Allah berfirman di QS Al Baqarah [2]:183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Setiap ibadah dalam islam memiliki tujuan dalam pelaksanaannya. Taqwa adalah tujuan seorang hamba dalam berpuasa. Taqwa adalah sebuah gelar atau predikat yang dapat diraih oleh seseorang yang melaksanakan ibadah puasanya dengan baik. Ibarat gelar sarjana S-2 yang hanya dapat diraih dengan segala pengorbanan dan ketekunan, puasa juga bernuansa seperti itu.
Seorang teman bertanya, “Apa tanda-tanda seseorang telah meraih ketaqwaan dari puasa yang telah ia tunaikan?”
Hamba itu menjawab: “Tanda-tandanya adalah dengan sifat-sifat keshalihan akan terpancar pada prilaku nya sehari-hari.”
Ibarat seseorang yang meraih gelar S-2 akan memancarkan sifat-sifat intelektual pada dirinya. Ia akan lebih banyak menimbang sebelum memutuskan dan selalu mengedepankan sikap rasionalitas daripada emosionalitas. Demikian juga ia akan tampil sebagai seorang yang memiliki ketrampilan sesuai dengan disiplin ilmu yang ia geluti selama masa kuliah yang akan ia pergunakan demi kemashlahatan dirinya sendiri dan orang banyak. Inilah bentuk ideal dari sebuah gelar S-2. Demikian juga dengan ketaqwaan sebagai sebuah gelar yang dapat diraih dengan berpuasa. Puasa adalah proses untuk mendapatkannya. Sifat santun dan sabar serta ingin selalu berbagi adalah beberapa sifat keshalihan yang seharusnya ada pada diri seorang hamba dengan predikat taqwa.
Allah Azza wa Jalla, menerangkan sifat-sifat keshalihan itu pada QS Al Furqan [25]:63-77. Inti dari sifat keshalihan itu adalah ia mencintai Allah, Rabb-nya dan selalu menyebarkan kedamaian dalam hidupnya di dunia ini.
“Bisakah seseorang meraih gelar taqwa tanpa ada sifat kesalihan dalam dirinya?” Tanya teman itu lagi.
Rasulullah Saw bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak ada yang didapatnya kecuali rasa lapar dan haus” (HR Ahmad)
Dari apa yang Nabi sampaikan pada hadish diatas, amatlah sangat sulit untuk mengatakan seseorang mendapat gelar ketaqwaan jika sikap dan sifatnya sebelum memasuki bulan suci ramadhan dan setelah ramadhan adalah sama. Ia tak tampak memancarkan sifat-sifat keshalihan setelah melalui Ramadhan. Hal ini juga terjadi pada ritual ibadah haji. Begitu banyak orang yang pergi berhaji tapi apakah ia akan mendapatkan gelar haji yang mabrur? Hal ini hanya bisa dilihat sejauh mana sifat-sifat keshalihan melekat pada dirinya sepulangnya ia menunaikan ibadah haji.
ooOOOoo
Dalam kesempatan lain seorang teman bertanya, “Kenapa Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan yaitu bulan ke-9 dari kalender Hijriyah dan bukan pada bulan ke-12 yang merupakan penutup tahun untuk menghapus dosa-dosa kita?”
Hamba itu menjawab, “Allah Maha Berkehendak atas apa yang ingin Dia lakukan”
Allah berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah adalah dua belas bulan…” (QS At Taubah [9]:36)
Jika kita mencoba mengerti makna angka-angka dalam bahasa arab, angka 9 adalah angka yang tertinggi. Sedangkan yang terendah adalah 1. Sedangkan angka 0 (nol) yang dalam sejarah tercatat ditemukan oleh Al Khawarizmi, seorang ilmuan muslim abad pertengahan adalah bermakna ketiadaan. Angka 9 sering disebut sebagai angka yang tertinggi dan memiliki kesempurnaan. Sedangkan angka 10 dan seterusnya adalah gabungan dari angka-angka sebelumnya. Simbol ini pula yang bisa jadi merupakan sebuah hikmah kenapa bulan Ramadhan hadir pada bulan ke-9.
Manusia dalam perjalanan hidupnya akan mencapai sebuah kondisi yang merupakan puncak dari segala aktivitas dan keberadaannya. Puncak itu bisa ditandai dengan pencapaian amal shaleh yang ia lakukan ataupun kesalahan atau kekhilafan yang tanpa sadar telah ia perbuat. Ketika ia berada di puncak (disimbolkan dengan angka 9), sudah seharusnya ia melakukan muhasabah (kontemplasi) untuk kembali ke fitrah (disimbolkan dengan angka 1). Ia membutuhkan waktu untuk kembali mengisi hari-harinya dengan ibadah baik disiang hari (dengan berpuasa) dan di malam hari (dengan shalat malam/tarrawih dan membaca Al Quran) selama sebulan penuh agar dirinya dapat kembali ke fitrah (kesucian dari segala dosa dan kesalahan).
Seorang ulama pernah menyampaikan pendapat pribadinya kenapa seorang ibu yang mangandung harus melewati masa sembilan bulan? Karena selama sembilan bulan itulah tercapai kondisi dimana manusia itu siap untuk dilahirkan ke muka bumi ini dan hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS At Tiin [95]:4, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Waalahu a’lam bissawab
M. Fachri