Friday, 22 April 2011

Sebuah Tempat Kembali

Untuk seorang kakak yang dicintai...

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) yaitu kitab (Al Quran) itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.”(QS Fatir [35]:31-32)

Seorang kakak baru saja berpulang kehadirat Allah Azza wa Jalla setelah mendapat ujian penyakit yang cukup lama. Di masa-masa akhir hidupnya, ia harus menetap di sebuah rumah sakit dalam kondisi naik dan turun bagai silih bergantinya berbagai ujian yang dihadapinya selama ini. Akhirnya, setelah lebih 40 hari ia berjuang, Allah Azza Wa Jalla mengirimkan malaikat-malaikat-Nya untuk menjemputnya di suatu siang. Ia sempat berwasiat kepada hamba itu di hari-hari awalnya berada di rumah sakit. Ia ingin dimakamkan sesuai dengan sunnah Nabi. Ia ingin disegerakan dan tidak ingin jenazahnya harus bermalam yang menyebabkan ia terlambat untuk bertemu Rabb-nya Yang Maha Agung. Begitu salah satu dari pesannya.

Walaupun ia berpulang jauh setelah waktu Dhuhur terlewati, kami berusaha untuk memenuhi wasiatnya. Dalam sorotan lampu dua kendaraan pengantar, kami menurunkan jenazahnya di sebuah liang yang bersebelahan dengan kedua orangtuanya dan suaminya yang lebih dulu berpulang daripadanya.

Tidak ada doa bersama setelah nisan kayu bertuliskan namanya disematkan di atas kepala tempatnya tebujur. Hal ini sesuai dengan permintaannya. Kami hanya berdoa sendiri-sendiri, memohon agar Allah Azza wa Jalla memberi kekuatan kepadanya untuk menjawab pertanyaan para malakait-Nya dan memohon agar Allah menaunginya disetiap saat sampai hari kiamat kelak. Begitulah tuntunan Rasulullah Saw dalam mengantarkan jenazah seorang muslim.

Satu persatu pengantar meninggalkan pemakaman itu. Sorotan lampu kedua kendaraan itu berpendar dan meredup. Sepi yang tinggal tanpa kesan apapun. Hamba itu masih duduk dan teringat akan sebuah hadish qudsi yang disampaikan oleh Rasulullah Saw melalui Anas bin Malik ra.

Rasulullah Saw bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya diantara hamba-hamba-Ku ada yang tidak baik keimanannya kecuali dengan kemiskinan dan jika dimudahkan rezeki kepadanya niscaya hal itu akan merusaknya. Diantara hamba-hamba-Ku ada yang tidak baik keimanannya kecuali dengan kekayaan, dan kalau Aku jadikan ia miskin niscaya keadaan itu akan merusaknya. Diantara hamba-hamba-Ku ada orang yang tidak baik keimanannya kecuali dengan kesehatan dan jika aku buat ia sakit niscaya keadaan itu akan merusaknya. Dan diantara hamba-hamba-Ku ada orang yang tidak baik keimanannya kecuali dengan sakit dan jika Aku sehatkan niscaya keadaan itu akan merusaknya. Diantara hamba-hamba-Ku ada yang ingin untuk melakukan segala kebaikan tapi aku tahan ia darinya agar rasa bangga  (ujub) tidak menyusup dalam dirinya. Sesungguhnya Aku mengurusi seluruh urusan hamba-hamba-Ku berdasarkan pengetahuan-Ku tentang apa yang ada dihati mereka. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” (HR Ath-Thabrani)

Maha Kuasa Allah yang selalu mengurusi segala keperluan para hamba-Nya yang beriman. Sungguh manusia tidak dapat menilai seseorang dari apa yang telah ia dapatkan di dunia ini. Keberhasilan dan kesuksesannya yang terlihat oleh mata bisa jadi bukanlah sebuah kebaikan baginya. Kemuliaan seseorang bukanlah terletak dari seberapa banyak harta yang ia kumpulkan di dunia ini dan seberapa besar kekuasaan yang ia genggam tapi lebih kepada ketaqwaan yang bersemai di hati. Ketaqwaan yang akan selalu menerangi kehidupannya sampai akhirnya ia menemui Rabb-nya Yang Maha Agung.

Seorang ulama abad petengahan Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam bukunya yang berjudul Zadul Ma’ad. Sebuah buku yang menjadi sumber referensi yang tidak pernah habis-habisnya bagi siapa saja yang ingin meraih kebahagian dalam naungan agama Allah Azza wa Jalla. Pada mukaddimah bukunya tersebut, ia menulis sebuah pemikiran yang amat gamblang:

“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua yang baik-baik dengan segala sisinya di surga dan ia telah menetapkan semua yang buruk dengan segala sisinya di neraka. Surga adalah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi orang yang baik-baik dan terlarang bagi orang yang jahat. Neraka diperuntukkan bagi orang yang jahat dan buruk dalam perangai dan tidak dapat dimasuki kecuali oleh orang yang jahat. Sedangkan dunia adalah tempat dimana kebaikan dan keburukan itu bercampur. Sebab itu terjadilah di dalamnya ujian atau cobaan agar Allah dapat melihat bagaimana seorang hamba bereaksi atas apa yang menimpanya.

Apabila tiba hari berbangkit kelak, Allah Azza wa Jalla akan memisahkan kedua golongan ini. Dunia sudah binasa. Yang ada hanya dua tempat kembali: Surga dan Neraka. Orang yang beruntung lagi baik, tak pantas baginya kecuali yang baik, ia tidak datang kecuali kepada yang baik, tidak lahir darinya kecuali yang baik dan tidak menemani dirinya kecuali yang baik pula.

Berbeda dengan orang yang rugi lagi jahat, tidak pantas baginya kecuali yang jelek, ia tidak datang kecuali pada yang jelek, dan tidak lahir darinya kecuali yang jelek pula. Orang yang jahat itu terpancar dari hatinya kejelekan melalui lidah dan anggota-anggota tubuhnya.

Tidak jarang pada diri seorang hamba, kedua sifat baik dan buruk ini terangkum menjadi satu. Maka apabila Allah menghendaki padanya suatu kebaikan, niscaya Allah akan mensucikannya dari segala sesuatu yang buruk sebelum kematiannya, sehingga ia datang kepada Allah kelak dalam keadaan suci dan bersih. Untuk mensucikan hamba ini, Allah memudahkan baginya untuk melakukan amal shaleh ketika hidup di dunia dan menuangkan mushibah yang dapat menjadi penebus dosanya. Allah memberikan kekuatan kepada hamba-Nya ini dengan hidayah agar selalu sabar menghadapi semua mushibah yang ia lalui. Salah satunya adalah dengan penyakit.

Dalam keadaan yang lain, Allah Azza wa Jalla membiarkan seorang hamba-Nya menghimpun sifat baik dan buruk ini sampai akhirnya kelak ia menemui kematiannya. Ia terhambat untuk memperoleh ‘bahan pencuci dosa’. Akibatnya kelak ia akan menemui Allah dengan membawa sesuatu yang buruk yang menyebabkan ia harus mendekam untuk sementara waktu di neraka. Sampai kapan?  Hanya Allah lah yang tahu akan hal itu. Yang pasti adalah ia harus menjalani hari-harinya di neraka sampai dirinya bersih dari berbagai keburukan yang melekat pada dirinya. Tidak mungkin suatu keburukan akan berhimpun dengan kebaikan kelak di akhirat. Neraka hanya diperuntukkan untuk keburukan sedangkan surga diperuntukkan bagi segala kebaikan.”

Maha Suci Allah yang selalu menguji hamba-hamba-Nya untuk membersihkan diri mereka agar kelak pertemuan dengan-Nya adalah sesuatu yang membahagiakan hati. Jauh dari kesuraman dan penyesalan.

Rasulullah Saw bersabda, “Ujian akan senantiasa menyertai seorang hamba hingga ia berjalan dimuka bumi, sementara tidak ada lagi satu kesalahan pun pada dirinya.” (HR Ath Tirmidzi)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Wednesday, 30 March 2011

Apakah Mereka Telah Zuhud?

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan dimuka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al Kahfi [18]:45-46)

Pertanyaan itu begitu memukaunya. Hamba itu terdiam sebentar tak mampu untuk menjawabnya. Jarang dalam suasana kehidupan seperti saat sekarang ini, pertanyaan itu muncul. Terlebih dari seseorang yang dikasihi dan telah bersama mengarungi kehidupan rumah tangga lebih dari sewindu. Ia terlihat gundah dengan lingkungan tempat ia berpijak diantara teman-temannya dimana ‘Kebendaan’ dan ‘Pencapaian-pencapaian pribadi itu’ selalu menjadi topik pembicaraan yang tak habis-habisnya. Untuk itu ia bertanya,

“Bagaimana bersikap zuhud dalam lingkungan seperti ini? Disatu sisi kita harus selalu membina silaturrahim, sementara Rasulullah Saw mengajurkan kita untuk bersikap zuhud? Apakah kita harus menutup diri dan menghindar dari pergaulan yang dapat menjerumuskan kita pada kecintaan pada dunia ini? Bukankah sisi ‘modern’ dari sebuah kehidupan itu akan selalu bertumbukan dengan sisi ‘keimanan’ yang ada di hati kita? Bagaimana kita harus bersikap?

‘Zuhud tidaklah diartikan dengan kemiskinan, kekurangan dan menutup diri dari segala pergaulan yang menjerumuskan. Zuhud lebih dimaknai sebagai ‘kesederhanaan sebagai pilihan hidup’. Jika memang pilihan itu terpampang dihadapan kita. Ketika Allah Azza wa Jalla memberi kesempatan kepada seorang hamba untuk hidup dalam kelapangan, justru simbol-simbol kemewahan itu tidak pernah dipertontonkannya kepada siapapun. Ia memilih untuk tetap hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya.

Hamba itu teringat akan sebuah kisah dari seorang khalifah yang agung dimasa Islam, Umar Ibn Khatab ra. Seorang sahabat Nabi Saw yang zuhud. Di awal pemerintahannya, dalam suatu riwayat disampaikan bahwa ia pernah berdoa, “Ya Allah, jadikan dunia ini dalam genggamanku, tapi tidak dihatiku.” Allah Azza wa Jalla mengabulkan doanya. Di masa pemerintahannya 2/3 dunia ini berada dalam genggamannya. Kekuasaan Romawi dan Persia sebagai dua poros kekuatan utama dunia saat itu dapat dikuasainya dengan sangat baik.

Ketika Jerusalem telah dikuasai oleh pasukan Islam, Khalifah Umar ra datang sendiri yang hanya diikuti oleh seorang pengawalnya. Ketika itu ia disambut oleh panglima pasukan Islam, Abu Ubbaidah bin Jarrah ra dan pembesar-pembesar Yerusalem saat itu. Khalifah Umar hanya memakai pakaian yang sangat sederhana sehingga ia diperingatkan oleh Abu Ubaidah untuk mengganti pakaiannya. Khalifah Umar marah dan berkata, “Wahai Abu Ubaidah, dahulu kita adalah manusia yang hina. Allah telah memuliakan kita dengan Islam. Apakah pantas bagi kita untuk menyombongkan diri agar manusia lain memandang kita sebagai orang yang mulia?

Khalifah Umar benar, kemuliaan seseorang bukan terletak pada bagusnya pakaian, mahalnya kendaraan yang ia pergunakan dan simbol-simbol kemewahan lainnya yang ia miliki. Tapi lebih kepada pancaran wajah yang meneduhkan yang dapat membawa kedamaian bagi siapapun yang berhubungan dengannya dan akhlak mulia yang selalu menghiasi perangainya dalam kehidupan sehari-hari. Orang lain mendapat manfaat yang banyak dari keberadaannya.

Seorang sahabat Rasulullah Saw pernah bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan, jika aku mengerjakannya maka aku akan dicintai oleh Allah Azza wa Jalla dan dicintai manusia lain.” Nabi menjawab, “Janganlah kamu rakus terhadap dunia, pasti Allah mencintaimu dan janganlah kamu rakus terhadap hak orang lain, pasti orang lain mencintaimu.” (HR Ibnu Majah)

Allah Azza wa Jalla memberi perumpamaan dalam ayat-ayat-Nya yang penuh hikmah yang tersebar di beberapa surah Al Quran bahwa kehidupan dunia ini bagai air hujan. Salah satunya adalah pada QS Al Kahfi diatas. Ini memberi hikmah kepada kita bahwa air hujan yang turun dengan cukup (tidak berlebihan dan tidak pula sedikit) akan membawa keberkahan bagi apapun yang menimpanya. Ia akan menjadikan tanah menjadi subur, hingga tanaman dapat menghasilkan dengan baik. Hal ini akan memuaskan manusia yang secara pasti menggantungkan sumber hidupnya pada tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan. Ketika musim hujan telah berlalu berganti dengan musim kering, tumbuh-tumbuhan itu akan mengering dan tak dapat diselamatkan lagi. Ia akan punah tak berbekas dan dilupakan oleh manusia yang telah memuji sebelumnya.

Kalau kita coba merenung dan mendalami hikmah pada ayat diatas, Allah Azza wa Jalla memberi pengajaran kepada kita bahwa ‘air hujan’ bagaikan ‘rezeki’ yang ia berikan kepada kita. Ketika Allah memberikan rezeki yang lebih pada seseorang, maka ia akan tampak begitu memukau bagi orang-orang yang melihatnya. Bagai tanaman yang tersiram air hujan, akan terlihat menghijau dan segar. Tapi ketika Allah mempersempit rezekinya, maka orang-orang akan cenderung untuk melupakannya. Bahkan yang sering terjadi adalah orang-orang akan cenderung mencelanya seolah kesempitan rezeki itu adalah karena ‘kesalahannya’ dalam mengusahakannya.

Harta dan anak-anak merupakan bagian dari rezeki Allah yang tidak bergantung pada amal shaleh seseorang dalam memperolehnya. Begitu banyak hamba-hamba Allah yang shaleh tapi memperoleh kesempitan rezeki sehingga harus selalu tertatih-tatih dalam menjalani hidupnya. Dalam sisi yang lain, begitu banyak orang-orang kafir yang rezekinya melimpah ruah hingga keluar pernyataannya yang amat sombong, “Bukan aku yang bekerja, tapi uang yang berkerja untukku!” Allah mencela orang-orang yang berpendirian seperti ini dalam QS Al Fajr [89] 15-20.

Rezeki adalah hak Allah dalam menentukan. Kepada siapa Allah akan berikan dan seberapa banyak yang akan Allah berikan. Bukan karena keta'atan dan bukan pula karena kekufuran. Adalah kurang pantas bagi kita untuk membahas kenapa rezeki si A lebih daripada si B. Kenapa si A memperolehnya sedang si B tidak? Kenapa kita harus selalu mempersoalkannya? Bukankah dengan mempertanyakannya, berarti kita mempertanyakan takdir (baca: Qadha & Qadar) yang Allah telah tetapkan puluhan ribu tahun sebelum kehadiran manusia di muka bumi ini? Hal ini adalah sebuah ke-naif-an buat kita untuk mengetahui rahasia-Nya.

Yang seharusnya terjadi, menurut ayat diatas adalah bagaimana cara kita mengisi kehidupan ini dengan amal shaleh yang banyak.  Sadar akan peran kita di masyarakat adalah awal bagi kita untuk melakukan amal shaleh. Seorang pekerja akan bekerja dengan sebaik-baiknya dengan penuh kejujuran. Bukankah ini sebuah amal shaleh? Seorang pengusaha akan selalu memikirkan nasib pekerjanya agar dapat terpenuhi segala kebutuhan mereka dan menginfakkan sebahagian kelebihan keuntungan yang ia peroleh untuk membantu beasiswa anak-anak yatim dan jaminan kesehatan orang-orang miskin. Bukankah ini sebuah amal shaleh? Demikian juga seorang suami yang selalu ingin membahagiakan pasangan hidupnya dan anak-anaknya dengan mencukupi segala kebutuhan hidup mereka dan selalu bersikap lemah lembut serta penuh perhatian. Bukankah ini adalah amal shaleh? Seorang istri yang mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa harus bersikap kasar kepada mereka. Bukankah ini juga amal shaleh?

Zuhud tidaklah bertumbukan dengan kehidupan modern yang lebih menonjolkan 'kebendaan'. Justru sikap zuhud yang ditunjukkan oleh seorang hamba akan menjadi nilai diri yang amat menonjol yang dapat membawa kedamaian dalam pergaulan. Bukankah sikap hidup menonjolkan simbol-simbol kekayaan menyebabkan persaingan yang tiada habis-habisnya karena ingin terlihat lebih diantara yang lain? Sikap zuhud- lah yang dapat meredam semua itu.

Rasulullah Saw bersabda yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian dan celakalah hamba perut! Jika telah terpenuhi, ia bahagia dan apabila tidak terpenuhi maka ia akan merasa sedih.” (HR Bukhari)


Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa,

M. Fachri

Tuesday, 15 March 2011

Kepekaan Hati

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]:46)

Seorang teman menyampaikan bagaimana sulitnya ia  sebagai orangtua untuk menanamkan  nilai-nilai yang baik kepada anak-anaknya. Ia sadar anak-anaknya banyak terpengaruh oleh keadaan lingkungannya yang ia katakan sebagai 'serba instan'. Ditambah lagi dengan 'paradigma internet' yang menjadikan mereka bergaul dalam lingkungan yang luas tanpa mengenal pijakan dan waktu tapi amat terbatas interaksi sosial-nya. Hal yang menyebabkan sang anak tidak peka terhadap keadaan disekelilingnya. 

Hamba itu teringat akan sebuah buku yang pernah dibacanya yang berjudul, ‘The Shallows’ karya Nicholas Carr. Buku ini bercerita bagaimana ‘internet’ sebagai medium yang serba bisa itu membawa perubahan pada pergeseran prilaku berpikir, membaca dan mengingat. Banjir informasi (information ovearloaded) dan kemudahan serta kecepatan dalam memperolehnya membentuk pola dan proses berpikir baru. Lautan informasi memberikan peluang untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan wawasan. Namun disisi yang lain, hal tersebut justru mengikis kapasitas untuk berkonsentrasi dan melakukan kontemplasi (dalam istilah agama kita kenal dengan muhasabah). Kesabaran untuk membaca jauh berkurang. Justru yang banyak dilakukan sekarang adalah ‘membaca cepat’ dan ‘sepintas’ yang disebut dengan ‘scan-read’.

Dalam kesehari-harian, anak-anak kita dipaksa untuk mengerjakan tugas-tugasnya tanpa harus ‘mencari’, ‘membaca’ dan ‘menemukan’ informasi yang dibutuhkannya pada sebuah atau beberapa buku. Ia akan lebih memilih aktivias ‘googling’ (search di google). Memilih artikel yang ia anggap layak dan meng ‘copy’ dan ‘paste’ ke dalam tugas yang sedang dikerjakannya.Tanpa kita sadari hal ini mengikis kapasitasnya untuk berkonsentrasi dan menafikan semangatnya untuk membaca.

Saat ini membaca bukan sebuah aktivitas yang penuh dengan kenikmatan lagi.  Dahulu kita lebih sering untuk menyempatkan diri membaca dimana saja kita berada, apakah itu diruang keluarga, di ruang tidur, di taman atau café dengan ditemani oleh secangkir teh atau kopi. Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk hanyut dengan buku-buku yang kita baca. Tapi kini kita lebih senang untuk membuka laptop/netbook ataupun tablet computer dimanapun kita berada dan lebih mementingkan keberadaan ‘Wifi’ daripada rasa ‘kopi tubruk’ yang ada di café tersebut. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Starbuck café , jumlah pelanggan mereka yang datang dan membaca buku jauh menurun jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang memegang laptop/netbook/tablet dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Social Network menggantikan cara kita untuk berinteraksi satu sama lain. Kita ataupun anak-anak kita berlomba-lomba untuk memiliki sebanyak-banyaknya ‘friend’ dan ‘follower’. Status dan komentar berseliweran tanpa melihat tatanan moral dan sopan santun dalam menyampaikan dan menanggapi pendapat. Kita telah kehilangan sesuatu yang amat mendasar dalam hubungan antar manusia yaitu ‘bertemu’ dan ‘saling menyapa’

Dalam ayat QS Al Hajj di atas Allah Azza wa Jalla mengingatkan kita untuk selalu ‘berjalan’ di muka bumi ini dan melihat apa yang terjadi di sekeliling kita. Hal yang akan mengasah kepekaan kita dengan hati yang kita miliki. Jangan biarkan hati kita ‘buta’ yang menyebabkan segala apa yang ada di diri  sirna tak berbekas. Kita harus selalu berinteraksi untuk saling memahami.

Internet sebagaimana harta adalah ‘media’ (baca: alat) untuk melakukan amal shaleh sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Harta bukanlah jaminan untk memperoleh kebahagian. Berapa banyak manusia yang kaya raya tapi tidak memperoleh kebahagiaan dan hidup dalam keterasingan. Yang pasti adalah harta adalah sebuah alat, yang jika dipergunakan sesuai dengan petunjuk dan ridha Allah akan memperoleh keberkahan yang menyebabkan kebahagiaan yang terus menerus sampai ajal menjelang serta jaminan surga dengan kenikmatan yang tiada terperi (QS11:3). Demikian juga dengan internet, jika digunakan dengan niat yang baik dan benar akan ‘mendukung’ cara kita berinteraksi selama ini bukan ‘menggantikan’ peran interaksi itu sendiri. Dibutuhkan sebuah kearifan untuk menggunakannya demi agar nilai-nilai kepekaan itu tidak hilang dari diri.

Bagaimana untuk terus mengasah kepekaan?

Yang penting kita ingat adalah perintah Iqra’ pada QS Al Alaq yang merupakan ayat-ayat Al Quran yang pertama kali turun. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk ‘tidak sekedar membaca’ tapi juga ‘memahami’ akan apa yang yang ada disekeliling kita.  Allah mengenalkan diri-Nya Yang Maha Agung sebagai Rabb semesta alam dalam ayat pertama QS Al Alaq tersebut yang berbunyi ‘Iqra bismirabbikalladzi khalaq’ bukan tanpa hikmah.

Kita mengenal bahwa dalam bahasa arab, Rabb merujuk pada sifat Allah Yang Maha Berproses (baca: mendidik). Allah Azza wa Jalla mengajarkan kepada kita bahwa banyak dari ciptaan-Nya dibentuk melalui sebuah proses dan tidak diciptakan secara ‘instan’ walaupun Allah Maha Berkuasa atas hal ini. Sebagai contoh adalah dalam penciptaan anak cucu adam (baca: manusia). Allah Azza wa Jalla membentuknya dalam sebuah proses dari segumpal darah menjadi segumpal daging menjadi tulang belulang dst hingga menjadi manusia sempurna yang dilahirkan. Semua proses ini membutuhkan waktu selama lebih dari sembilan bulan (baca QS 23:14). Demikian juga dalam hal penciptaan alam semesta dan bumi yang menjadi bagiannya. Allah Azza wa Jalla menciptakannya dalam  enam masa (waktu) yang hanya Allah yang tahu berapa lama hal itu terjadi. (baca QS 7:54). Kedua hal ini memberi hikmah bahwa untuk mencapai sesuatu kesempurnaan diperlukan sebuah proses untuk mencapainya. Tidak ada yang instan dalam hidup ini.

Hal ini juga yang dapat menjelaskan kenapa seorang hamba Allah yang mengaku beriman harus menjalani setiap ujian-Nya di muka bumi ini. Semua itu agar kedudukan (derajat) dari hamba-hamba-Nya itu selalu meningkat. Dari predikat mukninin (beriman) menjadi muttaqin (taqwa) untuk kemudian menjadi shalihin (shalih) yang tinggi kedudukannya disisi-Nya.

Sesuatu yang amat menyedihkan adalah kenyataan bahwa kita terkadang tidak memiliki waktu untuk membaca ayat-ayat-Nya di setiap malam padahal kita mengaku beriman dan berikrar bahwa kita akan selalu menjadikan kitab-Nya yang mulia, Al Quran, sebagai pedoman hidup. Bagaimanakah Al Quran dapat menjadi pedoman hidup, kalau membaca dan mengerti akan terjemahannya saja pun kita tidak pernah lakukan dengan rutin setiap malam? Apatah lagi mengajarkannya kepada anak-anak?

Jika kita ingin memiliki ‘kepekaan’ dalam diri kita dan anak-anak kita, hendaklah kita memulainya dari saat ini. Jadikanlah rumah kita bagai madrasah malam hari dimana anggota keluarganya sebelum tidur selalu membaca ayat-ayat-Nya dan juga terjemahannya sebagai sebuah modal untuk memiliki ‘kepekaan hati’ yang merupakan kekayaan (jiwa). Ingatlah akan sebuah pesan yang amat berharga dari Rasulullah Saw dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas ra. Nabi bersabda, “Bacalah dan ajarkan kepada istri dan anak-anak kalian surah Al Waqi’ah karena sesungguhnya surah itu  adalah surah kekayaan.” (HR Ibnu Asakir)

“Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang didalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Apakah kamu tiada memahaminya?” (QS Al Anbiyaa’ [21]:10)

Wednesday, 2 March 2011

Kekuasaan Yang Menjadi Penyesalan

"Ya Allah Yang Memiliki Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yg Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yg Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yg Engkau kehendaki dan engkau hinakan siapa yg Engkau kehendaki. Ditangan Engkau lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS Ali Imran [3]:26)


Terkadang kita tidak menyadari bahwa kekuasaan yang kita miliki baik sebagai pemimpin umat ataupun pemimpin rakyat ataupun pemimpin rumah tangga ataupun pemimpin perusahaan ataupun pemimpin siswa-siswa yang kita didik adalah sebuah amanah yang dapat menyelamatkan ataupun membinasakan kita kelak. Setiap pemimpin selalu identik dengan kekuasaan yang dilingkupinya. Dan kekuasaan inilah yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak oleh Allah. Apakah kekuasaan itu telah kita jalankan dengan adil dan bijaksana ataukah secara dzalim dan penuh dengan kebathilan. Orang-orang yang pernah kita pimpin akan datang kepada kita kelak dihadapan Allah Azza wa Jalla. Bisa jadi mereka akan menjadi saksi yang meringankan kita karena kita telah membawa kebaikan kepada mereka. Bisa jadi pula mereka menuntut dihadapan Allah akan keadilan yang tidak mereka dapatkan bagai jauh panggang dari api selama dalam kepemimpinan kita.


Kekuasaan bukanlah sebuah hadiah atau hasil jerih payah yang telah kita raih. Kekuasaan adalah sebuah amanah yang bersumber dari Allah Azza wa Jalla yang juga merupakan ujian hidup. Ia dapat menjadi sumber kebaikan ataupun sumber keburukan. Berapa banyak pemimpin yang awalnya begitu disanjung dan dipuji, tapi pada akhirnya menuai kehinaaan. Ia dikucilkan bagai sang pesakitan yang tak terlihat sedikitpun kebaikan yang pernah diperbuatnya. Sebaliknya pemimpin yang adil itu bagai setangkai bunga yang harum mewangi mewarnai setiap relung jiwa orang-orang yang dipimpinnya. Namanya selalu hidup dan selalu menjadi buah bibir yang tak habis untuk dibicarakan.


Rasulullah Saw bersabda, "Kalian semua adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin keluarganya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Demikian juga istri yang merupakan pemimpin dirumah suaminya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelola dan  memelihara harta tuannya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR Bukhari dan Muslim)


Hendaklah kita selalu menjadikan kekuasaan yang kita miliki sebagai sebuah sumber amal shaleh dalam melangkah. Seorang suami akan selalu membawa kebaikan bagi istri dan anak-anak yang dipimpinnya. Demikian juga dengan istri akan selalu membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi suami dan anak-anak serta  pelayan-pelayan rumah tangga yang berkerja untuk mereka. Demikian juga dengan seorang pekerja yang memiliki bawahan, ia akan menjadi sumber inspirasi dan kebaikan bagi mereka. Sikapnya yang selalu adil dan bijaksana akan selalu membawa kenangan manis bagi siapapun yang dipimpinnya. Demikian juga seorang guru yang selalu dapat menjadi inspirasi dan sumber ilmu bagi murid-murid yang mendapat pengajarannya. Hidup ini akan terasa indah jika diisi oleh amal shaleh yang bergema keindahannya melintasi relung jiwa orang-orang yang dapat merasakannya. Sang pemimpin akan terus menyebarkan kebaikan sedang orang-orang yang dipimpinnya akan terus merasakan manfaat yang tiada habis-habisnya. Bagai sebuah ikatan bathin yang erat dan menyatu hingga membuat keduanya selalu ingin tersenyum saat merasakannya.


Satu hal yang selalu menjadi renungan bagi kita. Janganlah kekuasaan itu menjadi sumber penyesalan. Dihadapan sahabat-sahabatnya Rasulullah Saw pernah menyampaikan yang bersumber pada Abu Hurairah ra. Nabi bersabda, "Sesungguhnya kalian berambisi untuk meraih suatu kekuasaan, tapi pada hari kiamat kelak kekuasaan itu menjadi sumber penyesalan." (HR Bukhari)

Tuesday, 22 February 2011

Hamba-Hamba Yang Mendapat Lindungan-Nya

Apakah yang paling kita nantikan selain dari lindungan Allah SWT kepada kita disaat hari kiamat yang sangat dahsyat itu? Allah berjanji akan melindungi hamba-hamba-Nya yang tunduk patuh kepada perintah-Nya dan berusaha untuk menjauhi larangan-Nya dan yang mencintai-Nya dengan tulus. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah saw menjelaskan tentang hamba-hamba Allah SWT yang akan memperoleh lindungan disaat hari kiamat nanti.

“Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan (lindungan) Allah pada hari kiamat kelak dimana tidak ada yang dapat berlindung kecuali dalam naungan Allah SWT semata. Mereka adalah: Pemimpin yang adil; Seseorang yang masih muda dan tumbuh dalam keadaan senantiasa beribadah kepada Allah SWT; Seseorang yang hatinya senantiasa tertambat dengan (kepentingan) mesjid; Dua orang sahabat yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul dan berpisah karena kepentingan Allah semata; Seorang laki-laki yang ketika dirayu oleh wanita cantik dan memiliki kekuasaan, maka ia menolaknya dan berkata: ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah'; Seseorang yang bersedeqah sampai-sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya; Dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai-sampai meneteskan air mata karena rindu kepada Allah.” (HR Bukhari & Muslim)

Diantara ketujuh golongan itu, salah satunya adalah seorang hamba yang ingat kepada Allah ‘Azza wa Jalla di tempat sepi dimana tidak ada seorang manusia lainnya ada didekatnya, ia menangis mengingat akan kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla dan  karena rindu akan perjumpaan dengan-Nya. Tidak ada yang ia harapkan selain rahmat Allah untuknya. Sungguh hal ini membuktikan betapa kekuatan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla sangatlah penting dan dapat menjadi penyelamat bagi kita kelak di hari kiamat.


Bersumber dari buku: Muhammad Saw of Facebook oleh M. Yasser Fachri, Penerbit Hikmah 2009

Wednesday, 9 February 2011

As Salaam

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah , karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb-nya mereka akan kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al An’am [6]: 108)

Suatu waktu Rasulullah Saw sedang diduduk diberanda rumah bersama istrinya Aisyah rha. Lewatlah seorang yahudi yang kemudian mengolok-olok Nabi. Ia mengeluarkan kata-kata yang kasar. Aisyah beranjak dari tempat duduknya dengan muka yang merah dan hendak membalas apa yang dikatakan seorang yahudi tadi. Dengan lembah lembut, Nabi menutup mulut Aisyah dengan telapak tangannya dan berkata: “Lemah lembut lah Aisyah. Allah mencintai hamba-Nya yang lembut. Allah memberi karena kelembutan. Allah tidak memberi karena kekerasan dan tidak juga karena yang lain.” (HR Muslim)

Terkadang kita lupa bahwa ISLAM….berakar dari kata As Salaam yang berarti ketenangan, kedamaian dan ketentraman. Sebuah cermin kehidupan yang amat menentramkan dan terasa indah tidak saja bagi sesama muslim tapi orang-orang diluar islam. Selama ini kita lebih memahami arti islam sebagai sebuah keyakinan yang kuat (baca: keimanan) kepada Allah Azza wa Jala dan Rasul-Nya Muhammad Saw. Sehingga terkadang pemahaman seperti ini lebih membawa kita kepada sikap superioritas dan ekslusivisme. Kita merasa bahwa kitalah yang paling benar dalam bersikap dan bertindak serta memandang rendah orang-orang yang berbeda keyakinan dengan kita. Kita menjadi tertutup dan tidak nyaman dengan semua yang berbau ‘non muslim’ dan men-generaliasasi bahwa setiap Yahudi adalah wajib dimusuhi dan memberi cap  mereka dengan sebutan ‘Laknatulullah’. Kita amatlah antipati dengan keyakinan yang dianut oleh orang-orang Nasrani dan menjadikan simbol-simbol agama mereka menjadi bahan olok-olokan.

Riwayat diatas mengingatkan kita betapa Rasulullah Saw mengedepankan sikap toleran dan menjauhi sikap kasar dan konfrontatif, walaupun seorang Yahudi mengolok-oloknya. Padahal dengan kekuasaan yang Nabi miliki di Madinah saat itu sebagai pemuka masyarakat, amatlah mudah bagi Nabi untuk melakukan sesuatu.  Sejarah menjelaskan bahwa ketika Rasulullah memasuki kota Madinah, Nabi telah menandatangani Piagam Madinah sebagai sebuah piagam yang mengangkat Nabi sebagai pimpinan masyarakat Madinah dan mengakui hak-hak setiap penduduk Madinah baik yang muslim maupun non muslim, baik yang arab, yahudi maupun non arab lainnya untuk hidup berdampingan secara damai dan saling melindungi.

As Salam seharusnya menjadi jaminan bagi kita sesama muslim untuk menyebarkan salam yang diartikan dengan persaudaran yang kuat dan kokoh. Dan ketika berhadapan dengan non muslim. kita seharusnya mengedepankan sikap toleran dan jauh dari ‘angker’ dan ‘permusuhan’. Kezaliman tidaklah harus dibalas dengan kezaliman lainnya dan hujatan tidaklah dibalas dengan hujatan sehingga kesan umat islam sebagai ‘rahmatan lil alamin’ akan terasa hambar dan sirna.

Ayat 108 pada surah Al An’am diatas menerangkan kepada kita secara gamblang bahwa hujatan terhadap Yahudi ataupun Nasrani terutama akan hal-hal yang menyangkut ritual (simbol-simbol) agama mereka justru akan memperburuk keadaan dan memperburuk citra Islam. Bukankah ada cara-cara yang lebih elegan dalam menangkis segala kezaliman dan hujatan itu?

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa pencitraan yang positif tentang suatu masyarakat ataupun bangsa dapat membawa kemajuan bagi bangsa tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mengedepankan sifat-sifat yang positif seperti sabar, santun, terdidik dan toleran serta disiplin diri yang tinggi. Dan hal ini harus dilakukan secara terus-menerus tanpa henti. Di dalam Al Quran Allah menyebutnya dengan amar ma’ruf nahi munkar (QS Ali Imran [3]:110).

Dalam sisi yang lain sejarah juga mengajarkan kepada kita bahwa sikap yang buruk justru akan membawa pencitraan yang negatif. Hal ini bisa terlihat dari sikap sebagian dari saudara-saudara kita di belahan bumi Arab yang selalu mengedepankan sikap amarah, arogan dan konfrotatif justru memperoleh citra negatif sehingga memperburuk citra Islam secara keseluruhan?

Sudah saatnya bagi kita untuk merubah semua itu saat ini. Rasulullah telah memberi teladan yang begitu sarat makna dan kebaikan. Adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk mencontohnya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antara mu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (QS Fushshilat [41]: 34-35)
 

Wallahu a'lam Bissawab

Mohammad Fachri




Friday, 4 February 2011

Hormatilah Anak-Anak Mu!

Dalam suatu majelis Rasulullah mengingatkan para sahabat-sahabatnya, “Hormatilah anak-anakmu dan didiklah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla memberi rahmat kepada seseorang yang membantu anaknya sehingga sang anak dapat berbakti kepadanya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara membantu anakku sehingga ia dapat berbakti kepadaku?” Nabi Menjawab, “Menerima usahanya walaupun kecil, memaafkan kekeliruannya, tidak membebaninya dengan beban yang berat, dan tidak pula memakinya dengan makian yang melukai hatinya.”

Sungguh indah kata-kata Rasulullah. Nabi menggunakan kata “membantu” bukan “mengajar” karena anak adalah amanah Allah ‘Azza wa Jalla yang bukan milik orang tuanya. Orang tua hanya diberi amanah untuk membantu anak tersebut untuk berada dalam jalan kebenaran sedang yang menentukan jalan sang anak adalah Allah SWT semata. Demikian juga kata-kata Rasulullah saw yang menjelaskan sang anak tidak “salah” hanya “keliru” karena sebagai seorang anak ia belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Kata “salah” identik dengan dosa, sedang anak-anak belumlah dikatakan berdosa. Begitu besar penghargaan Rasulullah saw kepada seorang anak.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya diantara pasangan hidup mu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka; jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta memaafkan (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah ujian (bagimu): di sisi Allah ada pahala yang besar.”  (QS  At Taghaabun [64]: 14-15)

Sebahagian orangtua sering kali salah dalam memahami ayat diatas. Anak dianggap ujian yang selalu menyulitkan bagi kedua orangtuanya. Padahal tidaklah demikian adanya. Tuntunan Rasulullah saw dalam dua hadish diatas dapat dijadikan rujukan bahwa anak adalah sumber kebaikan dan amal sholeh bagi kedua orangtuanya. Jika kedua orangtuanya dapat mendidiknya dengan benar dan baik maka hal itu akan berbuah kebaikan bagi keduanya. Ingatlah sabda Rasulullah saw, “Jika seseorang telah wafat, maka putuslah segala amalnya, kecuali tiga hal: sedeqah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”(HR Muslim). Seorang anak yang dididik dengan baik akan menjadi anak yang sholeh yang kelak akan menyelamatkan kedua orangtuanya dari azab kubur dan siksaan api neraka. Sungguh merupakan keberuntungan bagi kedua orangtuanya.


Wallahu A'lam BIssawab


M. Fachri




Sumber: Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan oleh M. Quraish Shihab. Hal 263. Penerbit Mizan.