun menjawabnya dengan “Aku ridha ya Rabb”. Allah kemudian menjawabnya dengan berkata, “Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (yang Kucintai) dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS Al Fajr [89]29-30)

Sungguh sebuah kehidupan yang penuh dengan kedamaian….


Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Monday, 15 August 2011

Teladan Rasulullah Saw dalam Berbuka Puasa


“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: ‘Salaamun alaikum.’ Rabb mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al An’am [6]:54)

Dalam suatu kesempatan berbuka puasa, hamba itu berada di dekat guru yang dihormatinya dan bertanya kepadanya seperti apa Rasulullah Saw berbuka puasa.

Sang guru berkata kepadanya, “Rasulullah Saw selalu menyegerakan berbuka”.

Dalam suatu hadish shahih disebutkan, “Ummatku akan tetap berada diatas sunnahku selama mereka tidak menunda-nunda berbuka puasa hingga munculnya bintang” (HR Ibnu Hibban)

Kemudian sang guru melanjutkan penjelasannya. “Ketika Adzan Maghrib berkumandang, Rasulullah membaca Basmallah dan meminum seteguk air putih diiringi dengan doa yang shahih:

        “Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.”

“Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki” (HR Abu Daud)

Setelah itu Rasulullah Saw mengambil beberapa butir kurma dalam jumlah yang ganjil (1,3 atau 5) untuk dikonsumsi dan memakannya dengan perlahan.

Selesai mengkonsumsi kurma, Rasullah Saw berdoa dengan mengangkat kedua tangannya untuk beberapa saat hingga kemudian menunaikan ibadah shalat Maghrib.

‎"Sesungguhnya orang yang berpuasa itu mempunyai satu kesempatan doa yang tidak akan ditolak pada saat ia berbuka" (HR Ibnu Majah & Al Hakim)

Wallahu 'alam Bissawab
M. Fachri

Thursday, 11 August 2011

Amalan Orang yang Berpuasa


“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (untuk menghibur mereka) dan berkata, ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan memperoleh (kelak) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindung mu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta, sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS Fushshilat [41]: 30-32)

Orang-orang yang berpuasa adalah orang yang banyak dzikir (mengingat Allah) dengan bertasbih, bertahlil, bertakbir dan beristighfar. Amatlah merugi orang-orang yang berpuasa tapi lisannya dan hatinya lalai dari berdzikir mengingat Allah. Bila siang terasa panjang, ia memendekkannya dengan berdzikir, bila didera oleh lapar dan haus yang menghujam, ia menghilangkannya dengan dzikir kepada Allah.

Dalam sebuah sabdanya Rasulullah saw berkata, “Hendaklah lidahmu selalu basah karena mengingat Allah.”  (HR Muslim).

Berapa banyak dari kita selalu melihat masa depan dengan kegelisahan dan apa yang telah berlalu dengan kesedihan. Dalam ayat diatas, Allah ‘Azza wa Jalla menghibur hamba-hamba-Nya yang selalu berdzikir dan menyerahkan diri secara tulus (istiqamah) dengan menurunkan malaikat-malaikatnya kepada mereka untuk membisikkan dalam relung-relung hati mereka yang paling dalam sebuah berita gembira: Mereka akan terhindar dari rasa takut (gelisah) terhadap apa yang ada dihadapan dan rasa sedih terhadap apa yang telah luput serta mereka akan mendapat apa yang mereka harapkan untuk memperolehnya.

                                                          ooOOOoo

“Syaitan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kikir (kejahatan); sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah [2]:268)

Disisi yang lain, kontras dengan para malaikat-Nya yang selalu menghibur, syaitan selalu berusaha untuk menakuti-nakuti dengan kegelisahan, kekurangan dan kesempitan. Hal yang menyebabkan manusia selalu menghitung segala langkah dan tindakan yang diambilnya. Ia selalu memikirkan untung-rugi walaupun tindakannya itu demi untuk beribadah kepada Allah.

Dalam pikiran kita yang serba terbatas ini, kita cenderung melihat bahwa pahala (balasan) yang kita peroleh di dunia ini sebagai sesuatu yang bersifat materi. Kita terpaku pada pandangan: "Siapa yang memperoleh lebih banyak adalah yang paling beruntung." 

Allah Azza wa Jalla menjelaskan di dalam ayat dari surah al Baqarah diatas bahwa pemberian-Nya itu adalah ‘Fadhillah’ yang selalu kita artikan dengan karunia Allah. Karunia Allah dapat dipahami sebagai segala kebaikan (pahala) yang diterima oleh seorang hamba Allah baik di dunia ini dan kelak di akhirat.

Karunia Allah di dunia ini dapat berupa bermacam-macam kebaikan. Rezeki dapat merupakan sesuatu yang haram karena cara memperolehnya adalah haram. Tanda-tanda rezeki yang merupakan karunia-Nya adalah: Sesuatu yang halal. Jika sedikit akan mencukupi. Jika dalam jumlah yang banyak akan menentramkan hati. Demikian juga dengan ilmu. Berapa banyak manusia yang memiliki ilmu di dunia ini tapi ilmunya selalu dipergunakan untuk berbuat curang dan alat penipu antar sesama. Tidaklah demikian dengan ilmu yang merupakan karunia Allah. Ilmu itu akan selalu bermanfaat dan memberi kemaslahatan bagi siapa saja. Demikian juga halnya dengan karunia Allah berupa pasangan hidup dan anak-anak yang merupakan penyejuk hati sehingga ada kecenderungan untuk selalu senang melihatnya dan tentram di dekatnya serta anak-anak yang selalu menjadi penguat jiwa.

Disisi yang lain, surga dan segala kenikmatannya kelak juga merupakan bagian dari karunia Allah Azza wa Jalla. Walaupun saat ini masih kasat mata, tapi mata hati tak akan pernah mengingkarinya karena Al Quran banyak bercerita akan kisahnya.

Hidup ini akan terasa indah jika karunia Allah itu selalu menaungi kehidupan kita. Ujian hidup yang datang silih berganti tidak akan mampu  membuat kita kecewa ataupun berputus asa. Semua akan terasa ringan untuk dijalani karena kita yakin Allah Azza wa Jalla akan selalu bersama hamba-hamba-Nya.

“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia akan merugi), karena disisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS An Nisaa [4]:134)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Friday, 5 August 2011

Harga Sebuah Keikhlasan

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS Ibrahim [14]:34)

Seorang teman bertanya, “Bagaimana caranya untuk ikhlas? Terkadang himpitan hidup dan kesulitan yang dirasa membuat kita selalu ‘iri’ terhadap apa yang diperoleh oleh orang lain. Terkadang kita merasa telah berusaha sekuat tenaga dan hanya mendapat seadanya sedangkan orang lain tersebut tidak berusaha dengan sungguh-sungguh pun memperoleh hasil yang lebih dari kita!”

Hamba itu meminta teman tersebut untuk bercermin pada surah Al Ikhlas. Suatu surah yang dinamakan demikian walau tidak ada satupun kata ‘ikhlas’ di dalamnya. Berbeda dengan surah-surah Al Quran lain yang dinamakan sesuai dengan kata yang ada dalam surah tersebut.

Ikhlas berasal dari kata 'Khalish' yang berarti murni (suci) setelah sebelumnya keruh (kotor). Ikhlas lebih ditafsirkan sebagai keberhasilan usaha untuk memurnikan atau menghilangkan kekeruhan setelah sebelumnya dalam keadaaan yang demikian.

Kehidupan ini dapat diibaratkan demikian. Banyak hal yang dapat membuat hati kita keruh. Ketika kita melihat seseorang lebih berhasil meraih sesuatu, hati kita mempertanyakannya. Demikian juga dalam hal harta dan kekuasaan. Kenapa orang lain dapat lebih berkuasa daripada kita? Usaha yang kita buat sama tapi selalu hasilnya berbeda. Kenapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang dapat menjadikan hati kita terus-menerus menjadi keruh

Di dunia ini kita sangat percaya hukum sebab akibat, tapi terkadang kenyataannya amat berbeda. Seseorang yang usahanya keras belum tentu memperoleh hasil yang lebih baik dari orang yang usahanya sedang-sedang saja. Seorang pekerja keras lebih sering merasa gagal karena hasil yang ia dapatkan tidak sebanding dengan apa yang diharapkannya.

Dalam ayat pertama surah Al Ikhlas, Allah Azza wa Jalla memakai kata-kata ‘Ahad’ yang berarti satu (tunggal). Kenapa Allah tidak memakai kata ‘Wahid’ yang dari segi akar kata berarti sama?

Jika kita memahami lebih dalam ternyata ada sebuah hikmah yang terkandung di dalamnya. Kata ‘Wahid’ selalu diikuti oleh rentetan bilangan yaitu dua, tiga dan seterusnya. Sedangkan kata ‘Ahad’ tidak dapat diikuti oleh penambahan apapun sesudahnya. Ia hanya tunggal, tidak beroleh penambahan dalam hal apapun.

“Katakan! Dia adalah Ahad (Yang Maha Esa). Allah tumpuan harapan” (QS Al Ikhlas [112]:1-2)

Dalam menjalani kehidupan ini, kita selalu meletakkan harapan keberhasilan itu pada parameter materi. Jika kita berhasil meraih sesuatu maka kita memasang target untuk memperoleh yang lebih tinggi atau lebih baik lagi. Misalnya ketika berharap memperoleh satu bagian hari ini dan hal ini berhasil kita dapatkan, maka besok kita akan berharap mendapat dua bagian. Jika hal ini juga berhasil kita peroleh, maka di hari sesudahnya kita akan memasang target yang lebih tinggi lagi, empat bagian misalnya. Harapan yang bersifat keduniaan seperti inilah yang diibaratkan dengan ‘Wahid’. Selalu ada rentetan bilangan (baca: harapan yang lebih besar) yang mengikutinya. Berbeda jika kita menggantungkan harapan kita pada Allah Azza wa Jalla semata yang simbolkan dengan kata ‘Ahad’ maka tak ada target harapan sesudahnya. Kita amat yakin, apapun usaha kita pasti Allah balas dengan kebaikan. Jika hal itu belum sesuai harapan, tak mengapa, karena bisa jadi bagian di dunia ini yang Allah beri sedikit sedangkan bagian di akhirat (yang menjadi tabungan amal) jelas-jelas lebih banyak dan pasti akan kita nikmati kelak di akhirat.

"...Dan barangsiapa yang bertawaqqal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhannya)…” (QS Ath Thalaaq [65]:3)

Allah menjanjikan kecukupan bagi siapa saja yang menggantungkan harapan kepada-Nya. Manusia selalu dituntut untuk melakukan usaha dalam setiap nadi kehidupannya. Manusia akan dinilai dari usahanya yang berwujud pada ‘niat’ dan ‘proses’ yang dijalani. Sedangkan ‘hasil’ yang diperolehnya adalah wilayah kekuasaan Allah untuk menentukannya.

Dan satu yang terkadang kita lupa. Pemberian Allah Azza wa Jalla itu tidaklah sesuai dengan pemikiran kita yang sempit ini. Rezeki itu bermakna sangat luas. Dalam hal materi mungkin saja bisa terbatas, tapi cobalah lihat keadaan kita secara utuh. Kita diberi-Nya nikmat sehat dan nikmat anak-anak yang shalih dan selalu mengingatkan akan keshalihan. Demikian juga pasangan hidup (suami/istri) yang menentramkan hati. Hal lain adalah keselamatan dari tipu-menipu atau suap-menyuap dalam usaha dan perdagangan yang kita lakukan. Dan juga kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup walaupun dengan gaji yang kecil. Bukankah semua ini adalah rezeki dari Allah?

Bukanlah suatu kebetulan jika Allah Azza wa Jalla mengingatkan hamba-hamba-Nya dengan QS Ibrahim ayat 34 diatas. Banyak dari kita yang belum mampu untuk mensyukuri nikmat yang Dia berikan.

“Tidak ada satupun yang setara dengan-Nya” (QS Al Ikhlas [112]:4)

Penutup surah Al Ikhlas, kata ‘Ahad’ kembali disebut bukanlah tanpa makna. Apapun yang kita lakukan di dunia ini akhirnya kembali kepada-Nya. Tujuan dari segala tujuan. Keberhasilan dalam hidup ini hanya dapat diperoleh jika kemantapan hati telah diraih dengan merasakan “tiada yang setara dengan-Nya”. Dia berhak menentukan apapun yang menjadi kehendak-Nya.

Dari Zaid ibn Tsabit, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menjadikan dunia ini sebagai keinginannya, maka Allah akan mencerai beraikan urusannya (sehingga ia menjadi bingung dibuatnya), Allah akan menjadikan kefakiran di depan kedua matanya. Dan tidak datang kepadanya dunia, kecuali yang telah dituliskan untuknya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya (sehingga mudah saja semua itu dijalaninya). Allah akan memberikan kekayaan di dalam hatinya, dan akan datang kepadanya dunia karena dunia itu rendah sekali.” (HR Muslim)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri





Tuesday, 2 August 2011

Kesabaran Yang Indah

“Katakanlah: ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertaqwalah kepada Rabb mu’. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini (pasti) memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az Zumar [39]:10)

Pernahkah kita bertanya kepada diri kita, Bagaimanakah kehidupan ini telah kita lalui? Bandingkanlah diri kita dengan jalan kehidupan yang telah ditempuh oleh hamba-hamba Allah dimana di dalamnya Adam as merasa keletihan; Nuh as merasa dikalahkan dan menangis mengadu kepada Rabb nya; Khalilullah Ibrahim as dicampakkan ke dalam api dengan tetap istiqamah; Ismail as ditelentangkan untuk disembelih; Yusuf as dijual dengan harga yang murah dan mendekam dalam penjara untuk waktu yang lama; Ayyub as kehilangan anak-anak yang disayangi dan hartanya serta menderita penyakit yang harus dijalaninya sendirian; Daud as menangis melebihi ukuran ketika diuji dengan kesusahan dan kepayahan; Sulaiman as merasa tidak berdaya diatas singgananya kehilangan kekuasaan karena penghianatan; Isa as dalam kecemasan yang luar biasa ketika dikejar oleh tentara Rumawi; Dan Rasulullah saw harus berhijrah demi menyelamatkan aqidahnya dan pengikutnya serta berpisah dengan orang-orang yang dicintainya! 

Dalam kehidupan ini ujian datang silih berganti sebagai sebuah ketentuan qadha dan qadar yang telah Allah ‘Azza wa Jalla tetapkan untuk hamba-hamba-Nya. Sebuah ujian kasih sayang untuk membuktikan apakah hamba-hamba-Nya itu telah benar keyakinannya terhadap-Nya?

Allah berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam ujian) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS Al Baqarah [2]:214)

Tidak ada perkara yang lebih agung untuk menghadapi segala bentuk ujian itu selain kesabaran. Allah ‘Azza wa Jalla memakai kata-kata ‘Sabran Jamila’ di QS Al Maa’rij [70]:5 yang berarti ‘kesabaran yang indah’. Kata-kata ini bukannya tanpa makna sebab Allah Azza wa Jalla menghendaki hamba-Nya untuk tetap berpikir positif terhadap apapun yang ditentukan-Nya. Roda kehidupan akan terus bergulir. Ketika berada dibawah, kita hanya menunggu saat untuk berada di atas. Dan ketika kita berada diatas, hal ini hanya sementara sebelum kita berada di bawah kembali. Tidak ada suatu ujian pun yang kekal di dunia ini.

Begitu banyak manusia yang hidup di dunia ini menginginkan agar hidupnya selalu  sesuai dengan kenginan dan harapannya. Ketika kita tidak lagi memiliki kehidupan yang sesuai dengan keinginan dan harapan, kita jadi kecewa, merintih dan marah. Kita menyalahkan diri kita dan semua orang yang ada disekeliling kita. Kita merasa tertekan dan depresi serta menjauhi semua orang.

Bercerminlah kepada Khalifah Umar Ibn Khatab ra. Ketika dalam 40 hari 40 malam ia merasakan nikmat tanpa ada kesulitan atau kesusahan sedikitpun, Umar menyungkur bersujud kepada Allah SWT sambil berkata, “Ya Allah jangan Engkau tinggalkan aku. Jangan Engkau biarkan aku tersesat tanpa ujian Mu.”

Demikian juga dengan seorang sahabat Rasulullah saw yang terkenal kaya, Abdurrahman bin ‘Auf ra, salah seorang sahabat yang dijamin oleh Nabi bersama dengannya di surga kelak. Setiap kali Abdurrahman dihidangkan makanan lezat yang melebihi kebiasaan yang ia makan, ia menolaknya dan berkata, “Yang kutakutkan dalam hidup ini adalah Allah ‘Azza wa Jalla mempercepat memberi nikmat kepadaku di dunia ini, sedangkan di akhirat nanti aku tidak memperoleh apapun lagi karena Allah sudah pernah memberikannya kepadaku!” 

Kesabaran akan mendatangkan keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla kepada hamba-Nya. Jika Allah sudah ridha, maka hidayah, kasih sayang, pertolongan, karunia, ketentraman dan keberkahan hidup itu akan menghinggapi kehidupan sang hamba. Seorang ulama klasik pada zamannya yang bernama Sufyan Ats-Tsauri pernah kedatangan seorang muridnya dan bertanya, “Wahai imam, aku ingin agar Allah ridha kepadaku, apa yang harus aku lakukan?” Sufyan menjawab, “Jika engkau ridha kepada Allah, niscaya Dia akan ridha kepadamu.” Tapi bagaimana caranya?” Tanya sang murid lagi. Sufyan menjelaskan, “Pada saat engkau dibuat senang terhadap mushibah sebagaimana senangnya engkau terhadap nikmat Allah. Sebab keduanya merupakan takdir yang telah ditetapkan Allah atasmu.”

Bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan menemui kita adalah bulan kesabaran. Kita diperintahkan untuk menahan segala hawa nafsu kita untuk tidak makan, minum, berhubungan suami-istri dan lain-lain adalah untuk melatih kesabaran kita dalam menjalani hidup ini. Allah Maha Tahu bahwa kesabaran adalah hal yang paling dibutuhkan untuk mengarungi sebuah kehidupan yang melalaikan ini. Belajarlah untuk sabar, maka kita akan menemui sebuah keindahan dalam kehidupan ini. Keindahan yang tidak akan pernah sebanding dengan sebanyak apapun harta yang kita miliki atau kekuasaan yang kita pegang. 

Rasulullah saw bersabda, “Jika kamu sedang berpuasa, janganlah berkata keji (memaki) dan jangan marah. Apabila ada orang yang mencaci dan mengajakmu bertengkar, hendaknya kamu katakan, ‘Aku sedang berpuasa’. (HR Bukhari dan Muslim) 

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-Nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Bulan Al Quran

Allah berfirman: “Pada bulan ramadhan, diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya) berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS Al Baqarah [2]:185)

Manusia dalam kehidupannya selalu melupakan jati diri nya. Darimana ia berasal dan kepada apa ia akan kembali. Kehidupan dunia yang bertumpu pada kesenangan materi dan kekuasaan yang semu telah melumpuhkan akal dan hatinya. Akalnya selalu berpedoman kepada bagaimana memperoleh keuntungan materi agar dapat hidup berkecukupan dan memperoleh kesenangan. Dan hatinya selalu tidak puas terhadap apapun yang didapat, menyebabkan tertutupnya kepekaan akan keadaan diluar dirinya. Hati yang kemudian dengan mudah untuk dihinggapi segala penyakit seperti iri, dengki, sombong (ujub), riya’ dan takabur.

Rasulullah saw bersabda, “Ada segumpal daging dalam diri manusia itu. Jika ia baik, maka baiklah seluruh keadaannya. Segumpal daging itu adalah hati” (HR Muslim)

Seseorang jika diberi kekuasaan dan harta yang cukup oleh Allah Azza wa Jalla, cenderung ingin melintasi hari-hari dalam kehidupannya sesuai dengan keinginannya. Tidak peduli berapa biaya yang harus dikeluarkannya, semua itu harus diraihnya demi memuaskan nafsunya.

Seorang ulama pernah bertanya kepada seorang muridnya, “Tahukah engkau perbedaan orang miskin dengan orang kaya?” Sang murid menjawab, “Pada seberapa banyak harta yang dimilikinya.”

Ulama itu menyampaikan apa yang diyakininya, “Bukan! Seorang yang kaya ingin selalu menjalani hidupnya sesuai dengan keinginannya. Ia merasa mampu untuk itu. Dan bukan saja dirinya tapi ia juga berusaha untuk mengatur kehidupan orang-orang disekelilingnya apakah itu istrinya, anak-anaknya ataupun orang-orang yang bekerja padanya untuk selalu mengikuti kemauannya. Ia mengganggap dirinya dapat melakukan apa saja walaupun kenyataannya tidak demikian.”

Ulama itu melanjutkan, “Sedangkan seorang yang miskin itu selalu menjalani kehidupannya sesuai apa yang ia dapatkan. Ia selalu bersabar terhadap apapun yang ia peroleh dan menjalani hidup ini dengan bertawaqqal (berpasrah diri kepada Allah). Ia lebih sering tidak dapat melaksanakan keinginannya disebabkan keterbatasan yang ada pada dirinya.”

Jawaban ulama itu mengingatkan kita pada suatu doa yang pernah Rasulullah saw mohonkan kepada Rabb-nya Yang Maha Agung.

“Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, wafatkanlah aku sebagai orang miskin. Dan bangkitkanlah kelak aku bersama dengan orang miskin.” (HR At-Tirmidzi)

Hadish ini bukanlah karena Rasulullah bercita-cita menjadi orang miskin, tapi yang Rasulullah saw minta kepada Allah agar hatinya selalu dilingkupi oleh sifat-sifat kemiskinan. Seberapa banyak pun harta ataupun kekuasaan yang dimiliki tidak akan pernah membuat dirinya merasa mapan.

Rasulullah Saw sangat sadar bahwa harta dan kekuasaan itu letaknya bukan di hati, Jika seseorang menempatkannya di hati maka ia akan merasa kuat dan berharga jika memiliki. Dan sebaliknya, ia akan merasa lemah dan tak berdaya jika kehilangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena melihat dirinya berkecukupan.” (QS Al ‘Alaq [96]:6-7).

Alangkah indahnya jika seorang hamba dapat menjaga hatinya untuk selalu membutuhkan Allah. Sesungguhnya, hal yang paling indah yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini adalah ketika kita merasa begitu miskin dan rendah dihadapan-Nya, lalu kita bermohon akan rahmat-Nya.

Bulan Ramadhan adalah bulan dimana diturunkan permulaan Al Quran yang mulia. Sempatkanlah diri kita untuk membacanya disaat selesai mengerjakan shalat fardhu, apakah itu Shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib atau jauh ditengah malam. Sempatkanlah diri kita antara 10-15 menit untuk membaca dan merenungi terjemahannya agar hati kita menjadi jernih kembali, keimanan kita bertambah kuat dan akal kita akan sehat. Hati yang jernih dan akal yang sehat serta keimanan yang kuat akan membawa kita kepada keadaan yang selalu membutuhkan Allah ‘Azza wa Jalla. Semua yang ada hanya tunduk pada kekuasaan-Nya. Bumi ini akan terus berputar dan dunia ini akan terus bergerak dalam genggaman-Nya, tanpa ada sekutu bagi-Nya.

Sebahagian dari kita menjalani hari-hari dibulan ramadhan dengan membaca Al Quran baik secara perorangan maupun beramai-ramai untuk menyelesaikan sebanyak 1 juz per hari tanpa mengerti akan apa yang mereka baca. Mereka enggan untuk membaca terjemahannya. Mereka hanya mengharap pahala dari apa yang mereka baca. Marilah kita ubah kebiasaan ini. Biasakanlah untuk membaca Al Quran dan terjemahannya agar hidayah Allah dekat kepada kita dan rahmat Allah tercurah kepada kita. Insya Allah, keyakinan akan kekuasaan Allah akan bertambah dan hal ini akan membuat kehidupan kita lebih mudah untuk dijalani.

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri