Wednesday, 15 June 2011
Kisah Seorang Ibu
Aisyah rha. berkata, "Aku didatangi oleh seorang wanita miskin yang membawa dua anaknya dan meminta sesuatu kepadaku karena kelaparan yang mendera mereka. Aku memberinya dengan 3 butir kurma. Aku melihatnya membagikan kepada anak-anaknya masing-masing 1 butir kurma dan kurma terakhir yang tersisa akan dimakannya sendiri. Ketika ia akan melakukannya, kedua anaknya memintanya. Maka dia pun membelah kurma yang akan dimakannya tersebut menjadi 2 bagian agar kedua anaknya memperoleh jatah yang sama sedang ia sendiri tidak memakannya sama sekali. Aku sangat kagum dengan apa yang dilakukannya dan menceritakan hal ini kepada Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memastikan baginya surga dan mengharamkan baginya neraka dengan perbuatannya tersebut.'" (HR Muslim)
Tuesday, 31 May 2011
Nikmat Hidup
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu adalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya hal itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS Az Zumar [39]:49)
Dalam suatu dialog dengan sang Guru, hamba itu pernah ditanya: “Apakah yang engkau ketahui tentang nikmat hidup?”
Hamba itu menjawab: “Nikmat hidup adalah sebuah kesenangan yang dapat dirasakan oleh seseorang yang banyak membawa kebaikan bagi dirinya sebagai anugerah dari Allah Azza wa Jalla.”
Sang Guru tersenyum mendengarnya. Ia ingin mengetahui apa yang ada dalam pikiran muridnya itu disaat keduanya berdialog tentang ujian hidup yang sedang dirasakan di suatu sore beberapa waktu yang lalu. Seperti biasanya Sang Guru membiarkan segala pikiran dan kegundahan hati muridnya itu terlontar ke permukaan terlebih dahulu sebelum sang Guru mengeluarkan kalimat-kalimat penuh hikmah yang menyejukkan.
Sang Guru kemudian berkata, “Nikmat adalah suatu kesenangan ataupun kebahagiaan yang bersifat kekal adanya. Karena itu sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa kesenangan yang kita dapatkan di dunia ini adalah ‘nikmat’.”
Sang Guru lalu membacakan Surah Az Zumar ayat 49 diatas dan melanjutkan dialognya:
“Sebahagian ulama mengatakan bahwa sebenarnya di dunia ini tidak ada kenikmatan. Kenikmatan di dunia ini hanyalah sebatas menghalangi datangnya penderitaan. Sebagaimana penderitaan lapar dan dahaga dapat dihalangi oleh makan dan minum. Jadi makan dan minum bagi yang lapar dan dahaga adalah ‘nikmat’. Demikian pula dengan penderitaan menjadi orang hina dan rendah dihadapan manusia lain dapat dihalangi oleh jabatan dan harta. Dalam hal ini harta dan jabatan itu adalah ‘nikmat’ dan bagi sebagian orang dipahami sebagai tanda ‘kasih sayang’ Allah kepadanya (Baca: QS89:15-20).”
Hamba itu balik bertanya, “Bukankah Allah Azza wa Jalla banyak memakai kata ‘nikmat’ di dalam Al Quran yang merujuk pada suatu kesenangan di dunia?”
“Benar. Yang harus kita ingat adalah ‘nikmat’ itu memiliki tingkatan” Jawab sang Guru.
“Maukah engkau mendengarkan penjelasannya?” Tanya sang Guru lagi.
“Tentu, Guru. Saya akan mendengarkannya.” Jawab Hamba itu.
Sang Guru selalu santun dalam menyampaikan pendapatnya. Tidak pernah memaksakan kehendak dan selalu berpegang teguh pada prinsip kebenaran. Ia selalu sabar menghadapi setiap pertanyaan murid semata wayangnya itu yang berbeda tautan usia jauh dengannya.
“Seorang ulama yang disegani, Ibnu Qayyim Al Jauziyah pernah berkata bahwa nikmat itu ada tiga hal: (1)Nikmat Jasmaniah, (2)Nikmat Ambisi, (3)Nikmat Ruhaniyah.”
“Kenikmatan Jasmaniah adalah jika segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi seperti makanan, minuman dan bersetubuh. Kenikmatan seperti ini adalah kenikmatan yang terendah karena bukan saja manusia yang merasakannya, tapi hewan pun dapat merasakannya. Seandainya kualitas manusia ditentukan oleh kenikmatan jasmaniah yang diperolehnya, tentulah manusia yang paling mulia dan berkualitas ditentukan sebanyak apa ia dapat makan, minum dan berhubungan seksual. Tapi kenyataannya tidak demikian. Merujuklah pada manusia-manusia pilihan Allah seperti Nabi dan para Rasul-Nya. Sebahagian besar dari mereka (kalau tidak seluruhnya) adalah manusia mulia yang jauh dari mendapat porsi makanan, minuman dan hubungan seksual yang mencukupi. Justru musuh-musuh para Nabi dan Rasul tersebut yang memperolehnya.”
“Kenikmatan Ambisi diperoleh seorang dari jabatan, sifat sombong, dan sifat angkuh terhadap orang lain. Ia melampiaskan nafsu berkuasanya dengan memerintah dan mengatur orang lain sesuai dengan keinginannya. Ia amat menikmati setiap perintah dan suruhan kepada orang lain walaupun seringkali hal ini mendapat perlawanan dari orang yang dipimpinnya. Ia akan dimusuhi oleh banyak orang. Contoh yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah prilaku seorang suami kepada istri dan anak-anaknya. Terkadang ia ingin mewarnai jalan hidup istri dan anak-anaknya dengan berlaku arogan dan sombong. Semua harus tunduk kepada titah kuasanya tanpa boleh membantah. Ia meletakkan kebenaran dan keadilan dalam pikirannya sendiri dan tidak pernah ingin dibantah dalam menentukannya.”
Sang guru diam sejenak dan seperti tak ingin meneruskan kalimatnya untuk menjelaskan nikmat yang ketiga. Hamba itu memandang kepadanya. Terlihat wajah sang guru yang memancarkan keteduhan berubah menjadi sendu. Genangan air mata terlihat berkumpul di sudut matanya yang bening. Ia mengusapnya terlebih dahulu sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya dengan suaranya yang terdengar parau.
“Kenikmatan Ruhaniyah hanya dapat dirasakan oleh jiwa yang mulia dan terhormat. Ia adalah jalan para Nabi dan Rasul Allah. Ia merasakan cinta yang sungguh terasa berat dan menyesakkan dada. Kecintaan kepada Allah. Ia tak henti-hentinya mendekatkan dirinya kepada Allah sebagai bentuk kenikmatan yang hakiki. Shalat baginya adalah saat berdialog dengan Rabb-nya yang tidak ingin ditundanya walau sekejap. Ia bangun untuk beribadah serta bermunajat di tengah malam ketika orang lain tidur. Ia berdzikir disaat manusia lain sibuk dengan urusan dunianya masing-masing. Disaat sepi ia menangis karena rindu kepada Allah. Tak habis-habisnya ia merasakan cinta yang tidak pernah padam antara dirinya dengan Allah…Sang Kekasih sejatinya. Setiap kali ia berhubungan dengan manusia, ia selalu mengedepankan sikap santun, sabar, menjaga kehormatan diri dan berwibawa karena ia sadar, Allah Azza wa Jalla menghendakinya untuk berprilaku demikian. Ia selalu menjaga dirinya agar murka Allah tidak diturunkan kepadanya. Ia jauh dari kemaksiatan dan kekufuran.
Sang Guru kemudian melanjutkan dengan suara yang amat perlahan,
“Seseorang yang senang memandang kepada Allah, maka semua orang akan senang memandangnya. Kenikmatan yang ia rasakan dalam kecintaan kepada Allah tidak sebanding dengan kenikmatan apapun di dunia ini walaupun sebesar gunung.”
“Ketahuilah bahwa sesuatu yang paling nikmat di dunia ini adalah mengenal Allah dan mencintai-Nya. Sesuatu yang paling nikmat kelak di akhirat adalah memandang wajah Allah dan mendengar-Nya berbicara tanpa ada perantara.”
Hamba itu kini hanya dapat tertegun dan berurai air mata. Ia masih mendengar pesan akhir sang Guru untuknya.
“Berdoalah selalu dengan sebuah doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw: ‘Ya Rabb, sesungguhnya aku memohon cinta-Mu, cinta hamba-hamba-Mu yang mencintai-Mu, dan ajari aku amal shaleh yang mengantarkan aku untuk memperoleh cinta-Mu’ (HR Ahmad, Al Hakim & At Tirmidzi)”
Sebuah ayat bergaung dibenaknya.....
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena (merindukan) wajah Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS Al Insaan [76]:9)
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri
Friday, 22 April 2011
Habis Gelap Terbitlah Terang
“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah syaitan yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah [2]:257)
Hamba itu tertegun sejenak. Dalam sebuah buku yang dibacanya, ia mendapatkan sebuah informasi yang amat sangat menyentuh. Ayat diatas adalah sebuah ayat yang menjadi favorit seorang pejuang kaum perempuan. RA Kartini. Bagaimana bisa hal itu terjadi?
Pada akhir abad ke-19 dikenal seorang ulama terkemuka di Kota Semarang. Ulama itu bernama Kiai Sholeh Darat. Beliau merupakan guru dari tokoh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan juga guru dari pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. Kiai Sholeh banyak menulis kitab-kitab agama pada masanya antara lain Faid Ar-Rahman yang cukup terkenal.
Suatu hari, Kartini, yang sedang mengunjungi rumah pamannya, mengikuti pengajian Kiai Sholeh yang sedang mengupas makna surah Al Fatihah. Kartini amat tertarik pada cara pengajiannya yang lebih bersifat pemaparan dan pembahasan daripada pemaksaan dogma yang terdorong oleh wujud kharismatis seorang Kiai yang selama ini terjadi. Di akhir pengajiannya, Kartini menjumpai Kiai Sholeh dan memohon kepadanya untuk dapat kiranya menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Jawa. Kartini berkata, “Tidak ada gunanya membaca kita suci yang tidak diketahui artinya.”
Hal ini disambut oleh Kiai Sholeh dengan sukacita walaupun Kiai Sholeh sadar bahwa pekerjaan itu dapat membawa dirinya dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda yang pada saat itu melarang segala bentuk penerjemahan Al Quran sehingga rakyat amat buta terhadap makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan segala pertimbangannya, akhirnya Kiai Sholeh memulai pekerjaan besarnya itu, menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Jawa dengan memakai huruf Pegon atau arab gundul sehingga tidak dicurigai oleh Belanda.
Kitab tafsir terjemahan itu diberi nama kitab ‘Faid Ar Rahman’. Sebuah Tafsir pertama di tanah Jawa yang memakai bahasa Jawa dengan aksara Arab. Penulisannya memakan waktu beberapa bulan dan selesai tepat sebelum RA Kartini akan menikah dengan Bupati Rembang. Kitab Faid Ar Rahman inilah yang dijadikan oleh Kiai Sholeh sebagai hadiah perkawinan Kartini dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang pada masa itu. Kartini menulis surat kepada Kiai Sholeh sebagai ucapan terima kasihnya dan menyampaikan, “Selama ini Surah Al Fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Sejak saat itu, Kitab Faid Ar Rahman selalu menjadi pegangan Kartini dalam menjalani hari-harinya sebagai seorang istri pejabat Rembang dan juga seorang guru bagi murid-muridnya. Ia tekun menggali nilai-nilai yang ada pada kitab terjemahan tersebut dan mengajarkannya kepada siapa saja. Satu ayat yang menjadi favoritnya adalah QS Al Baqarah ayat 257 diatas, ‘Allah mengeluarkan orang-orang beriman dari kegelapan menuju cahaya’. Oleh sastrawan Sanusi Pane, buku kumpulan surat Kartini dalam bahasa Belanda,Door Duisternis Tot Licht diterjemahkan menjadi Habis gelap Terbitlah Terang yang merupakan sebuah ayat favorit Kartini.
Dalam perjalanan sejarah, kita telah sama-sama mengetahui bahwa Kartini berpulang kehadirat Rabb-nya Yang Maha Agung ketika melahirkan seorang Putera. Puncak jihad seorang wanita adalah ketika ia melahirkan anaknya. Ia berjuang dalam keadaan antara hidup dan mati. Dan RA Kartini telah menemui Rabb-Nya dalam keadaan yang amat indah…
“…Sesungguhnya kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa (QS Hud [11]:49)
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri
Sebuah Tempat Kembali
Untuk seorang kakak yang dicintai...
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) yaitu kitab (Al Quran) itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sungguh Allah benar-benar Maha Mengetahui, Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.”(QS Fatir [35]:31-32)
Seorang kakak baru saja berpulang kehadirat Allah Azza wa Jalla setelah mendapat ujian penyakit yang cukup lama. Di masa-masa akhir hidupnya, ia harus menetap di sebuah rumah sakit dalam kondisi naik dan turun bagai silih bergantinya berbagai ujian yang dihadapinya selama ini. Akhirnya, setelah lebih 40 hari ia berjuang, Allah Azza Wa Jalla mengirimkan malaikat-malaikat-Nya untuk menjemputnya di suatu siang. Ia sempat berwasiat kepada hamba itu di hari-hari awalnya berada di rumah sakit. Ia ingin dimakamkan sesuai dengan sunnah Nabi. Ia ingin disegerakan dan tidak ingin jenazahnya harus bermalam yang menyebabkan ia terlambat untuk bertemu Rabb-nya Yang Maha Agung. Begitu salah satu dari pesannya.
Walaupun ia berpulang jauh setelah waktu Dhuhur terlewati, kami berusaha untuk memenuhi wasiatnya. Dalam sorotan lampu dua kendaraan pengantar, kami menurunkan jenazahnya di sebuah liang yang bersebelahan dengan kedua orangtuanya dan suaminya yang lebih dulu berpulang daripadanya.
Tidak ada doa bersama setelah nisan kayu bertuliskan namanya disematkan di atas kepala tempatnya tebujur. Hal ini sesuai dengan permintaannya. Kami hanya berdoa sendiri-sendiri, memohon agar Allah Azza wa Jalla memberi kekuatan kepadanya untuk menjawab pertanyaan para malakait-Nya dan memohon agar Allah menaunginya disetiap saat sampai hari kiamat kelak. Begitulah tuntunan Rasulullah Saw dalam mengantarkan jenazah seorang muslim.
Satu persatu pengantar meninggalkan pemakaman itu. Sorotan lampu kedua kendaraan itu berpendar dan meredup. Sepi yang tinggal tanpa kesan apapun. Hamba itu masih duduk dan teringat akan sebuah hadish qudsi yang disampaikan oleh Rasulullah Saw melalui Anas bin Malik ra.
Rasulullah Saw bersabda, “Allah Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya diantara hamba-hamba-Ku ada yang tidak baik keimanannya kecuali dengan kemiskinan dan jika dimudahkan rezeki kepadanya niscaya hal itu akan merusaknya. Diantara hamba-hamba-Ku ada yang tidak baik keimanannya kecuali dengan kekayaan, dan kalau Aku jadikan ia miskin niscaya keadaan itu akan merusaknya. Diantara hamba-hamba-Ku ada orang yang tidak baik keimanannya kecuali dengan kesehatan dan jika aku buat ia sakit niscaya keadaan itu akan merusaknya. Dan diantara hamba-hamba-Ku ada orang yang tidak baik keimanannya kecuali dengan sakit dan jika Aku sehatkan niscaya keadaan itu akan merusaknya. Diantara hamba-hamba-Ku ada yang ingin untuk melakukan segala kebaikan tapi aku tahan ia darinya agar rasa bangga (ujub) tidak menyusup dalam dirinya. Sesungguhnya Aku mengurusi seluruh urusan hamba-hamba-Ku berdasarkan pengetahuan-Ku tentang apa yang ada dihati mereka. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.” (HR Ath-Thabrani)
Maha Kuasa Allah yang selalu mengurusi segala keperluan para hamba-Nya yang beriman. Sungguh manusia tidak dapat menilai seseorang dari apa yang telah ia dapatkan di dunia ini. Keberhasilan dan kesuksesannya yang terlihat oleh mata bisa jadi bukanlah sebuah kebaikan baginya. Kemuliaan seseorang bukanlah terletak dari seberapa banyak harta yang ia kumpulkan di dunia ini dan seberapa besar kekuasaan yang ia genggam tapi lebih kepada ketaqwaan yang bersemai di hati. Ketaqwaan yang akan selalu menerangi kehidupannya sampai akhirnya ia menemui Rabb-nya Yang Maha Agung.
Seorang ulama abad petengahan Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam bukunya yang berjudul Zadul Ma’ad. Sebuah buku yang menjadi sumber referensi yang tidak pernah habis-habisnya bagi siapa saja yang ingin meraih kebahagian dalam naungan agama Allah Azza wa Jalla. Pada mukaddimah bukunya tersebut, ia menulis sebuah pemikiran yang amat gamblang:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan semua yang baik-baik dengan segala sisinya di surga dan ia telah menetapkan semua yang buruk dengan segala sisinya di neraka. Surga adalah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi orang yang baik-baik dan terlarang bagi orang yang jahat. Neraka diperuntukkan bagi orang yang jahat dan buruk dalam perangai dan tidak dapat dimasuki kecuali oleh orang yang jahat. Sedangkan dunia adalah tempat dimana kebaikan dan keburukan itu bercampur. Sebab itu terjadilah di dalamnya ujian atau cobaan agar Allah dapat melihat bagaimana seorang hamba bereaksi atas apa yang menimpanya.
Apabila tiba hari berbangkit kelak, Allah Azza wa Jalla akan memisahkan kedua golongan ini. Dunia sudah binasa. Yang ada hanya dua tempat kembali: Surga dan Neraka. Orang yang beruntung lagi baik, tak pantas baginya kecuali yang baik, ia tidak datang kecuali kepada yang baik, tidak lahir darinya kecuali yang baik dan tidak menemani dirinya kecuali yang baik pula.
Berbeda dengan orang yang rugi lagi jahat, tidak pantas baginya kecuali yang jelek, ia tidak datang kecuali pada yang jelek, dan tidak lahir darinya kecuali yang jelek pula. Orang yang jahat itu terpancar dari hatinya kejelekan melalui lidah dan anggota-anggota tubuhnya.
Tidak jarang pada diri seorang hamba, kedua sifat baik dan buruk ini terangkum menjadi satu. Maka apabila Allah menghendaki padanya suatu kebaikan, niscaya Allah akan mensucikannya dari segala sesuatu yang buruk sebelum kematiannya, sehingga ia datang kepada Allah kelak dalam keadaan suci dan bersih. Untuk mensucikan hamba ini, Allah memudahkan baginya untuk melakukan amal shaleh ketika hidup di dunia dan menuangkan mushibah yang dapat menjadi penebus dosanya. Allah memberikan kekuatan kepada hamba-Nya ini dengan hidayah agar selalu sabar menghadapi semua mushibah yang ia lalui. Salah satunya adalah dengan penyakit.
Dalam keadaan yang lain, Allah Azza wa Jalla membiarkan seorang hamba-Nya menghimpun sifat baik dan buruk ini sampai akhirnya kelak ia menemui kematiannya. Ia terhambat untuk memperoleh ‘bahan pencuci dosa’. Akibatnya kelak ia akan menemui Allah dengan membawa sesuatu yang buruk yang menyebabkan ia harus mendekam untuk sementara waktu di neraka. Sampai kapan? Hanya Allah lah yang tahu akan hal itu. Yang pasti adalah ia harus menjalani hari-harinya di neraka sampai dirinya bersih dari berbagai keburukan yang melekat pada dirinya. Tidak mungkin suatu keburukan akan berhimpun dengan kebaikan kelak di akhirat. Neraka hanya diperuntukkan untuk keburukan sedangkan surga diperuntukkan bagi segala kebaikan.”
Maha Suci Allah yang selalu menguji hamba-hamba-Nya untuk membersihkan diri mereka agar kelak pertemuan dengan-Nya adalah sesuatu yang membahagiakan hati. Jauh dari kesuraman dan penyesalan.
Rasulullah Saw bersabda, “Ujian akan senantiasa menyertai seorang hamba hingga ia berjalan dimuka bumi, sementara tidak ada lagi satu kesalahan pun pada dirinya.” (HR Ath Tirmidzi)
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa
M. Fachri
Wednesday, 30 March 2011
Apakah Mereka Telah Zuhud?
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan dimuka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS Al Kahfi [18]:45-46)
Pertanyaan itu begitu memukaunya. Hamba itu terdiam sebentar tak mampu untuk menjawabnya. Jarang dalam suasana kehidupan seperti saat sekarang ini, pertanyaan itu muncul. Terlebih dari seseorang yang dikasihi dan telah bersama mengarungi kehidupan rumah tangga lebih dari sewindu. Ia terlihat gundah dengan lingkungan tempat ia berpijak diantara teman-temannya dimana ‘Kebendaan’ dan ‘Pencapaian-pencapaian pribadi itu’ selalu menjadi topik pembicaraan yang tak habis-habisnya. Untuk itu ia bertanya,
“Bagaimana bersikap zuhud dalam lingkungan seperti ini? Disatu sisi kita harus selalu membina silaturrahim, sementara Rasulullah Saw mengajurkan kita untuk bersikap zuhud? Apakah kita harus menutup diri dan menghindar dari pergaulan yang dapat menjerumuskan kita pada kecintaan pada dunia ini? Bukankah sisi ‘modern’ dari sebuah kehidupan itu akan selalu bertumbukan dengan sisi ‘keimanan’ yang ada di hati kita? Bagaimana kita harus bersikap?
‘Zuhud tidaklah diartikan dengan kemiskinan, kekurangan dan menutup diri dari segala pergaulan yang menjerumuskan. Zuhud lebih dimaknai sebagai ‘kesederhanaan sebagai pilihan hidup’. Jika memang pilihan itu terpampang dihadapan kita. Ketika Allah Azza wa Jalla memberi kesempatan kepada seorang hamba untuk hidup dalam kelapangan, justru simbol-simbol kemewahan itu tidak pernah dipertontonkannya kepada siapapun. Ia memilih untuk tetap hidup dalam kesederhanaan dan apa adanya.
Hamba itu teringat akan sebuah kisah dari seorang khalifah yang agung dimasa Islam, Umar Ibn Khatab ra. Seorang sahabat Nabi Saw yang zuhud. Di awal pemerintahannya, dalam suatu riwayat disampaikan bahwa ia pernah berdoa, “Ya Allah, jadikan dunia ini dalam genggamanku, tapi tidak dihatiku.” Allah Azza wa Jalla mengabulkan doanya. Di masa pemerintahannya 2/3 dunia ini berada dalam genggamannya. Kekuasaan Romawi dan Persia sebagai dua poros kekuatan utama dunia saat itu dapat dikuasainya dengan sangat baik.
Ketika Jerusalem telah dikuasai oleh pasukan Islam, Khalifah Umar ra datang sendiri yang hanya diikuti oleh seorang pengawalnya. Ketika itu ia disambut oleh panglima pasukan Islam, Abu Ubbaidah bin Jarrah ra dan pembesar-pembesar Yerusalem saat itu. Khalifah Umar hanya memakai pakaian yang sangat sederhana sehingga ia diperingatkan oleh Abu Ubaidah untuk mengganti pakaiannya. Khalifah Umar marah dan berkata, “Wahai Abu Ubaidah, dahulu kita adalah manusia yang hina. Allah telah memuliakan kita dengan Islam. Apakah pantas bagi kita untuk menyombongkan diri agar manusia lain memandang kita sebagai orang yang mulia?
Khalifah Umar benar, kemuliaan seseorang bukan terletak pada bagusnya pakaian, mahalnya kendaraan yang ia pergunakan dan simbol-simbol kemewahan lainnya yang ia miliki. Tapi lebih kepada pancaran wajah yang meneduhkan yang dapat membawa kedamaian bagi siapapun yang berhubungan dengannya dan akhlak mulia yang selalu menghiasi perangainya dalam kehidupan sehari-hari. Orang lain mendapat manfaat yang banyak dari keberadaannya.
Seorang sahabat Rasulullah Saw pernah bertanya kepada Nabi, “Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan, jika aku mengerjakannya maka aku akan dicintai oleh Allah Azza wa Jalla dan dicintai manusia lain.” Nabi menjawab, “Janganlah kamu rakus terhadap dunia, pasti Allah mencintaimu dan janganlah kamu rakus terhadap hak orang lain, pasti orang lain mencintaimu.” (HR Ibnu Majah)
Allah Azza wa Jalla memberi perumpamaan dalam ayat-ayat-Nya yang penuh hikmah yang tersebar di beberapa surah Al Quran bahwa kehidupan dunia ini bagai air hujan. Salah satunya adalah pada QS Al Kahfi diatas. Ini memberi hikmah kepada kita bahwa air hujan yang turun dengan cukup (tidak berlebihan dan tidak pula sedikit) akan membawa keberkahan bagi apapun yang menimpanya. Ia akan menjadikan tanah menjadi subur, hingga tanaman dapat menghasilkan dengan baik. Hal ini akan memuaskan manusia yang secara pasti menggantungkan sumber hidupnya pada tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan. Ketika musim hujan telah berlalu berganti dengan musim kering, tumbuh-tumbuhan itu akan mengering dan tak dapat diselamatkan lagi. Ia akan punah tak berbekas dan dilupakan oleh manusia yang telah memuji sebelumnya.
Kalau kita coba merenung dan mendalami hikmah pada ayat diatas, Allah Azza wa Jalla memberi pengajaran kepada kita bahwa ‘air hujan’ bagaikan ‘rezeki’ yang ia berikan kepada kita. Ketika Allah memberikan rezeki yang lebih pada seseorang, maka ia akan tampak begitu memukau bagi orang-orang yang melihatnya. Bagai tanaman yang tersiram air hujan, akan terlihat menghijau dan segar. Tapi ketika Allah mempersempit rezekinya, maka orang-orang akan cenderung untuk melupakannya. Bahkan yang sering terjadi adalah orang-orang akan cenderung mencelanya seolah kesempitan rezeki itu adalah karena ‘kesalahannya’ dalam mengusahakannya.
Harta dan anak-anak merupakan bagian dari rezeki Allah yang tidak bergantung pada amal shaleh seseorang dalam memperolehnya. Begitu banyak hamba-hamba Allah yang shaleh tapi memperoleh kesempitan rezeki sehingga harus selalu tertatih-tatih dalam menjalani hidupnya. Dalam sisi yang lain, begitu banyak orang-orang kafir yang rezekinya melimpah ruah hingga keluar pernyataannya yang amat sombong, “Bukan aku yang bekerja, tapi uang yang berkerja untukku!” Allah mencela orang-orang yang berpendirian seperti ini dalam QS Al Fajr [89] 15-20.
Rezeki adalah hak Allah dalam menentukan. Kepada siapa Allah akan berikan dan seberapa banyak yang akan Allah berikan. Bukan karena keta'atan dan bukan pula karena kekufuran. Adalah kurang pantas bagi kita untuk membahas kenapa rezeki si A lebih daripada si B. Kenapa si A memperolehnya sedang si B tidak? Kenapa kita harus selalu mempersoalkannya? Bukankah dengan mempertanyakannya, berarti kita mempertanyakan takdir (baca: Qadha & Qadar) yang Allah telah tetapkan puluhan ribu tahun sebelum kehadiran manusia di muka bumi ini? Hal ini adalah sebuah ke-naif-an buat kita untuk mengetahui rahasia-Nya.
Yang seharusnya terjadi, menurut ayat diatas adalah bagaimana cara kita mengisi kehidupan ini dengan amal shaleh yang banyak. Sadar akan peran kita di masyarakat adalah awal bagi kita untuk melakukan amal shaleh. Seorang pekerja akan bekerja dengan sebaik-baiknya dengan penuh kejujuran. Bukankah ini sebuah amal shaleh? Seorang pengusaha akan selalu memikirkan nasib pekerjanya agar dapat terpenuhi segala kebutuhan mereka dan menginfakkan sebahagian kelebihan keuntungan yang ia peroleh untuk membantu beasiswa anak-anak yatim dan jaminan kesehatan orang-orang miskin. Bukankah ini sebuah amal shaleh? Demikian juga seorang suami yang selalu ingin membahagiakan pasangan hidupnya dan anak-anaknya dengan mencukupi segala kebutuhan hidup mereka dan selalu bersikap lemah lembut serta penuh perhatian. Bukankah ini adalah amal shaleh? Seorang istri yang mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa harus bersikap kasar kepada mereka. Bukankah ini juga amal shaleh?
Zuhud tidaklah bertumbukan dengan kehidupan modern yang lebih menonjolkan 'kebendaan'. Justru sikap zuhud yang ditunjukkan oleh seorang hamba akan menjadi nilai diri yang amat menonjol yang dapat membawa kedamaian dalam pergaulan. Bukankah sikap hidup menonjolkan simbol-simbol kekayaan menyebabkan persaingan yang tiada habis-habisnya karena ingin terlihat lebih diantara yang lain? Sikap zuhud- lah yang dapat meredam semua itu.
Rasulullah Saw bersabda yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra, “Celakalah hamba dinar, celakalah hamba dirham, celakalah hamba pakaian dan celakalah hamba perut! Jika telah terpenuhi, ia bahagia dan apabila tidak terpenuhi maka ia akan merasa sedih.” (HR Bukhari)
Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa,
M. Fachri
Tuesday, 15 March 2011
Kepekaan Hati
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada.” (QS Al Hajj [22]:46)
Seorang teman menyampaikan bagaimana sulitnya ia sebagai orangtua untuk menanamkan nilai-nilai yang baik kepada anak-anaknya. Ia sadar anak-anaknya banyak terpengaruh oleh keadaan lingkungannya yang ia katakan sebagai 'serba instan'. Ditambah lagi dengan 'paradigma internet' yang menjadikan mereka bergaul dalam lingkungan yang luas tanpa mengenal pijakan dan waktu tapi amat terbatas interaksi sosial-nya. Hal yang menyebabkan sang anak tidak peka terhadap keadaan disekelilingnya.
Hamba itu teringat akan sebuah buku yang pernah dibacanya yang berjudul, ‘The Shallows’ karya Nicholas Carr. Buku ini bercerita bagaimana ‘internet’ sebagai medium yang serba bisa itu membawa perubahan pada pergeseran prilaku berpikir, membaca dan mengingat. Banjir informasi (information ovearloaded) dan kemudahan serta kecepatan dalam memperolehnya membentuk pola dan proses berpikir baru. Lautan informasi memberikan peluang untuk mendapatkan lebih banyak pengetahuan dan wawasan. Namun disisi yang lain, hal tersebut justru mengikis kapasitas untuk berkonsentrasi dan melakukan kontemplasi (dalam istilah agama kita kenal dengan muhasabah). Kesabaran untuk membaca jauh berkurang. Justru yang banyak dilakukan sekarang adalah ‘membaca cepat’ dan ‘sepintas’ yang disebut dengan ‘scan-read’.
Dalam kesehari-harian, anak-anak kita dipaksa untuk mengerjakan tugas-tugasnya tanpa harus ‘mencari’, ‘membaca’ dan ‘menemukan’ informasi yang dibutuhkannya pada sebuah atau beberapa buku. Ia akan lebih memilih aktivias ‘googling’ (search di google). Memilih artikel yang ia anggap layak dan meng ‘copy’ dan ‘paste’ ke dalam tugas yang sedang dikerjakannya.Tanpa kita sadari hal ini mengikis kapasitasnya untuk berkonsentrasi dan menafikan semangatnya untuk membaca.
Saat ini membaca bukan sebuah aktivitas yang penuh dengan kenikmatan lagi. Dahulu kita lebih sering untuk menyempatkan diri membaca dimana saja kita berada, apakah itu diruang keluarga, di ruang tidur, di taman atau café dengan ditemani oleh secangkir teh atau kopi. Kita bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk hanyut dengan buku-buku yang kita baca. Tapi kini kita lebih senang untuk membuka laptop/netbook ataupun tablet computer dimanapun kita berada dan lebih mementingkan keberadaan ‘Wifi’ daripada rasa ‘kopi tubruk’ yang ada di café tersebut. Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Starbuck café , jumlah pelanggan mereka yang datang dan membaca buku jauh menurun jika dibandingkan dengan jumlah mereka yang memegang laptop/netbook/tablet dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Social Network menggantikan cara kita untuk berinteraksi satu sama lain. Kita ataupun anak-anak kita berlomba-lomba untuk memiliki sebanyak-banyaknya ‘friend’ dan ‘follower’. Status dan komentar berseliweran tanpa melihat tatanan moral dan sopan santun dalam menyampaikan dan menanggapi pendapat. Kita telah kehilangan sesuatu yang amat mendasar dalam hubungan antar manusia yaitu ‘bertemu’ dan ‘saling menyapa’
Dalam ayat QS Al Hajj di atas Allah Azza wa Jalla mengingatkan kita untuk selalu ‘berjalan’ di muka bumi ini dan melihat apa yang terjadi di sekeliling kita. Hal yang akan mengasah kepekaan kita dengan hati yang kita miliki. Jangan biarkan hati kita ‘buta’ yang menyebabkan segala apa yang ada di diri sirna tak berbekas. Kita harus selalu berinteraksi untuk saling memahami.
Internet sebagaimana harta adalah ‘media’ (baca: alat) untuk melakukan amal shaleh sebanyak-banyaknya bagi kehidupan akhirat. Harta bukanlah jaminan untk memperoleh kebahagian. Berapa banyak manusia yang kaya raya tapi tidak memperoleh kebahagiaan dan hidup dalam keterasingan. Yang pasti adalah harta adalah sebuah alat, yang jika dipergunakan sesuai dengan petunjuk dan ridha Allah akan memperoleh keberkahan yang menyebabkan kebahagiaan yang terus menerus sampai ajal menjelang serta jaminan surga dengan kenikmatan yang tiada terperi (QS11:3). Demikian juga dengan internet, jika digunakan dengan niat yang baik dan benar akan ‘mendukung’ cara kita berinteraksi selama ini bukan ‘menggantikan’ peran interaksi itu sendiri. Dibutuhkan sebuah kearifan untuk menggunakannya demi agar nilai-nilai kepekaan itu tidak hilang dari diri.
Bagaimana untuk terus mengasah kepekaan?
Yang penting kita ingat adalah perintah Iqra’ pada QS Al Alaq yang merupakan ayat-ayat Al Quran yang pertama kali turun. Allah Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita untuk ‘tidak sekedar membaca’ tapi juga ‘memahami’ akan apa yang yang ada disekeliling kita. Allah mengenalkan diri-Nya Yang Maha Agung sebagai Rabb semesta alam dalam ayat pertama QS Al Alaq tersebut yang berbunyi ‘Iqra bismirabbikalladzi khalaq’ bukan tanpa hikmah.
Kita mengenal bahwa dalam bahasa arab, Rabb merujuk pada sifat Allah Yang Maha Berproses (baca: mendidik). Allah Azza wa Jalla mengajarkan kepada kita bahwa banyak dari ciptaan-Nya dibentuk melalui sebuah proses dan tidak diciptakan secara ‘instan’ walaupun Allah Maha Berkuasa atas hal ini. Sebagai contoh adalah dalam penciptaan anak cucu adam (baca: manusia). Allah Azza wa Jalla membentuknya dalam sebuah proses dari segumpal darah menjadi segumpal daging menjadi tulang belulang dst hingga menjadi manusia sempurna yang dilahirkan. Semua proses ini membutuhkan waktu selama lebih dari sembilan bulan (baca QS 23:14). Demikian juga dalam hal penciptaan alam semesta dan bumi yang menjadi bagiannya. Allah Azza wa Jalla menciptakannya dalam enam masa (waktu) yang hanya Allah yang tahu berapa lama hal itu terjadi. (baca QS 7:54). Kedua hal ini memberi hikmah bahwa untuk mencapai sesuatu kesempurnaan diperlukan sebuah proses untuk mencapainya. Tidak ada yang instan dalam hidup ini.
Hal ini juga yang dapat menjelaskan kenapa seorang hamba Allah yang mengaku beriman harus menjalani setiap ujian-Nya di muka bumi ini. Semua itu agar kedudukan (derajat) dari hamba-hamba-Nya itu selalu meningkat. Dari predikat mukninin (beriman) menjadi muttaqin (taqwa) untuk kemudian menjadi shalihin (shalih) yang tinggi kedudukannya disisi-Nya.
Sesuatu yang amat menyedihkan adalah kenyataan bahwa kita terkadang tidak memiliki waktu untuk membaca ayat-ayat-Nya di setiap malam padahal kita mengaku beriman dan berikrar bahwa kita akan selalu menjadikan kitab-Nya yang mulia, Al Quran, sebagai pedoman hidup. Bagaimanakah Al Quran dapat menjadi pedoman hidup, kalau membaca dan mengerti akan terjemahannya saja pun kita tidak pernah lakukan dengan rutin setiap malam? Apatah lagi mengajarkannya kepada anak-anak?
Jika kita ingin memiliki ‘kepekaan’ dalam diri kita dan anak-anak kita, hendaklah kita memulainya dari saat ini. Jadikanlah rumah kita bagai madrasah malam hari dimana anggota keluarganya sebelum tidur selalu membaca ayat-ayat-Nya dan juga terjemahannya sebagai sebuah modal untuk memiliki ‘kepekaan hati’ yang merupakan kekayaan (jiwa). Ingatlah akan sebuah pesan yang amat berharga dari Rasulullah Saw dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abbas ra. Nabi bersabda, “Bacalah dan ajarkan kepada istri dan anak-anak kalian surah Al Waqi’ah karena sesungguhnya surah itu adalah surah kekayaan.” (HR Ibnu Asakir)
“Sesungguhnya telah kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang didalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Apakah kamu tiada memahaminya?” (QS Al Anbiyaa’ [21]:10)
Wednesday, 2 March 2011
Kekuasaan Yang Menjadi Penyesalan
"Ya Allah Yang Memiliki Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yg Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa yg Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yg Engkau kehendaki dan engkau hinakan siapa yg Engkau kehendaki. Ditangan Engkau lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS Ali Imran [3]:26)
Terkadang kita tidak menyadari bahwa kekuasaan yang kita miliki baik sebagai pemimpin umat ataupun pemimpin rakyat ataupun pemimpin rumah tangga ataupun pemimpin perusahaan ataupun pemimpin siswa-siswa yang kita didik adalah sebuah amanah yang dapat menyelamatkan ataupun membinasakan kita kelak. Setiap pemimpin selalu identik dengan kekuasaan yang dilingkupinya. Dan kekuasaan inilah yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak oleh Allah. Apakah kekuasaan itu telah kita jalankan dengan adil dan bijaksana ataukah secara dzalim dan penuh dengan kebathilan. Orang-orang yang pernah kita pimpin akan datang kepada kita kelak dihadapan Allah Azza wa Jalla. Bisa jadi mereka akan menjadi saksi yang meringankan kita karena kita telah membawa kebaikan kepada mereka. Bisa jadi pula mereka menuntut dihadapan Allah akan keadilan yang tidak mereka dapatkan bagai jauh panggang dari api selama dalam kepemimpinan kita.
Kekuasaan bukanlah sebuah hadiah atau hasil jerih payah yang telah kita raih. Kekuasaan adalah sebuah amanah yang bersumber dari Allah Azza wa Jalla yang juga merupakan ujian hidup. Ia dapat menjadi sumber kebaikan ataupun sumber keburukan. Berapa banyak pemimpin yang awalnya begitu disanjung dan dipuji, tapi pada akhirnya menuai kehinaaan. Ia dikucilkan bagai sang pesakitan yang tak terlihat sedikitpun kebaikan yang pernah diperbuatnya. Sebaliknya pemimpin yang adil itu bagai setangkai bunga yang harum mewangi mewarnai setiap relung jiwa orang-orang yang dipimpinnya. Namanya selalu hidup dan selalu menjadi buah bibir yang tak habis untuk dibicarakan.
Rasulullah Saw bersabda, "Kalian semua adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin keluarganya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Demikian juga istri yang merupakan pemimpin dirumah suaminya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelola dan memelihara harta tuannya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR Bukhari dan Muslim)
Hendaklah kita selalu menjadikan kekuasaan yang kita miliki sebagai sebuah sumber amal shaleh dalam melangkah. Seorang suami akan selalu membawa kebaikan bagi istri dan anak-anak yang dipimpinnya. Demikian juga dengan istri akan selalu membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi suami dan anak-anak serta pelayan-pelayan rumah tangga yang berkerja untuk mereka. Demikian juga dengan seorang pekerja yang memiliki bawahan, ia akan menjadi sumber inspirasi dan kebaikan bagi mereka. Sikapnya yang selalu adil dan bijaksana akan selalu membawa kenangan manis bagi siapapun yang dipimpinnya. Demikian juga seorang guru yang selalu dapat menjadi inspirasi dan sumber ilmu bagi murid-murid yang mendapat pengajarannya. Hidup ini akan terasa indah jika diisi oleh amal shaleh yang bergema keindahannya melintasi relung jiwa orang-orang yang dapat merasakannya. Sang pemimpin akan terus menyebarkan kebaikan sedang orang-orang yang dipimpinnya akan terus merasakan manfaat yang tiada habis-habisnya. Bagai sebuah ikatan bathin yang erat dan menyatu hingga membuat keduanya selalu ingin tersenyum saat merasakannya.
Satu hal yang selalu menjadi renungan bagi kita. Janganlah kekuasaan itu menjadi sumber penyesalan. Dihadapan sahabat-sahabatnya Rasulullah Saw pernah menyampaikan yang bersumber pada Abu Hurairah ra. Nabi bersabda, "Sesungguhnya kalian berambisi untuk meraih suatu kekuasaan, tapi pada hari kiamat kelak kekuasaan itu menjadi sumber penyesalan." (HR Bukhari)
Terkadang kita tidak menyadari bahwa kekuasaan yang kita miliki baik sebagai pemimpin umat ataupun pemimpin rakyat ataupun pemimpin rumah tangga ataupun pemimpin perusahaan ataupun pemimpin siswa-siswa yang kita didik adalah sebuah amanah yang dapat menyelamatkan ataupun membinasakan kita kelak. Setiap pemimpin selalu identik dengan kekuasaan yang dilingkupinya. Dan kekuasaan inilah yang akan diminta pertanggungjawabannya kelak oleh Allah. Apakah kekuasaan itu telah kita jalankan dengan adil dan bijaksana ataukah secara dzalim dan penuh dengan kebathilan. Orang-orang yang pernah kita pimpin akan datang kepada kita kelak dihadapan Allah Azza wa Jalla. Bisa jadi mereka akan menjadi saksi yang meringankan kita karena kita telah membawa kebaikan kepada mereka. Bisa jadi pula mereka menuntut dihadapan Allah akan keadilan yang tidak mereka dapatkan bagai jauh panggang dari api selama dalam kepemimpinan kita.
Kekuasaan bukanlah sebuah hadiah atau hasil jerih payah yang telah kita raih. Kekuasaan adalah sebuah amanah yang bersumber dari Allah Azza wa Jalla yang juga merupakan ujian hidup. Ia dapat menjadi sumber kebaikan ataupun sumber keburukan. Berapa banyak pemimpin yang awalnya begitu disanjung dan dipuji, tapi pada akhirnya menuai kehinaaan. Ia dikucilkan bagai sang pesakitan yang tak terlihat sedikitpun kebaikan yang pernah diperbuatnya. Sebaliknya pemimpin yang adil itu bagai setangkai bunga yang harum mewangi mewarnai setiap relung jiwa orang-orang yang dipimpinnya. Namanya selalu hidup dan selalu menjadi buah bibir yang tak habis untuk dibicarakan.
Rasulullah Saw bersabda, "Kalian semua adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas orang-orang yang dipimpinnya. Suami adalah pemimpin keluarganya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya itu. Demikian juga istri yang merupakan pemimpin dirumah suaminya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pelayan adalah pemimpin dalam mengelola dan memelihara harta tuannya dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR Bukhari dan Muslim)
Hendaklah kita selalu menjadikan kekuasaan yang kita miliki sebagai sebuah sumber amal shaleh dalam melangkah. Seorang suami akan selalu membawa kebaikan bagi istri dan anak-anak yang dipimpinnya. Demikian juga dengan istri akan selalu membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi suami dan anak-anak serta pelayan-pelayan rumah tangga yang berkerja untuk mereka. Demikian juga dengan seorang pekerja yang memiliki bawahan, ia akan menjadi sumber inspirasi dan kebaikan bagi mereka. Sikapnya yang selalu adil dan bijaksana akan selalu membawa kenangan manis bagi siapapun yang dipimpinnya. Demikian juga seorang guru yang selalu dapat menjadi inspirasi dan sumber ilmu bagi murid-murid yang mendapat pengajarannya. Hidup ini akan terasa indah jika diisi oleh amal shaleh yang bergema keindahannya melintasi relung jiwa orang-orang yang dapat merasakannya. Sang pemimpin akan terus menyebarkan kebaikan sedang orang-orang yang dipimpinnya akan terus merasakan manfaat yang tiada habis-habisnya. Bagai sebuah ikatan bathin yang erat dan menyatu hingga membuat keduanya selalu ingin tersenyum saat merasakannya.
Satu hal yang selalu menjadi renungan bagi kita. Janganlah kekuasaan itu menjadi sumber penyesalan. Dihadapan sahabat-sahabatnya Rasulullah Saw pernah menyampaikan yang bersumber pada Abu Hurairah ra. Nabi bersabda, "Sesungguhnya kalian berambisi untuk meraih suatu kekuasaan, tapi pada hari kiamat kelak kekuasaan itu menjadi sumber penyesalan." (HR Bukhari)
Subscribe to:
Posts (Atom)