Monday, 22 August 2011

Malam-Malam I'tikaf


“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(QS Ar Rum [30]:30)

Hari-hari akhir Ramadhan adalah ajang pembuktian diri. Pribadi-pribadi yang istiqamah yang benar-benar ingin meraih predikat taqwa akan semakin mendekatkan dirinya pada Allah tanpa ingin kehilangan sedikitpun momen penting ini. Mereka melaksanakan I’tikaf di masjid di malam hari, mendekatkan diri mereka kepada Rabb Yang Maha Agung. Mereka melaksanakan shalat, membaca kitab-Nya, berdzikir dan berdoa dengan linangan air mata. Mengadukan segala permasalahan yang dihadapi kepada Penguasa abadi alam semesta, Rabb Yang Maha Hidup dan Menghidupkan.

Dalam sebuah hadish Qudsi, Allah berkata,

"Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka ia telah menyatakan perang dengan-Ku! Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku selain dengan sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Kemudian, tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang Aku sunnat kan sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memegang, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku penuhi permintaannya dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti Aku melindunginya.” (HR. Bukhari)

Dalam melewati sebuah malam ganjil di sebuah Masjid, hamba itu bertemu dengan seorang Bapak yang dari kerutan di wajahnya tidaklah menampakkan ia dalam keadaan muda lagi. Ia amat tekun melewati malam I’tikaf nya. Terkadang terlihat ia shalat dan disusul dengan berdoa. Terdengar rintihan suaranya di sela doa-doanya yang panjang. Setelah selesai, ia lanjutkan dengan membaca Al Quran yang suaranya nyaris tidak terdengar bagi orang-orang yang ada disekitarnya. Ia membacanya dengan amat perlahan. Terkadang ia berhenti pada ayat-ayat yang menyuruh bersyukur, ia pun bersujud untuk kemudian berdoa kembali, meminta kepada Rabb-nya untuk menjadi hamba-Nya yang bersyukur. Ketika ia sampai pada ayat yang memaparkan beratnya siksa, terdengar rintihan suaranya kembali bergema. Ia terisak sejenak teringat akan beratnya konsekuensi dari dosa yang pernah diperbuat. Selesai membaca Al Quran ia teruskan dengan berdzikir kepada Allah. Melantunkan kalimat-kalimat indah memuji Rabb-nya. Lelehan air matanya terlihat membasahi wajahnya.

Suatu saat ia bangkit menuju tempat dimana hamba itu duduk. Ia ingin memberi hamba itu sebotol air mineral. Dalam suasana I’tikaf di musim kemarau seperti saat ini, suasana sepertiga akhir malam tetap saja menyisakan kegerahan yang dirasakan oleh tubuh yang lemah ini. Sebuah tantangan yang merupakan bahan rayuan syaitan untuk meninggalkan I’tikaf dan pulang merasakan sejuknya kamar tidur ber AC dan kasur yang empuk.

Hamba itu mengucapkan terima kasih kepadanya. Walaupun minuman air putih dalam wadah yang dibawa dari rumah ada di dekatnya, hamba itu tidak ingin menolak pemberian sang Bapak di malam yang penuh berkah ini agar mereka sama-sama memperoleh kebaikan.

Ia bertanya kepada hamba itu, apa alasannya untuk melakukan I’tikaf.

Hamba itu menjawab, “Ingin melewati sepuluh malam yang terindah dimana Allah begitu dekat dengan hamba-Nya.”

“Bukan mengejar Lailatul Qadr?” Tanyanya lagi.

“Hakikatnya begitu, Pak…tapi bukankah Lailatul Qadr itu tidak hanya dimaknai secara fisik?” Jawab hamba itu.

Terlihat wajahnya sedikit bingung dan mengharapkan jawaban yang lebih. Hamba itu mencoba untuk menjelaskannya.

Kisah-kisah di dalam Al Quran seringkali tidak dimaknai secara fisik dimana tempat dan waktu mengambil peran penting. Hal ini dapat kita pahami pada peristiwa Gua Kahfi dan kisah penguasa dunia yang bernama Dzulqarnain (keduanya terdapat dalam QS Al Kahfi); Peristiwa terbelahnya laut merah oleh Nabi Musa as dan pengikutnya dari Bani Israil; Kisah perjalanan Nabi Musa dengan seorang hamba (yang diyakini sebagai Nabi Khidir); Kisah terdamparnya perahu Nabi Nuh. Kisah-kisah ini adalah sebahagian dari kisah-kisah Al Quran yang tidak menyandarkan pada hal yang fisik. Semua kisah diatas tidak memuat tempat dan waktu kejadian.

Bagi sebahagian ulama memaknai Lailatul Qadr secara fisik berarti sama dengan memaknai suatu sejarah yang telah berlalu dan tidak mungkin kembali lagi karena tempat dan waktunya sudah terjadi ribuan tahun yang lalu ketika QS Al Alaq diturunkan pertama kali di gua Hira. Kalaupun dipaksakan untuk dimaknai secara fisik, saat ini mustahil bagi kita untuk bertemu dengan Lailatul Qadr kembali. Terlebih bagi kita yang tinggal bukan di Mekkah. Ada perbedaan waktu beberapa jam sehingga kita tidak mungkin bertemu dengan Lailatul Qadr dalam bentuk yang asli-nya yaitu di sepertiga malam yang akhir. 

Rasulullah Saw sendiri melakukan I’tikaf dan menganjurkan umatnya (dalam beberapa hadish yang shahih) untuk melakukannya di sepuluh malam terakhir dan terutama di malam-malam ganjil. Seandainya kehadiran Lailatul Qadr hanya ketika turunya Al Quran pertama kali, tentu Nabi tidak pernah menganjurkan untuk mencarinya. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Lailatul Qadr  turun secara berkesinambungan setiap tahun.

Hal ini juga dikuatkan oleh QS Al Qadr yang menceritakan betapa hebat nilai dan peristiwanya (ayat 3: “Lebih baik dari seribu bulan”) dan ayat 4: “Malaikat –malaikat dan ruh turun secara berkesinambungan dengan izin Rabb mereka”). Momen yang sulit untuk kita lewatkan dalam kehidupan ini.

Cobalah kita bayangkan, Nabi Saw menyuruh kita mencari di sepuluh malam diantara 354 malam (dalam hitungan kalender Hijriyah) yang ada. Bukankah hal ini mudah bagi kita? Tapi kenapa banyak dari kita tidak melakukannya? Dan bagi yang berusaha mencarinya, mereka hanya memfokuskan diri untuk mendapatkannya secara fisik bagai sebuah momen ‘Detik-Detik Proklamasi’ yang sakral itu.

Kalau kita merenung lebih jauh, Rasulullah dalam menjalani hari-harinya sebelum diutus oleh Allah Azza wa Jalla untuk menjadi Rasul, sering melewati malam-malamnya di gua Hira untuk mencari ‘kedamaian’. Kenapa hal ini Nabi lakukan?

Hanya ada satu jawaban: ‘Karena saat itu jiwanya kosong’

Prilaku jahiliyah telah merusak segala sendi-sendi kehidupan manusia. Tipu-menipu, zinah dan segala kebobrokan prilaku masyarakat telah mendominasi. Nabi bagai terkucil dari masyarakatnya. Ia gundah dan selalu menolak segala bentuk keburukan tapi ia bukanlah seseorang yang punya kuasa akan hal itu. Ia telah mencapai puncak kemapanan hidup dengan menjadi saudagar kaya dan memiliki istri yang kaya pula serta hidup dalam strata sosial yang dihormati. Hanya satu hal yang tidak didapatnya: “Kedamaian”.

Peristiwa turunnya Al Quran pada malam Qadr telah membawa Nabi pada sebuah momen kehidupan yang baru dimana momen itu merubah segala sisi kehidupannya 180 derajat. Kedamaian itu ia peroleh dengan wahyu Illahi yang turun dan dengan kedamaian itu pula Nabi memperoleh kemuliaan hidup. Satu hal yang dapat kita ambil pelajaran bahwa meraih ‘kedamaian’ itu tidaklah dapat diraih secara ‘instan’. Harus melalui proses yang panjang dengan bolak-baliknya Nabi menuju gua Hira sebelum pada akhirnya mendapatkan wahyu.

Hal ini pula yang tercermin pada seseorang yang menginginkan untuk memperoleh Lailatul Qadr.  Ia telah memulainya sejak hari pertama ia menjalankan puasa. Ia akan berusaha untuk tulus dan ikhlas dalam menjalankan setiap ritual ibadahnya yang akan membekas dalam jiwanya yang terdalam. Puncak hal ini ia rasakan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan ketika malam-malamnya ia lewatkan menyendiri dengan Rabb-nya Yang Maha Agung di salah satu rumah-Nya (masjid) dimuka bumi ini. Berdialog dengan-Nya untuk mengadukan keadaannya, memohon kepada Rabb-nya memilihkan masa depan yang baik untuknya dan meminta kepada-Nya untuk dibangunkan sebuah rumah di surga-Nya yang tertinggi. Puncak dari semua itu, ia memperoleh ‘kedamaian’ seperti Rasul-Nya yang memperoleh kedamaian di malam Qadr ketika Al Quran pertama kali diturunkan. 

“Malam itu penuh dengan ‘kedamaian’ sampai terbit fajar” (QS Al Qadr [97]:5)

Pada akhirnya seseorang yang mendapat kedamaian di malam Lailatul Qadr akan terpancar sebuah keadaan yang pernah disampaikan oleh seorang ulama besar Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Menurutnya, “Hati yang memperoleh kedamaian mengantarkan pemiliknya dari ragu menjadi yakin, dari kebodohan kepada ilmu,  dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya kepada ikhlas, lemah kepada teguh dan sombong kepada rendah hati.”

Hal inilah yang dapat dijadikan bukti pertemuan seorang hamba dengan Lailatul Qadr. Sifat-sifat yang baik itu akan memancar dari dirinya. Sebuah momen akan terjadi dimana dirinya akan berubah 180 derajat menuju hal yang lebih baik.

Untuk itulah hadish Qudsi yang telah dituliskan diatas begitu relevan dengan keadaan seorang hamba yang bertemu dengan Lailatul Qadr:

Sebagai bentuk cinta Allah kepada hamba-Nya itu, Allah akan senantiasa menjaga pendengarannya dari sesuatu yang jika didengarnya dapat merugikannya. Allah akan menjaga penglihatannya dari sesuatu yang dapat mempengaruhinya untuk berbuat kemaksiatan. Demikian juga Allah akan menjaga tangannya dari mengambil sesuatu yang haram sehingga terjaga dirinya, pasangan hidupnya dan anak-anaknya.  Kemanapun ia langkahkan kakinya, Allah selalu bersamanya…mengarahkannya untuk melangkah dalam kebaikan sehingga memperoleh rezeki yang diberkahi-Nya. Dan yang terindah dari semuanya adalah Allah akan mengabulkan segala yang diminta oleh hamba-Nya itu.

Suatu saat, ketika waktunya telah sampai, malaikat-malaikat akan datang kepadanya dan berkata, “Wahai jiwa yang memiliki kedamaian, kembalilah kepada Rabb mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya” (QS Al Fajr [89]:27-28) dan iapun menjawabnya dengan “Aku ridha ya Rabb”. Allah kemudian menjawabnya dengan berkata, “Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (yang Kucintai) dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS Al Fajr [89]29-30)

Sungguh sebuah kehidupan yang penuh dengan kedamaian….


Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

2 comments:

  1. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

    Subhanallah, Syukron jazakallah khoiron katsiron, banyak ilmu yang saya dapatkan disini, khususnya yang aku baca saat ini tentang I'tikaf, salam ukhuwah wahai sauadaraku.

    ReplyDelete
  2. Wal'aikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

    Alhamdulillah...Afwan...Terima kasih atas apresiasinya. Salam ukhwah.

    ReplyDelete