Thursday, 6 October 2011

Bekal Taqwa

“Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi. Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan-Nya yang memiliki sayap, masing-masing dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha berkuasa atas segala sesuatu.” (QS Faathir [35]:1)

Seorang teman menyampaikan bahwa tahun ini ia telah diberi nikmat oleh Allah Azza wa Jalla untuk mengerjakan ibadah haji dan siap untuk berangkat dalam beberapa hari ke depan. Ia bertanya kepada hamba itu, bekal apa yang harus ia persiapkan untuk memperoleh haji yang ‘mabrur’.

Hamba itu balik bertanya kepadanya, “Apa yang telah kamu persiapkan untuk berjumpa dengan Tuhanmu?”

Ia terdiam sebentar. Raut wajahnya berubah menjadi muram. Sembari menghela nafas, ia berkata, “Aku bukan ingin mati disana, aku hanya ingin meraih haji yang mabrur.”

Perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang hanya dapat dilakukan oleh yang “mampu”. Bukan hanya dari sisi materi tapi juga secara ruhani. Begitu banyak ragam niat seseorang untuk berhaji. Ada yang untuk mengejar status dan ada juga yang sekedar “mencuci dosa” yang telah menumpuk terlalu banyak. Ada juga yang ingin memuaskan hawa nafsunya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu dan pantas untuk menyandang sebuah gelar “Haji” atau “Hajjah”.  Dan yang lebih mengharukan, tanpa disadari atau tidak, bagi sebahagian orang, ibadah haji tak lebih dari sebuah perjalanan wisata dengan membayangkan tempat-tempat indah nan syahdu untuk dikunjungi serta tempat menghabiskan uang untuk berbelanja.

Perjalanan haji adalah sebuah perjalanan yang sarat dengan simbol dan makna. Simbol-simbol yang terukir dalam pakaian ihram yang hanya dua lembar sebagai pertanda bahwa ketika kita menghadap Allah Azza wa Jalla, tak ada sesuatupun yang kita bawa kecuali dua lembar kain yang akan melingkari tubuh kita. Demikian juga ritual melontar jumrah melambangkan perlawanan kita terhadap syaitan yang terus berusaha menggoda. Pertarungan antara keburukan dan kebaikan itu akan selalu ada selama ruh masih bersemayam dalam tubuh kita.

Puncak dari ibadah haji itu adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 Zulhijjah. Allah telah memilih hari ke-9 dalam suatu bulan yang menjadi penutup tahun Hijriyah. Angka 9 adalah simbol pencapaian tertinggi dari seorang hamba dalam hidupnya. Puncak dari segala yang telah ia lakukan. Ketika ia berada di puncak, sudah seharusnya ia melakukan muhasabah (kontemplasi) untuk kembali mensucikan dirinya. Dimulai dari matahari tergelincir di waktu Dhuhur sampai matahari terbenam di waktu Maghrib, seluruh hamba yang berniat haji diharuskan hadir untuk berdiam diri dan melakukan suatu pendekatan dengan Rabb Yang Maha Agung secara sendiri-sendiri. Dan bukan berjamaah. Sampai-sampai Rasulullah Saw sendiri men jama’-qashar shalat Dhuhur dan Ashar nya ketika Wukuf agar leluasa mendekatkan dirinya pada Rabb Yang Maha Hidup. Tidak ada undangan yang lebih agung ketika Allah memulikan hamba-hamba-Nya di Arafah. Dan hal ini terangkai dalam sebuah pesan Rasulullah Saw, "Haji itu adalah Arafah dan tiada yang membatasi seorang hamba dengan Rabb-nya di hari itu, mereka berada dalam pelukan-Nya" (HR Bukhari).

Arafah adalah replika dari sebuah padang mahsyar kelak tempat dimana semua manusia berkumpul untuk menunggu keputusan Allah Azza wa Jalla. Menimbang dengan ‘mizan’ (baca: timbangan yang adil) kebaikan dan keburukan demi untuk mendapat balasan. Di Arafah semua hamba-Nya yang sedang ber wukuf  sama kedudukannya, sama-sama merasakan kebesaran-Nya. Tempat jutaan hamba-hamba-Nya melantunkan pujian dan bermunajat dengan linangan air mata yang membasahi setiap wajah-wajah mereka demi memperoleh ampunan dan ridha-Nya.

Bagi kita yang tidak hadir pada hari itu di Arafah untuk menunaikan ibadah haji, kita disunahkan berpuasa untuk merasakan begitu hebat peristiwa yang hanya sekali saja terjadi sepanjang tahun itu dan kitapun layak mendapat pengampunan Allah Azza wa Jalla atas segala dosa yang telah kita lakukan sepanjang tahun yang lalu.

Semua ritual ibadah haji akan menanamkan kepada kita begitu kecilnya kedudukan kita dihadapan Allah Azza wa Jalla. Begitu besarnya kekuasaan Allah atas segala sesuatu di alam semesta ini. Tidak ada yang layak disembah dan terus menerus diagungkan selain kalimat-kalimat-Nya yang berpadu pada dzikir, tahlil dan tahmid yang tiada henti.

Satu hal yang hamba itu rasakan dalam perjalanan haji nya beberapa tahun yang lalu. Sebuah peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan dari benak yang lemah ini. Peristiwa itu terjadi setelah selesai mengerjakan tawaf ifadah dan sa’i shafa-marwah pada tanggal 10 Zulhijjah di siang hari yang sangat terik. Setelah ibadah ritual itu, tenggorokan ini terasa amat kering dan tercekat. Hamba itu mencari air zam zam untuk diminum. Biasanya air itu ada di dalam wadah berwarna coklat muda yang tersebar disekeliling Masjidil Haram.  Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Semua wadah itu kosong adanya. Bisa jadi begitu banyak Jemaah yang membutuhkannya sehingga tidak ada yang tersisa sedikitpun.

Hamba itu terus mencari dan melangkahkan kakinya menuju sumur zam-zam yang dikala itu masih berbentuk ruang bawah tanah. Sesuatu yang aneh terjadi. Jalan menuju ruang sumur zam-zam itu tidak terlihat sama sekali karena kerumunan Jemaah yang sedang melakukan thawaf ifadah begitu memuncak. Tak mungkin rasanya hal itu bisa dicapai.

Dalam keadaan seperti itu, keputusasaan itu menyeruak memenuhi jiwa yang labil ini. Istighfar terus dilantunkan, tasbih dan tahmid terus mengiringi langkah yang mulai terasa berat untuk ditapaki. Akhirnya hamba itu itu duduk bersandar pada sebuah tiang penopang Masjidil Haram sembari berdoa pada Rabb-nya memohon pertolongan akan keadaan jiwanya tak sanggup lagi untuk berdiri. Kepalanya terasa berat dan berputar-putar.

Disaat kepasrahan itu melanda, hamba itu teringat akan kisah seorang ibu yang tegar. Istri dari nabi Ibrahim as yang bernama Hajar. Seorang diri ia berusaha untuk mencari air bagi anaknya Ismail yang terus menerus menangis kehausan. Saat dimana kesulitan itu memuncak dan segala usaha telah dilakukan tanpa ada hasil,  disaat itu pula pertolongan Allah datang dengan air zam zam yang sampai saat ini masih dapat kita nikmati.

Hamba itu terus mengucap, “Ya Rabb, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan.”  Sembari memandang ke arah Ka’bah yang terlihat begitu tegar dan indah.  

Tanpa hamba itu sadari, seorang pria berwajah arab dengan memakai pakaian ihram yang masih terlihat bersih dan rapi mendekat ke arahnya. Sang Bapak membawa sebuah cangkir putih yang berisi air zam zam. Tepat di depannya, sang Bapak berhenti dan dengan tersenyum ia memberi cangkir di tangan kanannya kepada hamba itu sembari berkata “Barakallah” dan menepuk pundaknya.

Hamba itu tersenyum lebar kepadanya dan mengucap “Syukran “ berkali-kali. Sang Bapak cepat berlalu.

Hamba itu mengucap kalimat syukur yang tiada putus-putusnya sembari bersujud. Memang benar….malaikat tidak akan pernah menampakkan sayap-sayapnya.…

Hamba itu berkata kepada temannya, “Bawalah bekal taqwa karena hal itu sangat dibutuhkan.” Sesuai dengan pesan Al Quran:


“…Berbekalah dan sesungguhnya sebaik-baik bekal itu adalah taqwa dan betaqwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang berakal” (QS Al Baqarah [2]:197)


Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Saturday, 27 August 2011

Penyucian Jiwa


“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Tidakkah mereka mengetahui, sesungguhnya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS At Taubah [9]:103-104)

Seorang teman bertanya, kenapa kewajiban shalat selalu dihubungkan dengan kewajiban zakat (Aqimu shalah wa attu zakah)? Demikian juga dengan Puasa yang selalu dihubungkan dengan zakat fitrah? Dan ibadah haji yang selalu dihubungkan dengan penyembelihan hewan qurban?

Dalam pengakuan keimanan kepada Allah, ada dua hal yang menjadi fokus hubungan yang harus selalu dibina yaitu: hubungan vertikal kepada Allah (ibadah) dan hubungan horizontal kepada sesama manusia (muammalah). Allah Azza wa Jalla mengajarkan dengan ayat-ayatnya yang suci bahwa setiap ritual ibadah baru dianggap sempurna jika dampaknya telah dirasakan oleh lingkungan sekelilingnya. Untuk itulah sebagai wadah penyempurnaan ibadah selalu harus diiringi dengan sesuatu kegiatan yang bernilai sosial tinggi. Ibadah shalat selalu diikuti dengan menunaikan zakat, ibadah puasa Ramadhan dengan membayar zakat fitrah dan ibadah haji dengan penyembelihan hewan qurban.

Ibadah shalat misalnya, ibadah ini tidak bernilai apa-apa jika tidak berbekas pada jiwa hamba yang melaksanakannya. Allah mengingatkan kita dengan QS Al Maa’uun

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya dan enggan (menolong) dengan barang yang berguna” (QS 107: 4-7)

Kalimat ‘Enggan menolong dengan barang yang berguna’ adalah mengisyaratkan bahwa siapapun yang telah benar melaksanakan shalat, maka akan tumbuh dihatinya sifat kedermawanan (suka monolong) dengan harta yang dimilikinya (materi) ataupun dengan tenaga dan pikiran (non materi) demi memberi kebaikan bagi orang lain. Dari ayat ini timbul pemahaman bahwa kata ‘sedeqah’ itu mempunya makna yang sangat luas. Sedeqah itu tidak hanya diartikan dengan pemberian dalam bentuk materi tapi juga dalam bentuk non materi. Rasulullah Saw pernah bersabda,

“Jangan kalian menganggap remeh suatu kebaikan (sedeqah) walaupun hanya bermuka cerah (senyum) kepada orang lain” (HR Muslim)

Ulama membagi sedeqah materi dalam dua hal, yang pertama adalah zakat yang sifatnya wajib dan yang kedua adalah infaq yang sifatnya sunnat. Kewajiban zakat ditetapkan oleh Al Quran dalam hal bentuknya (zakat Maal, Buah-buahan, ternak dll). Al Quran juga menentukan siapa dari orang-orang yang boleh menerima zakat tersebut yang dijelaskan pada QS At Taubah [9] ayat 60. Sedangkan hadish Rasulullah Saw mengatur syarat kecukupan dari harta yang harus dibayarkan/dikeluarkan zakatnya yang disebut dengan nishab dan juga besaran dari zakat tersebut (2,5%; 5%; 10%).

Berbeda dengan zakat, infaq dapat dilakukan kapan saja dan kepada siapa saja tanpa ada syarat kecukupan harta (nishab) yang harus dipenuhi dengan besaran yang tidak terbatas pula. Kita dapat memberikannya kepada kerabat dekat, jauh, orang miskin, anak yatim, sahabat, teman dan siapa saja yang kita anggap membutuhkan.

“Bagaimana dengan seseorang yang merasa sudah berinfaq sangat banyak selama ini dan sudah merasa cukup sehingga tidak perlu mengeluarkan zakat lagi?” Seorang teman lain bertanya.

Mendahulukan pekerjaan yang bernilai sunnat daripada wajib adalah sebuah pemahaman yang keliru dan tidak dapat diterima adanya. Sama saja hal ini seperti mendahulukan shalat-shalat sunnat seperti dhuha dan tahajud daripada kewajiban shalat yang lima waktu. Demikian pula dengan orang yang berpuasa Ramadhan tapi ia tidak shalat wajib. Apakah ibadahnya dapat diterima? Jelas sesuatu yang tertolak.

                                                  ooOOOoo

Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap muslim sesuai dengan hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu Umar ra, “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah kepada ummat manusia pada bulan Ramadhan” (HR Bukhari & Muslim).

Zakat fitrah dapat dipahami sebagai sebuah wadah untuk mensucikan jiwa dan sebagai penyempurna bagi seluruh amalan ibadah di bulan Ramadhan sesuai dengan hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu ‘Abbas ra,

“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci jiwa bagi orang yang berpuasa dari kesia-siaan, kata-kata kotor, sekaligus untuk memberi makan orang-orang miskin” (HR Muslim)

Jelaslah bahwa ibadah puasa Ramadhan belum dapat sempurna dijalankan jika kewajiban membayar zakat fitrah  tidak dilakukan.

Jenis makanan apakah yang dikeluarkan untuk zakat fitrah?

Zakat fitrah dikeluarkan berupa makanan pokok atau makanan yang merupakan suatu kebiasaan di suatu tempat atau lingkungan tertentu. Hal ini berdasar pada hadish Rasulullah Saw dari Abdullah bin ‘Amr,

“Rasulullah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ (takaran) kurma masak atau satu sha’ (takaran) gandum atas budak, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari kalangan kaum muslimin” (HR Bukhari & Muslim)

Kapan waktu terbaik mengeluarkan zakat fitrah?

Sebagian besar ulama mengajurkannya untuk dikeluarkan sebelum shalat Ied dilakukan atau satu dua hari sebelum pelaksanaan shalat Ied (bukan jauh hari sebelumnya). Hal ini berdasar pada hadish Rasulullah Saw yang berasal dari Ibnu Umar ra,

“Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka ia akan diterima. Barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka ia termasuk sedeqah biasa.” (HR Bukhari & Muslim)

“Kepada siapa diberikan zakat fitrah?”

Sebahagian besar ulama menyatakan zakat fitrah harus dikeluarkan berupa makanan pokok yang diberikan kepada fakir miskin secara langsung atau kepada pengelola zakat. Dalam hal diberikan kepada pengelola zakat, dibolehkan dalam bentuk uang untuk membayar/membeli makanan pokok yang telah disiapkan oleh pengelola zakat tersebut untuk kemudian pengelola zakat tersebut akan membagikannya kepada fakir miskin.

Bahwa Rasulullah Saw Bersabda, “Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta kepada manusia, lalu ia diberikan sesuap, dua suap, sebuah dan dua buah kurma.” Salah seorang sahabat bertanya: “Kalau begitu, siapakah orang miskin itu, wahai Rasulullah?”  Nabi bersabda: “Orang yang tidak menemukan harta yang mencukupinya tapi orang-orang tidak tahu karena kesabarannya, ia menyembunyikan keadaannya dan tidak meminta-minta kepada orang lain.” (HR Muslim)


Wallahu a'lam Bissawab,
M. Fachri

Monday, 22 August 2011

Malam-Malam I'tikaf


“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”(QS Ar Rum [30]:30)

Hari-hari akhir Ramadhan adalah ajang pembuktian diri. Pribadi-pribadi yang istiqamah yang benar-benar ingin meraih predikat taqwa akan semakin mendekatkan dirinya pada Allah tanpa ingin kehilangan sedikitpun momen penting ini. Mereka melaksanakan I’tikaf di masjid di malam hari, mendekatkan diri mereka kepada Rabb Yang Maha Agung. Mereka melaksanakan shalat, membaca kitab-Nya, berdzikir dan berdoa dengan linangan air mata. Mengadukan segala permasalahan yang dihadapi kepada Penguasa abadi alam semesta, Rabb Yang Maha Hidup dan Menghidupkan.

Dalam sebuah hadish Qudsi, Allah berkata,

"Siapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka ia telah menyatakan perang dengan-Ku! Tidaklah hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku selain dengan sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Kemudian, tiada henti-hentinya hamba-Ku mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang Aku sunnat kan sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memegang, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku penuhi permintaannya dan jika ia meminta perlindungan-Ku pasti Aku melindunginya.” (HR. Bukhari)

Dalam melewati sebuah malam ganjil di sebuah Masjid, hamba itu bertemu dengan seorang Bapak yang dari kerutan di wajahnya tidaklah menampakkan ia dalam keadaan muda lagi. Ia amat tekun melewati malam I’tikaf nya. Terkadang terlihat ia shalat dan disusul dengan berdoa. Terdengar rintihan suaranya di sela doa-doanya yang panjang. Setelah selesai, ia lanjutkan dengan membaca Al Quran yang suaranya nyaris tidak terdengar bagi orang-orang yang ada disekitarnya. Ia membacanya dengan amat perlahan. Terkadang ia berhenti pada ayat-ayat yang menyuruh bersyukur, ia pun bersujud untuk kemudian berdoa kembali, meminta kepada Rabb-nya untuk menjadi hamba-Nya yang bersyukur. Ketika ia sampai pada ayat yang memaparkan beratnya siksa, terdengar rintihan suaranya kembali bergema. Ia terisak sejenak teringat akan beratnya konsekuensi dari dosa yang pernah diperbuat. Selesai membaca Al Quran ia teruskan dengan berdzikir kepada Allah. Melantunkan kalimat-kalimat indah memuji Rabb-nya. Lelehan air matanya terlihat membasahi wajahnya.

Suatu saat ia bangkit menuju tempat dimana hamba itu duduk. Ia ingin memberi hamba itu sebotol air mineral. Dalam suasana I’tikaf di musim kemarau seperti saat ini, suasana sepertiga akhir malam tetap saja menyisakan kegerahan yang dirasakan oleh tubuh yang lemah ini. Sebuah tantangan yang merupakan bahan rayuan syaitan untuk meninggalkan I’tikaf dan pulang merasakan sejuknya kamar tidur ber AC dan kasur yang empuk.

Hamba itu mengucapkan terima kasih kepadanya. Walaupun minuman air putih dalam wadah yang dibawa dari rumah ada di dekatnya, hamba itu tidak ingin menolak pemberian sang Bapak di malam yang penuh berkah ini agar mereka sama-sama memperoleh kebaikan.

Ia bertanya kepada hamba itu, apa alasannya untuk melakukan I’tikaf.

Hamba itu menjawab, “Ingin melewati sepuluh malam yang terindah dimana Allah begitu dekat dengan hamba-Nya.”

“Bukan mengejar Lailatul Qadr?” Tanyanya lagi.

“Hakikatnya begitu, Pak…tapi bukankah Lailatul Qadr itu tidak hanya dimaknai secara fisik?” Jawab hamba itu.

Terlihat wajahnya sedikit bingung dan mengharapkan jawaban yang lebih. Hamba itu mencoba untuk menjelaskannya.

Kisah-kisah di dalam Al Quran seringkali tidak dimaknai secara fisik dimana tempat dan waktu mengambil peran penting. Hal ini dapat kita pahami pada peristiwa Gua Kahfi dan kisah penguasa dunia yang bernama Dzulqarnain (keduanya terdapat dalam QS Al Kahfi); Peristiwa terbelahnya laut merah oleh Nabi Musa as dan pengikutnya dari Bani Israil; Kisah perjalanan Nabi Musa dengan seorang hamba (yang diyakini sebagai Nabi Khidir); Kisah terdamparnya perahu Nabi Nuh. Kisah-kisah ini adalah sebahagian dari kisah-kisah Al Quran yang tidak menyandarkan pada hal yang fisik. Semua kisah diatas tidak memuat tempat dan waktu kejadian.

Bagi sebahagian ulama memaknai Lailatul Qadr secara fisik berarti sama dengan memaknai suatu sejarah yang telah berlalu dan tidak mungkin kembali lagi karena tempat dan waktunya sudah terjadi ribuan tahun yang lalu ketika QS Al Alaq diturunkan pertama kali di gua Hira. Kalaupun dipaksakan untuk dimaknai secara fisik, saat ini mustahil bagi kita untuk bertemu dengan Lailatul Qadr kembali. Terlebih bagi kita yang tinggal bukan di Mekkah. Ada perbedaan waktu beberapa jam sehingga kita tidak mungkin bertemu dengan Lailatul Qadr dalam bentuk yang asli-nya yaitu di sepertiga malam yang akhir. 

Rasulullah Saw sendiri melakukan I’tikaf dan menganjurkan umatnya (dalam beberapa hadish yang shahih) untuk melakukannya di sepuluh malam terakhir dan terutama di malam-malam ganjil. Seandainya kehadiran Lailatul Qadr hanya ketika turunya Al Quran pertama kali, tentu Nabi tidak pernah menganjurkan untuk mencarinya. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Lailatul Qadr  turun secara berkesinambungan setiap tahun.

Hal ini juga dikuatkan oleh QS Al Qadr yang menceritakan betapa hebat nilai dan peristiwanya (ayat 3: “Lebih baik dari seribu bulan”) dan ayat 4: “Malaikat –malaikat dan ruh turun secara berkesinambungan dengan izin Rabb mereka”). Momen yang sulit untuk kita lewatkan dalam kehidupan ini.

Cobalah kita bayangkan, Nabi Saw menyuruh kita mencari di sepuluh malam diantara 354 malam (dalam hitungan kalender Hijriyah) yang ada. Bukankah hal ini mudah bagi kita? Tapi kenapa banyak dari kita tidak melakukannya? Dan bagi yang berusaha mencarinya, mereka hanya memfokuskan diri untuk mendapatkannya secara fisik bagai sebuah momen ‘Detik-Detik Proklamasi’ yang sakral itu.

Kalau kita merenung lebih jauh, Rasulullah dalam menjalani hari-harinya sebelum diutus oleh Allah Azza wa Jalla untuk menjadi Rasul, sering melewati malam-malamnya di gua Hira untuk mencari ‘kedamaian’. Kenapa hal ini Nabi lakukan?

Hanya ada satu jawaban: ‘Karena saat itu jiwanya kosong’

Prilaku jahiliyah telah merusak segala sendi-sendi kehidupan manusia. Tipu-menipu, zinah dan segala kebobrokan prilaku masyarakat telah mendominasi. Nabi bagai terkucil dari masyarakatnya. Ia gundah dan selalu menolak segala bentuk keburukan tapi ia bukanlah seseorang yang punya kuasa akan hal itu. Ia telah mencapai puncak kemapanan hidup dengan menjadi saudagar kaya dan memiliki istri yang kaya pula serta hidup dalam strata sosial yang dihormati. Hanya satu hal yang tidak didapatnya: “Kedamaian”.

Peristiwa turunnya Al Quran pada malam Qadr telah membawa Nabi pada sebuah momen kehidupan yang baru dimana momen itu merubah segala sisi kehidupannya 180 derajat. Kedamaian itu ia peroleh dengan wahyu Illahi yang turun dan dengan kedamaian itu pula Nabi memperoleh kemuliaan hidup. Satu hal yang dapat kita ambil pelajaran bahwa meraih ‘kedamaian’ itu tidaklah dapat diraih secara ‘instan’. Harus melalui proses yang panjang dengan bolak-baliknya Nabi menuju gua Hira sebelum pada akhirnya mendapatkan wahyu.

Hal ini pula yang tercermin pada seseorang yang menginginkan untuk memperoleh Lailatul Qadr.  Ia telah memulainya sejak hari pertama ia menjalankan puasa. Ia akan berusaha untuk tulus dan ikhlas dalam menjalankan setiap ritual ibadahnya yang akan membekas dalam jiwanya yang terdalam. Puncak hal ini ia rasakan pada sepuluh malam terakhir Ramadhan ketika malam-malamnya ia lewatkan menyendiri dengan Rabb-nya Yang Maha Agung di salah satu rumah-Nya (masjid) dimuka bumi ini. Berdialog dengan-Nya untuk mengadukan keadaannya, memohon kepada Rabb-nya memilihkan masa depan yang baik untuknya dan meminta kepada-Nya untuk dibangunkan sebuah rumah di surga-Nya yang tertinggi. Puncak dari semua itu, ia memperoleh ‘kedamaian’ seperti Rasul-Nya yang memperoleh kedamaian di malam Qadr ketika Al Quran pertama kali diturunkan. 

“Malam itu penuh dengan ‘kedamaian’ sampai terbit fajar” (QS Al Qadr [97]:5)

Pada akhirnya seseorang yang mendapat kedamaian di malam Lailatul Qadr akan terpancar sebuah keadaan yang pernah disampaikan oleh seorang ulama besar Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Menurutnya, “Hati yang memperoleh kedamaian mengantarkan pemiliknya dari ragu menjadi yakin, dari kebodohan kepada ilmu,  dari lalai kepada ingat, khianat kepada amanat, riya kepada ikhlas, lemah kepada teguh dan sombong kepada rendah hati.”

Hal inilah yang dapat dijadikan bukti pertemuan seorang hamba dengan Lailatul Qadr. Sifat-sifat yang baik itu akan memancar dari dirinya. Sebuah momen akan terjadi dimana dirinya akan berubah 180 derajat menuju hal yang lebih baik.

Untuk itulah hadish Qudsi yang telah dituliskan diatas begitu relevan dengan keadaan seorang hamba yang bertemu dengan Lailatul Qadr:

Sebagai bentuk cinta Allah kepada hamba-Nya itu, Allah akan senantiasa menjaga pendengarannya dari sesuatu yang jika didengarnya dapat merugikannya. Allah akan menjaga penglihatannya dari sesuatu yang dapat mempengaruhinya untuk berbuat kemaksiatan. Demikian juga Allah akan menjaga tangannya dari mengambil sesuatu yang haram sehingga terjaga dirinya, pasangan hidupnya dan anak-anaknya.  Kemanapun ia langkahkan kakinya, Allah selalu bersamanya…mengarahkannya untuk melangkah dalam kebaikan sehingga memperoleh rezeki yang diberkahi-Nya. Dan yang terindah dari semuanya adalah Allah akan mengabulkan segala yang diminta oleh hamba-Nya itu.

Suatu saat, ketika waktunya telah sampai, malaikat-malaikat akan datang kepadanya dan berkata, “Wahai jiwa yang memiliki kedamaian, kembalilah kepada Rabb mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya” (QS Al Fajr [89]:27-28) dan iapun menjawabnya dengan “Aku ridha ya Rabb”. Allah kemudian menjawabnya dengan berkata, “Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku (yang Kucintai) dan masuklah ke dalam surga-Ku (QS Al Fajr [89]29-30)

Sungguh sebuah kehidupan yang penuh dengan kedamaian….


Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Monday, 15 August 2011

Teladan Rasulullah Saw dalam Berbuka Puasa


“Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: ‘Salaamun alaikum.’ Rabb mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al An’am [6]:54)

Dalam suatu kesempatan berbuka puasa, hamba itu berada di dekat guru yang dihormatinya dan bertanya kepadanya seperti apa Rasulullah Saw berbuka puasa.

Sang guru berkata kepadanya, “Rasulullah Saw selalu menyegerakan berbuka”.

Dalam suatu hadish shahih disebutkan, “Ummatku akan tetap berada diatas sunnahku selama mereka tidak menunda-nunda berbuka puasa hingga munculnya bintang” (HR Ibnu Hibban)

Kemudian sang guru melanjutkan penjelasannya. “Ketika Adzan Maghrib berkumandang, Rasulullah membaca Basmallah dan meminum seteguk air putih diiringi dengan doa yang shahih:

        “Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.”

“Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki” (HR Abu Daud)

Setelah itu Rasulullah Saw mengambil beberapa butir kurma dalam jumlah yang ganjil (1,3 atau 5) untuk dikonsumsi dan memakannya dengan perlahan.

Selesai mengkonsumsi kurma, Rasullah Saw berdoa dengan mengangkat kedua tangannya untuk beberapa saat hingga kemudian menunaikan ibadah shalat Maghrib.

‎"Sesungguhnya orang yang berpuasa itu mempunyai satu kesempatan doa yang tidak akan ditolak pada saat ia berbuka" (HR Ibnu Majah & Al Hakim)

Wallahu 'alam Bissawab
M. Fachri

Thursday, 11 August 2011

Amalan Orang yang Berpuasa


“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka (untuk menghibur mereka) dan berkata, ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan memperoleh (kelak) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindung mu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta, sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” (QS Fushshilat [41]: 30-32)

Orang-orang yang berpuasa adalah orang yang banyak dzikir (mengingat Allah) dengan bertasbih, bertahlil, bertakbir dan beristighfar. Amatlah merugi orang-orang yang berpuasa tapi lisannya dan hatinya lalai dari berdzikir mengingat Allah. Bila siang terasa panjang, ia memendekkannya dengan berdzikir, bila didera oleh lapar dan haus yang menghujam, ia menghilangkannya dengan dzikir kepada Allah.

Dalam sebuah sabdanya Rasulullah saw berkata, “Hendaklah lidahmu selalu basah karena mengingat Allah.”  (HR Muslim).

Berapa banyak dari kita selalu melihat masa depan dengan kegelisahan dan apa yang telah berlalu dengan kesedihan. Dalam ayat diatas, Allah ‘Azza wa Jalla menghibur hamba-hamba-Nya yang selalu berdzikir dan menyerahkan diri secara tulus (istiqamah) dengan menurunkan malaikat-malaikatnya kepada mereka untuk membisikkan dalam relung-relung hati mereka yang paling dalam sebuah berita gembira: Mereka akan terhindar dari rasa takut (gelisah) terhadap apa yang ada dihadapan dan rasa sedih terhadap apa yang telah luput serta mereka akan mendapat apa yang mereka harapkan untuk memperolehnya.

                                                          ooOOOoo

“Syaitan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kikir (kejahatan); sedangkan Allah menjanjikan untukmu ampunan dan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (QS Al Baqarah [2]:268)

Disisi yang lain, kontras dengan para malaikat-Nya yang selalu menghibur, syaitan selalu berusaha untuk menakuti-nakuti dengan kegelisahan, kekurangan dan kesempitan. Hal yang menyebabkan manusia selalu menghitung segala langkah dan tindakan yang diambilnya. Ia selalu memikirkan untung-rugi walaupun tindakannya itu demi untuk beribadah kepada Allah.

Dalam pikiran kita yang serba terbatas ini, kita cenderung melihat bahwa pahala (balasan) yang kita peroleh di dunia ini sebagai sesuatu yang bersifat materi. Kita terpaku pada pandangan: "Siapa yang memperoleh lebih banyak adalah yang paling beruntung." 

Allah Azza wa Jalla menjelaskan di dalam ayat dari surah al Baqarah diatas bahwa pemberian-Nya itu adalah ‘Fadhillah’ yang selalu kita artikan dengan karunia Allah. Karunia Allah dapat dipahami sebagai segala kebaikan (pahala) yang diterima oleh seorang hamba Allah baik di dunia ini dan kelak di akhirat.

Karunia Allah di dunia ini dapat berupa bermacam-macam kebaikan. Rezeki dapat merupakan sesuatu yang haram karena cara memperolehnya adalah haram. Tanda-tanda rezeki yang merupakan karunia-Nya adalah: Sesuatu yang halal. Jika sedikit akan mencukupi. Jika dalam jumlah yang banyak akan menentramkan hati. Demikian juga dengan ilmu. Berapa banyak manusia yang memiliki ilmu di dunia ini tapi ilmunya selalu dipergunakan untuk berbuat curang dan alat penipu antar sesama. Tidaklah demikian dengan ilmu yang merupakan karunia Allah. Ilmu itu akan selalu bermanfaat dan memberi kemaslahatan bagi siapa saja. Demikian juga halnya dengan karunia Allah berupa pasangan hidup dan anak-anak yang merupakan penyejuk hati sehingga ada kecenderungan untuk selalu senang melihatnya dan tentram di dekatnya serta anak-anak yang selalu menjadi penguat jiwa.

Disisi yang lain, surga dan segala kenikmatannya kelak juga merupakan bagian dari karunia Allah Azza wa Jalla. Walaupun saat ini masih kasat mata, tapi mata hati tak akan pernah mengingkarinya karena Al Quran banyak bercerita akan kisahnya.

Hidup ini akan terasa indah jika karunia Allah itu selalu menaungi kehidupan kita. Ujian hidup yang datang silih berganti tidak akan mampu  membuat kita kecewa ataupun berputus asa. Semua akan terasa ringan untuk dijalani karena kita yakin Allah Azza wa Jalla akan selalu bersama hamba-hamba-Nya.

“Barangsiapa yang menghendaki pahala di dunia saja (maka ia akan merugi), karena disisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS An Nisaa [4]:134)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Friday, 5 August 2011

Harga Sebuah Keikhlasan

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS Ibrahim [14]:34)

Seorang teman bertanya, “Bagaimana caranya untuk ikhlas? Terkadang himpitan hidup dan kesulitan yang dirasa membuat kita selalu ‘iri’ terhadap apa yang diperoleh oleh orang lain. Terkadang kita merasa telah berusaha sekuat tenaga dan hanya mendapat seadanya sedangkan orang lain tersebut tidak berusaha dengan sungguh-sungguh pun memperoleh hasil yang lebih dari kita!”

Hamba itu meminta teman tersebut untuk bercermin pada surah Al Ikhlas. Suatu surah yang dinamakan demikian walau tidak ada satupun kata ‘ikhlas’ di dalamnya. Berbeda dengan surah-surah Al Quran lain yang dinamakan sesuai dengan kata yang ada dalam surah tersebut.

Ikhlas berasal dari kata 'Khalish' yang berarti murni (suci) setelah sebelumnya keruh (kotor). Ikhlas lebih ditafsirkan sebagai keberhasilan usaha untuk memurnikan atau menghilangkan kekeruhan setelah sebelumnya dalam keadaaan yang demikian.

Kehidupan ini dapat diibaratkan demikian. Banyak hal yang dapat membuat hati kita keruh. Ketika kita melihat seseorang lebih berhasil meraih sesuatu, hati kita mempertanyakannya. Demikian juga dalam hal harta dan kekuasaan. Kenapa orang lain dapat lebih berkuasa daripada kita? Usaha yang kita buat sama tapi selalu hasilnya berbeda. Kenapa hal ini bisa terjadi? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang dapat menjadikan hati kita terus-menerus menjadi keruh

Di dunia ini kita sangat percaya hukum sebab akibat, tapi terkadang kenyataannya amat berbeda. Seseorang yang usahanya keras belum tentu memperoleh hasil yang lebih baik dari orang yang usahanya sedang-sedang saja. Seorang pekerja keras lebih sering merasa gagal karena hasil yang ia dapatkan tidak sebanding dengan apa yang diharapkannya.

Dalam ayat pertama surah Al Ikhlas, Allah Azza wa Jalla memakai kata-kata ‘Ahad’ yang berarti satu (tunggal). Kenapa Allah tidak memakai kata ‘Wahid’ yang dari segi akar kata berarti sama?

Jika kita memahami lebih dalam ternyata ada sebuah hikmah yang terkandung di dalamnya. Kata ‘Wahid’ selalu diikuti oleh rentetan bilangan yaitu dua, tiga dan seterusnya. Sedangkan kata ‘Ahad’ tidak dapat diikuti oleh penambahan apapun sesudahnya. Ia hanya tunggal, tidak beroleh penambahan dalam hal apapun.

“Katakan! Dia adalah Ahad (Yang Maha Esa). Allah tumpuan harapan” (QS Al Ikhlas [112]:1-2)

Dalam menjalani kehidupan ini, kita selalu meletakkan harapan keberhasilan itu pada parameter materi. Jika kita berhasil meraih sesuatu maka kita memasang target untuk memperoleh yang lebih tinggi atau lebih baik lagi. Misalnya ketika berharap memperoleh satu bagian hari ini dan hal ini berhasil kita dapatkan, maka besok kita akan berharap mendapat dua bagian. Jika hal ini juga berhasil kita peroleh, maka di hari sesudahnya kita akan memasang target yang lebih tinggi lagi, empat bagian misalnya. Harapan yang bersifat keduniaan seperti inilah yang diibaratkan dengan ‘Wahid’. Selalu ada rentetan bilangan (baca: harapan yang lebih besar) yang mengikutinya. Berbeda jika kita menggantungkan harapan kita pada Allah Azza wa Jalla semata yang simbolkan dengan kata ‘Ahad’ maka tak ada target harapan sesudahnya. Kita amat yakin, apapun usaha kita pasti Allah balas dengan kebaikan. Jika hal itu belum sesuai harapan, tak mengapa, karena bisa jadi bagian di dunia ini yang Allah beri sedikit sedangkan bagian di akhirat (yang menjadi tabungan amal) jelas-jelas lebih banyak dan pasti akan kita nikmati kelak di akhirat.

"...Dan barangsiapa yang bertawaqqal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhannya)…” (QS Ath Thalaaq [65]:3)

Allah menjanjikan kecukupan bagi siapa saja yang menggantungkan harapan kepada-Nya. Manusia selalu dituntut untuk melakukan usaha dalam setiap nadi kehidupannya. Manusia akan dinilai dari usahanya yang berwujud pada ‘niat’ dan ‘proses’ yang dijalani. Sedangkan ‘hasil’ yang diperolehnya adalah wilayah kekuasaan Allah untuk menentukannya.

Dan satu yang terkadang kita lupa. Pemberian Allah Azza wa Jalla itu tidaklah sesuai dengan pemikiran kita yang sempit ini. Rezeki itu bermakna sangat luas. Dalam hal materi mungkin saja bisa terbatas, tapi cobalah lihat keadaan kita secara utuh. Kita diberi-Nya nikmat sehat dan nikmat anak-anak yang shalih dan selalu mengingatkan akan keshalihan. Demikian juga pasangan hidup (suami/istri) yang menentramkan hati. Hal lain adalah keselamatan dari tipu-menipu atau suap-menyuap dalam usaha dan perdagangan yang kita lakukan. Dan juga kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup walaupun dengan gaji yang kecil. Bukankah semua ini adalah rezeki dari Allah?

Bukanlah suatu kebetulan jika Allah Azza wa Jalla mengingatkan hamba-hamba-Nya dengan QS Ibrahim ayat 34 diatas. Banyak dari kita yang belum mampu untuk mensyukuri nikmat yang Dia berikan.

“Tidak ada satupun yang setara dengan-Nya” (QS Al Ikhlas [112]:4)

Penutup surah Al Ikhlas, kata ‘Ahad’ kembali disebut bukanlah tanpa makna. Apapun yang kita lakukan di dunia ini akhirnya kembali kepada-Nya. Tujuan dari segala tujuan. Keberhasilan dalam hidup ini hanya dapat diperoleh jika kemantapan hati telah diraih dengan merasakan “tiada yang setara dengan-Nya”. Dia berhak menentukan apapun yang menjadi kehendak-Nya.

Dari Zaid ibn Tsabit, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menjadikan dunia ini sebagai keinginannya, maka Allah akan mencerai beraikan urusannya (sehingga ia menjadi bingung dibuatnya), Allah akan menjadikan kefakiran di depan kedua matanya. Dan tidak datang kepadanya dunia, kecuali yang telah dituliskan untuknya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya, maka Allah akan menghimpunkan urusannya (sehingga mudah saja semua itu dijalaninya). Allah akan memberikan kekayaan di dalam hatinya, dan akan datang kepadanya dunia karena dunia itu rendah sekali.” (HR Muslim)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri