Wednesday, 27 July 2011

Sebuah Hikmah Puasa

Allah berfirman di QS Al Baqarah [2]:183, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

Setiap ibadah dalam islam memiliki tujuan dalam pelaksanaannya. Taqwa adalah tujuan seorang hamba dalam berpuasa. Taqwa adalah sebuah gelar atau predikat yang dapat diraih oleh seseorang yang melaksanakan ibadah puasanya dengan baik. Ibarat gelar sarjana S-2 yang hanya dapat diraih dengan segala pengorbanan dan ketekunan, puasa juga bernuansa seperti itu.

Seorang teman bertanya, “Apa tanda-tanda seseorang telah meraih ketaqwaan dari puasa yang telah ia tunaikan?”

Hamba itu menjawab: “Tanda-tandanya adalah dengan sifat-sifat keshalihan akan terpancar pada prilaku nya sehari-hari.”

Ibarat seseorang yang meraih gelar S-2 akan memancarkan sifat-sifat intelektual pada dirinya. Ia akan lebih banyak menimbang sebelum memutuskan dan selalu mengedepankan sikap rasionalitas daripada emosionalitas. Demikian juga ia akan tampil sebagai seorang yang memiliki ketrampilan sesuai dengan disiplin ilmu yang ia geluti selama masa kuliah yang akan ia pergunakan demi kemashlahatan dirinya sendiri dan orang banyak. Inilah bentuk ideal dari sebuah gelar S-2. Demikian juga dengan ketaqwaan sebagai sebuah gelar yang dapat diraih dengan berpuasa. Puasa adalah proses untuk mendapatkannya. Sifat santun dan sabar serta ingin selalu berbagi adalah beberapa sifat keshalihan yang seharusnya ada pada diri seorang hamba dengan predikat taqwa.

Allah Azza wa Jalla, menerangkan sifat-sifat keshalihan itu pada QS Al Furqan [25]:63-77. Inti dari sifat keshalihan itu adalah ia mencintai Allah, Rabb-nya dan selalu menyebarkan kedamaian dalam hidupnya di dunia ini.

“Bisakah seseorang meraih gelar taqwa tanpa ada sifat kesalihan dalam dirinya?” Tanya teman itu lagi.

Rasulullah Saw bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak ada yang didapatnya kecuali rasa lapar dan haus” (HR Ahmad)

Dari apa yang Nabi sampaikan pada hadish diatas, amatlah sangat sulit untuk mengatakan seseorang mendapat gelar ketaqwaan jika sikap dan sifatnya sebelum memasuki bulan suci ramadhan dan setelah ramadhan adalah sama. Ia tak tampak memancarkan sifat-sifat keshalihan setelah melalui Ramadhan. Hal ini juga terjadi pada ritual ibadah haji. Begitu banyak orang yang pergi berhaji tapi apakah ia akan mendapatkan gelar haji yang mabrur?  Hal ini hanya bisa dilihat sejauh mana sifat-sifat keshalihan melekat pada dirinya sepulangnya ia menunaikan ibadah haji.

                                                 ooOOOoo

Dalam kesempatan lain seorang teman bertanya, “Kenapa Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan yaitu bulan ke-9 dari kalender Hijriyah dan bukan pada bulan ke-12 yang merupakan penutup tahun untuk menghapus dosa-dosa kita?”

Hamba itu menjawab, “Allah Maha Berkehendak atas apa yang ingin Dia lakukan”

Allah berfirman, “Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah adalah dua belas bulan…” (QS At Taubah [9]:36)

Jika kita mencoba mengerti makna angka-angka dalam bahasa arab, angka 9 adalah angka yang tertinggi. Sedangkan yang terendah adalah 1. Sedangkan angka 0 (nol) yang dalam sejarah tercatat ditemukan oleh Al Khawarizmi, seorang ilmuan muslim abad pertengahan adalah bermakna ketiadaan. Angka 9 sering disebut sebagai angka yang tertinggi dan memiliki kesempurnaan. Sedangkan angka 10 dan seterusnya adalah gabungan dari angka-angka sebelumnya. Simbol ini pula yang bisa jadi merupakan sebuah hikmah kenapa bulan Ramadhan hadir pada bulan ke-9.

Manusia dalam perjalanan hidupnya akan mencapai sebuah kondisi yang merupakan puncak dari segala aktivitas dan keberadaannya. Puncak itu bisa ditandai dengan pencapaian amal shaleh yang ia lakukan ataupun kesalahan atau kekhilafan yang tanpa sadar telah ia perbuat. Ketika ia berada di puncak (disimbolkan dengan angka 9), sudah seharusnya ia melakukan muhasabah (kontemplasi) untuk kembali ke fitrah (disimbolkan dengan angka 1). Ia membutuhkan waktu untuk kembali mengisi hari-harinya dengan ibadah baik disiang hari (dengan berpuasa) dan di malam hari (dengan shalat malam/tarrawih dan membaca Al Quran) selama sebulan penuh agar dirinya dapat kembali ke fitrah (kesucian dari segala dosa dan kesalahan).

Seorang ulama pernah menyampaikan pendapat pribadinya kenapa seorang ibu yang mangandung harus melewati masa sembilan bulan? Karena selama sembilan bulan itulah tercapai kondisi dimana manusia itu siap untuk dilahirkan ke muka bumi ini dan hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS At Tiin [95]:4, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”


Waalahu a’lam bissawab

M. Fachri 

Friday, 22 July 2011

Sebuah Amanah Allah (bag 2)



Dalam sebuah dialog diantara sang Ibu dengan anak lelakinya itu, terdapat sebuah nasehat yang berbekas begitu dalam ke jiwa sang anak:

“Ketahuilah nak, dunia ini adalah pertarungan antara kebaikan dan keburukan yang tidak akan pernah habis-habisnya. Selalulah berada di pihak yang benar agar Allah tetap menjagamu. Kebesaraan seseorang tidaklah selalu berhubungan dengan banyaknya harta dan kekuasaan. Namun kebesaraan terletak pada kebersihan hati, kesucian nurani dan kemampuan akal untuk mengubah keadaan di diri dan di luar diri untuk menjadi lebih baik.”

Sebagai penutup sang Ibu mengutip sebuah ayat Al Quran,

“…Sungguh bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shaleh” (QS21:105)

Sang Ibu benar, dunia ini adalah tempat bercampurnya antara keadilan dan kezaliman; kebaikan dan keburukan; kesalehan dan kekufuran. Dalam QS Luqman ayat 17 (dalam tulisan bagian pertama), Luqman menasehati anak-anaknya untuk selalu mengajak orang-orang di lingkungannya untuk berbuat kebenaran dan menjauhi segala keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Bukankah nabi-nabi Allah beserta pengikut-pengikutnya yang setia adalah pejuang-pejuang kebenaran yang berjuang habis-habisan (baca:jihad) demi tegaknya kebenaran di muka bumi?

Kalau kita merenung lebih jauh, harta dan kekuasaan itu hanyalah sebuah kendaraan untuk mengantarkan seseorang dalam mencapai sesuatu. Bukan sebagai parameter ‘kebesaran’ seseorang. Berapa banyak dari manusia di dunia ini yang berusaha mendapatkan harta dan kekuasaan dengan cara yang jauh dari kebaikan. Saling menyikut dan mencuri adalah hal-hal yang sangat lumrah pada zaman sekarang ini. Mereka berpikir bahwa harta dan kekuasaan itu dapat meng-kekal-kan dirinya tapi pada akhirnya hanya membuat dirinya hina.

Luqman ‘besar’ adalah karena kesalihannya bukan karena hartanya dan bukan pula karena kekuasaan yang dimilikinya. Demikian juga para Nabi dan Rasul-Rasul Allah di muka bumi. Tidak ada satupun dari mereka yang ‘besar’ karena harta atau kekuasaan yang dimilikinya, tidak juga Nabi Daud as dan Sulaiman as yang dinyatakan Allah sebagai Nabi dan Rasul terkaya dengan genggaman kekuasaan lebih dari separuh bumi ini pada masanya. Mereka semua ‘besar’ adalah karena kesalehan yang ada pada diri mereka. Allah Azza wa Jalla beserta para malaikatnya bersalawat atas mereka.

Dua kisah yang dapat menjadi pelajaran bagi kita tentang manusia yang ingin meraih ‘kebesaran’ karena harta dan kekuasaan di dalam Al Quran adalah kisah Qarun dan Firaun. Qarun mencoba untuk menjadi ‘besar’ karena harta yang dimilikinya. Pada akhirnya ia harus menuai kebinasaan yang pedih (baca QS28:76-82). Demikian juga kisah Fir’aun yang mencoba menjadi ‘besar’ karena kekuasaannya yang pada akhirnya mengalami kehancuran (baca QS 10:88-92).

Apakah kita tidak boleh khawatir akan masa depan anak-anak kita?

Allah berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS An Nisaa’ [4]:9)

Allah Azza wa Jalla menyadari kekhawatiran kita dan memberi solusi dengan meminta kita untuk bertaqwa dan bersikap jujur. Ketaqwaan sudah seharusnya bukan hanya dimaknai dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, tapi lebih jauh dari itu: Bagaimana nilai-nilai ketaqwaan itu akan bermuara pada kesalehan individu yang buahnya akan bermanfaat bagi siapa saja. Nilai-nilai ketaqwaan itu akan menyebar bagai angin yang membawa serbuk sari menuju putik untuk selanjutnya menghasilkan bunga yang harum semerbak dan pada akhirnya menjadi buah yang ranum dan manis. Buah yang ranum dan manis inilah yang disebut kesalehan.

Orang tua yang shaleh akan menghasilkan keturunan yang shaleh pula. Hal ini terjadi pada Nabi Ibrahim as yang bergelar khalilullah (baca: kesayangan Allah). Ia memiliki keturunan yang sebagian besarnya menjadi nabi dan Rasul. Dari Istrinya Sarah ia memperoleh Ishak dengan anak keturunannya: Ya’kub (Israil), Yusuf, Musa, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya hingga Isa Ibn Maryam. Demikian juga dari istrinya Hajar, ia memperoleh Ismail dengan anak keturunannya yang bermuara hingga pada Rasulullah Saw.

Demikian pula sebaliknya orangtua yang penuh dengan kekufuran akan menghasilkan keturunan yang kufur pula. Ingatkah kita akan kisah Nabi Nuh yang berdoa kepada Rabb-nya disaat azab Allah turun kepada kaumnya?

“Nuh berkata: ‘Ya Rabb, janganlah Engkau biarkan seorangpun diantara orang-orang kafir itu tinggal diatas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan melahirkan melainkan anak-anak yang akan berbuat kekufuran kepada-Mu.” (QS Nuh [71]:26-27)

Anak adalah cermin diri kita sendiri. Sebuah pepatah pernah mengisi ruang di benak kita, “Buruk rupa cermin dibelah”.  Ketika kita melihat pada diri anak-anak kita ada sifat atau tabiat yang buruk, kita malu untuk mengakuinya. Kita hanya mengakui sifat atau tabiatnya yang baik dan ideal saja untuk kemudian menimpakan yang buruk pada lingkungan atau pasangan hidup kita. Kita menyalahkan suami/istri sendiri dan menuduhnya telah memberi kontribusi yang buruk terhadap sifat atau tabiat anak-anak kita. Alangkah naïf nya diri kita.


ooOOOoo

Seorang ulama pernah berkata, “Jangan jadikan cermin kesuksesanmu dari apa yang kau dapat tapi bercerminlah pada anakmu. Jika masih ada keburukan di diri anakmu maka engkau belumlah seorang yang dikatakan sukses.” 

Mulailah untuk mengajar anak-anak kita dengan nilai-nilai ketaqwaan sedikit demi sedikit. QS Luqman ayat 12 – 19 adalah pedoman yang berlaku umum bagi kita semua. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya harus dipahami dengan benar dan sabar dalam mengajarkannya adalah hal yang terpenting agar kelak anak-anak kita selamat dari segala kekufuran.

Sesuatu yang harus kita pahami dari QS An Nisa ayat 9 diatas adalah ketaqwaan yang kita miliki tidak hanya melahirkan kesalehan individu saja tapi juga pada rezeki yang akan diperoleh oleh anak-anak kita. Allah akan menjamin kehidupan mereka jauh setelah kita tidak lagi berada di dunia yang fana ini.

Ingatkah kita akan kisah nabi Allah Musa as dan seorang hamba-Nya yang memiliki kelebihan? Sebagian ulama menafsirkannya sebagai nabi Khidir walaupun keabsahan riwayatnya masih diperdebatkan.

“Ketika keduanya sampai di sebuah perkampungan, mereka meminta makanan kepada penduduknya tapi penduduknya menolak untuk memberikan makanan kepada mereka. Keduanya mendapatkan suatu rumah yang dindingnya hampir roboh, maka hamba Allah itu memperbaikinya. Musa berkata kepadanya, ‘Jika engkau mau, kamu dapat mengambil upah dari pekerjaan kamu itu’. Hamba itu kemudian berkata: ‘Inilah perpisahan antara aku dan kamu, aku akan memberitahukan kepadamu tujuan dari perbuatanku yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya” QS Al Kahfi [18]:77-78)

Hal ini kemudian dijelaskan oleh hamba Allah tersebut:

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di perkampungan itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan kedua orangtuanya yang tidak mereka ketahui. Kedua orangtua mereka adalah orang-orang yang saleh, maka Allah menghendaki agar kelak mereka sampai kepada masa dewasa dan menemukan harta simpanan itu sebagai rahmat Tuhanmu. Dan bukanlah aku yang melakukan hal itu menurut kemauan diriku sendiri. Demikianlah tujuan-tujuan dari perbuatanku yang kamu tidak dapat sabar karenanya.” (QS Al Kahfi [18]:82)

"...Kedua orang tua mereka adalah orang-orang yang saleh..."  


Pantaskah kita mengkhawatirkannya?  Sungguh sebuah hikmah kehidupan yang tak ternilai harganya.

“Dan sungguh telah Kami mudahkan Al Quran ini untuk menjadi pelajaran, maka adakah yang mengambil pelajaran?” (QS Al Qamar [54]:22)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Wednesday, 20 July 2011

Sebuah Amanah Allah (bag 1)

(Bagian pertama dari dua tulisan)


“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan” (Luqman [31]:17)



Sebuah dialog antara sepasang suami dan istri itu terjadi dalam suasana yang jauh dari kenyamanan beberapa tahun yang lalu:

“Ada sesuatu yang salah dengan anak itu!”

“Maksud Bapak?” Tanya sang Ibu.

“Ia tumbuh menjadi anak yang lemah…Puisi…Prosa dan segala macam yang berbau sastra itu telah menjadikannya….” Sang Ayah diam sebentar untuk kemudian melanjutkan kalimatnya

“Seperti banci…”

Sang Ibu membantahnya dan berkata, “Apakah Bapak menuduh Amir Hamzah seorang pujangga yang sekampung dengan Bapak seperti banci? Itu sebuah pernyataan yang sangat aneh.”

Amir Hamzah berasal dari kota Tanjung Pura di Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Kota dimana sang Ayah lahir dan menghabiskan masa kecilnya disana sebelum hijrah ke Medan untuk melanjutkan SMA dan meneruskan kuliah di sebuah universitas negeri ternama di Yogyakarta.

“Bukan itu maksudku. Ia tumbuh menjadi seorang yang tertutup dan tidak bergaul sebagaimana mestinya anak laki-laki lain seusianya. Bagaimana ia dapat diterima dimasyarakat tanpa pergaulan?” Jelas sang Ayah.

“Aku bersyukur dia tumbuh sehat dan cerdas. Itu sudah cukup bagiku” Jawab sang Ibu.

“Itu benar, tapi dia selalu berada di dalam dunianya sendiri….Buku dan Mimpi-mimpi yang kau ciptakan untuknya….Bagaimana ia akan menghadapi dunia nyata?”

Sang Ibu adalah seorang sarjana Sastra Melayu dari Universitas Sumatera Utara. Seorang yang mengagumi karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, disamping Amir Hamzah, Armijn Pane dan Sutan Takdir Alisjahbana.

Disaat senggang sesudah sholat Ashar, Sang Ibu selalu duduk di beranda belakang rumah mereka sembari membaca buku ataupun majalah dengan diiringi kudapan sore. Tak jarang anak lelakinya itu menemaninya. Seringkali sang Ibu memintanya untuk membaca salah satu puisi favorit sang anak dari buku-buku yang telah menjadi koleksinya. Terkadang pula puisi hasil gubahannya sendiri. Salah satu yang selalu ia bacakan di depan sang Ibu adalah puisi karya Sutardji Calzoum Bachri.

“Aku tidak menciptakan itu semua…Aku hanya menjadi seseorang yang selalu mendukungnya. Apapun jalan yang ia tempuh. Aku mendorongnya untuk bermain di luar rumah…tapi saat ini ia memilih untuk tidak..” Bela sang Ibu.

“Ketika aku kecil, aku tumbuh bersama anak-anak seusiaku. Kami melakukan apa saja diluar rumah dan sangat bahagia. Hal itu menolongku untuk dapat bergaul di masyarakat dengan baik.” Debat sang Ayah.

“Anak-anak bukanlah buku mewarnai…yang dapat kita isi dengan warna-warna yang kita sukai” Jawab sang Ibu.

“Bersyukurlah kepada Allah kita telah memiliki seorang anak laki-laki yang cerdas dan sehat. Bicaralah dengannya dari hati-ke hati. Jangan terlalu keras kepadanya. Biarkan ia menemui jalannya sendiri” Tambah sang Ibu.

“Jalan menuju mana?” kata sang Ayah. “Seorang anak laki-laki yang tidak bergaul tidak akan pernah bisa diterima di masyarakat dan ia tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.”

“Itu hanya ketakutan di diri Bapak. Allah Maha Tahu akan apa yang kita lakukan sebagai orangtuanya dan….” Belum selesai kalimat sang Ibu mengalir, Sang Bapak menjawabnya dengan kalimatnya sendiri.

“Allah Maha Tahu bahwa aku tidak dapat memahami anak itu….Aku hanya ingin dia tumbuh menjadi seorang yang kuat dan tangguh…Dan itu adalah sebuah keharusan!”

Sang Ayah meninggalkan tempat mereka berdialog. Dan sejak itu tidak pernah ada lagi pembicaraan tentang anak lelaki mereka itu. Sang Ayah berusaha untuk membentuknya sesuai dengan keinginannya dan tanpa kompromi sedangkan sang Ibu selalu mendidiknya dengan penuh kelembutan dan berusaha memfasilitasi potensi yang ada pada diri anak laki-lakinya itu.

ooOOOoo

Terkadang kita berpikir, sampai dimanakah peran orangtua dalam menentukan warna-warna kehidupan anak-anaknya dimasa depan? Haruskah orangtua bersikap otoriter kepada setiap anaknya dan mendidik mereka dengan keras? Atau membiarkan mereka sendiri yang menentukan masa depannya tanpa harus mempengaruhi pemikiran mereka sedikitpun? Mungkinkah dialog diatas terjadi pada kita sebagai orangtua?

Berselisih paham tentang cara mendidik anak telah sering kita dengar dalam sebuah rumah tangga. Pada akhirnya perselisihan ini menjadi bahan bagi kita untuk saling tarik menarik kepentingan antara sang ayah dan sang ibu yang justru akan membuat anak-anak mereka bertambah bingung dan kehilangan orientasi.

Maha Suci Allah yang telah menurunkan kalimat-kalimat nya ke muka bumi dengan sebuah surah yang bernama Luqman. Sebuah surah yang berisikan tuntunan bagi kita sebagai orangtua untuk mendidik anak-anak kita dan menjadi bekal dalam membentuk kepribadian dan keimanan yang kokoh.

Luqman bukanlah seorang Nabi dan bukan pula seorang Rasul. Ia hanya seorang hamba Allah yang hidup diantara masa Nabi Isa Ibn Maryam as dan masa Rasulullah saw. Rasulullah pernah menceritakan kepada sahabatnya ibnu Umar ra mengenai Luqman, “Sesungguhnya Luqman bukanlah seorang nabi, tetapi dia adalah seorang hamba Allah yang banyak menampung kebajikan, banyak merenung dan keyakinannya lurus. Dia mencintai Allah, maka Allah mencintainya, menganugerahkan kepadanya hikmah.” (Musnad Al Firdausi)

Allah Azza wa Jalla mengabadikan kisah Luqman untuk diteladani dalam hal mendidik anak-anaknya. Sering kali kita berkesimpulan setelah membaca kisah-kisah di Al Quran bahwa kisah yang ada hanya berlaku untuk Nabi dan Rasul Allah. Hal yang sulit terjadi pada kita sebagai manusia biasa. Dari puluhan Rasul yang diutus-Nya, dari Ribuan Nabi yang dipilih-Nya, tidak satupun kisah mereka dalam  hal mendidik anak yang Allah sampaikan di Al Quran dengan rinci.  Allah telah memilih Luqman. Seorang yang awam seperti kita semua. Allah Azza wa Jalla telah memberi hikmah pengajaran kepada Luqman dalam mendidik anak-anaknya karena hamba-Nya itu mencintai-Nya. Sungguh suatu penghormatan yang luar biasa.

(Bersambung…)


Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri


  

Saturday, 18 June 2011

Khalifah Umar dan Seorang Anak Pengembala


Abdullah bin Dinar ra menyampaikan tentang perjalanannya bersama Khalifah Umar Ibn Khattab ra. Ia mengatakan, “Aku berjalan bersama khalifah Umar diluar kota Madinah dan beristirahat di suatu tempat. Kami melihat seorang anak yang sedang mengembalakan dombanya turun dari gunung dan bertemu dengan kami. TImbul keinginan di hati Khalifah Umar untuk menguji keimanan sang anak gembala tersebut."

Khalifah Umar berkata kepadanya, “Wahai anak penggembala, Maukah Engkau menjual seekor domba mu kepadaku?”
Anak kecil penggembala itu menjawab, “Aku bukan pemilik domba ini, aku hanya seorang pemegang amanah yang mengembalakan domba tuanku.” 

Khalifah Umar tersenyum dan berkata, “Katakanlah kepada tuanmu bahwa salah seekor dombanya dimakan serigala.”
Anak itu terdiam dan dengan muka memucat, ia menatap wajah Khalifah Umar, sembari berkata, “Aku dapat berbohong kepada manusia, tapi dimanakah Allah?”
Mendengar kalimat yang begitu lugas dari lisan seorang anak kecil, maka menangislah Khalifah Umar. Kemudian Khalifah Umar mengajak anak pengembala tersebut  kepada tuannya untuk kemudian memerdekakannya. 

Khalifah Umar berkata pada anak itu, “Kalimat yang telah engkau ucapkan tadi telah membebaskanmu di dunia ini, aku berharap kalimat-kalimat tersebut juga akan membebaskanmu kelak di akhirat.”

Wednesday, 15 June 2011

Kisah Seorang Ibu

Aisyah rha. berkata, "Aku didatangi oleh seorang wanita miskin yang membawa dua anaknya dan meminta sesuatu kepadaku karena kelaparan yang mendera mereka. Aku memberinya dengan 3 butir kurma. Aku melihatnya membagikan kepada anak-anaknya masing-masing 1 butir kurma dan kurma terakhir yang tersisa akan dimakannya sendiri. Ketika ia akan melakukannya, kedua anaknya memintanya. Maka dia pun membelah kurma yang akan dimakannya tersebut menjadi 2 bagian agar kedua anaknya memperoleh jatah yang sama sedang ia sendiri tidak memakannya sama sekali. Aku sangat kagum dengan apa yang dilakukannya dan menceritakan hal ini kepada Rasulullah Saw. Kemudian Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah memastikan baginya surga dan mengharamkan baginya neraka dengan perbuatannya tersebut.'" (HR Muslim)

Tuesday, 31 May 2011

Nikmat Hidup



“Maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata: ‘Sesungguhnya aku diberi nikmat itu adalah karena kepintaranku.’ Sebenarnya hal itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS Az Zumar [39]:49)






Dalam suatu dialog dengan sang Guru, hamba itu pernah ditanya: “Apakah yang engkau ketahui tentang nikmat hidup?”

Hamba itu menjawab: “Nikmat hidup adalah sebuah kesenangan yang dapat dirasakan oleh seseorang yang banyak membawa kebaikan bagi dirinya sebagai anugerah dari Allah Azza wa Jalla.”

Sang Guru tersenyum mendengarnya. Ia ingin mengetahui apa yang ada dalam pikiran muridnya itu disaat keduanya berdialog tentang ujian hidup yang sedang dirasakan di suatu sore beberapa waktu yang lalu. Seperti biasanya Sang Guru membiarkan segala pikiran dan kegundahan hati muridnya itu terlontar ke permukaan terlebih dahulu sebelum sang Guru mengeluarkan kalimat-kalimat penuh hikmah yang menyejukkan.

Sang Guru kemudian berkata, “Nikmat adalah suatu kesenangan ataupun kebahagiaan yang bersifat kekal adanya. Karena itu sulit bagi kita untuk mengatakan bahwa kesenangan yang kita dapatkan di dunia ini adalah ‘nikmat’.”

Sang Guru lalu membacakan Surah Az Zumar ayat 49 diatas dan melanjutkan dialognya:  

“Sebahagian ulama mengatakan bahwa sebenarnya di dunia ini tidak ada kenikmatan. Kenikmatan di dunia ini hanyalah sebatas menghalangi datangnya penderitaan. Sebagaimana penderitaan lapar dan dahaga dapat dihalangi oleh makan dan minum. Jadi makan dan minum bagi yang lapar dan dahaga adalah ‘nikmat’. Demikian pula dengan penderitaan menjadi orang hina dan rendah dihadapan manusia lain dapat dihalangi oleh jabatan dan harta. Dalam hal ini harta dan jabatan itu adalah ‘nikmat’ dan bagi sebagian orang dipahami sebagai tanda ‘kasih sayang’ Allah kepadanya (Baca: QS89:15-20).”

Hamba itu balik bertanya, “Bukankah Allah Azza wa Jalla banyak memakai kata ‘nikmat’ di dalam Al Quran yang merujuk pada suatu kesenangan di dunia?”

“Benar. Yang harus kita ingat adalah ‘nikmat’ itu memiliki tingkatan” Jawab sang Guru.

“Maukah engkau mendengarkan penjelasannya?” Tanya sang Guru lagi.

“Tentu, Guru. Saya akan mendengarkannya.” Jawab Hamba itu.

Sang Guru selalu santun dalam menyampaikan pendapatnya. Tidak pernah memaksakan kehendak dan selalu berpegang teguh pada prinsip kebenaran. Ia selalu sabar menghadapi setiap pertanyaan murid semata wayangnya itu yang berbeda tautan usia jauh dengannya.

“Seorang ulama yang disegani, Ibnu Qayyim Al Jauziyah pernah berkata bahwa nikmat itu ada tiga hal: (1)Nikmat Jasmaniah, (2)Nikmat Ambisi, (3)Nikmat Ruhaniyah.”

“Kenikmatan Jasmaniah adalah jika segala kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi seperti makanan, minuman dan bersetubuh. Kenikmatan seperti ini adalah kenikmatan yang terendah karena bukan saja manusia yang merasakannya, tapi hewan pun dapat merasakannya. Seandainya kualitas manusia ditentukan oleh kenikmatan jasmaniah yang diperolehnya, tentulah manusia yang paling mulia dan berkualitas ditentukan sebanyak apa ia dapat makan, minum dan berhubungan seksual. Tapi kenyataannya tidak demikian. Merujuklah pada manusia-manusia pilihan Allah seperti Nabi dan para Rasul-Nya. Sebahagian besar dari mereka (kalau tidak seluruhnya) adalah manusia mulia yang jauh dari mendapat porsi makanan, minuman dan hubungan seksual yang mencukupi. Justru musuh-musuh para Nabi dan Rasul tersebut yang memperolehnya.”

“Kenikmatan Ambisi diperoleh seorang dari jabatan, sifat sombong, dan sifat angkuh terhadap orang lain. Ia melampiaskan nafsu berkuasanya dengan memerintah dan mengatur orang lain sesuai dengan keinginannya. Ia amat menikmati setiap perintah dan suruhan kepada orang lain walaupun seringkali hal ini mendapat perlawanan dari orang yang dipimpinnya. Ia akan dimusuhi oleh banyak orang. Contoh yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah prilaku seorang suami kepada istri dan anak-anaknya. Terkadang ia ingin mewarnai jalan hidup istri dan anak-anaknya dengan berlaku arogan dan sombong. Semua harus tunduk kepada titah kuasanya tanpa boleh membantah. Ia meletakkan kebenaran dan keadilan dalam pikirannya sendiri dan tidak pernah ingin dibantah dalam menentukannya.”

Sang guru diam sejenak dan seperti tak ingin meneruskan kalimatnya untuk menjelaskan nikmat yang ketiga. Hamba itu memandang kepadanya. Terlihat wajah sang guru yang memancarkan keteduhan berubah menjadi sendu. Genangan air mata terlihat berkumpul di sudut matanya yang bening. Ia mengusapnya terlebih dahulu sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya dengan suaranya yang terdengar parau.

“Kenikmatan Ruhaniyah hanya dapat dirasakan oleh jiwa yang mulia dan terhormat. Ia adalah jalan para Nabi dan Rasul Allah. Ia merasakan cinta yang sungguh terasa berat dan menyesakkan dada. Kecintaan kepada Allah. Ia tak henti-hentinya mendekatkan dirinya kepada Allah sebagai bentuk kenikmatan yang hakiki. Shalat baginya adalah saat berdialog dengan Rabb-nya yang tidak ingin ditundanya walau sekejap. Ia bangun untuk beribadah serta bermunajat di tengah malam ketika orang lain tidur. Ia berdzikir disaat manusia lain sibuk dengan urusan dunianya masing-masing. Disaat sepi ia menangis karena rindu kepada Allah.  Tak habis-habisnya ia merasakan cinta yang tidak pernah padam antara dirinya dengan Allah…Sang Kekasih sejatinya. Setiap kali ia berhubungan dengan manusia, ia selalu mengedepankan sikap santun, sabar, menjaga kehormatan diri dan berwibawa karena ia sadar, Allah Azza wa Jalla menghendakinya untuk berprilaku demikian. Ia selalu menjaga dirinya agar murka Allah tidak diturunkan kepadanya. Ia jauh dari kemaksiatan dan kekufuran.

Sang Guru kemudian melanjutkan dengan suara yang amat perlahan,

“Seseorang yang senang memandang kepada Allah, maka semua orang akan senang memandangnya. Kenikmatan yang ia rasakan dalam kecintaan kepada Allah tidak sebanding dengan kenikmatan apapun di dunia ini walaupun sebesar gunung.”

“Ketahuilah bahwa sesuatu yang paling nikmat di dunia ini adalah mengenal Allah dan mencintai-Nya. Sesuatu yang paling nikmat kelak di akhirat adalah memandang wajah Allah dan mendengar-Nya berbicara tanpa ada perantara.”

Hamba itu kini hanya dapat tertegun dan berurai air mata. Ia masih mendengar pesan akhir sang Guru untuknya.

“Berdoalah selalu dengan sebuah doa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw: ‘Ya Rabb, sesungguhnya aku memohon cinta-Mu, cinta hamba-hamba-Mu yang mencintai-Mu, dan ajari aku amal shaleh yang mengantarkan aku untuk memperoleh cinta-Mu’ (HR Ahmad, Al Hakim & At Tirmidzi)”

Sebuah ayat bergaung dibenaknya.....

“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena (merindukan) wajah Allah, kami tidak mengharapkan balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS Al Insaan [76]:9)

Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri

Friday, 22 April 2011

Habis Gelap Terbitlah Terang

“Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya adalah syaitan yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al Baqarah [2]:257)

Hamba itu tertegun sejenak. Dalam sebuah buku yang dibacanya, ia mendapatkan sebuah informasi yang amat sangat menyentuh. Ayat diatas adalah sebuah ayat yang menjadi favorit seorang pejuang kaum perempuan. RA Kartini. Bagaimana bisa hal itu terjadi?

Pada akhir abad ke-19 dikenal seorang ulama terkemuka di Kota Semarang. Ulama itu bernama Kiai Sholeh Darat. Beliau merupakan guru dari tokoh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan juga  guru dari pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari.  Kiai Sholeh banyak menulis kitab-kitab agama pada masanya antara lain Faid Ar-Rahman yang cukup terkenal.

Suatu hari, Kartini, yang sedang mengunjungi rumah pamannya, mengikuti pengajian Kiai Sholeh yang sedang mengupas makna surah Al Fatihah. Kartini amat tertarik pada cara pengajiannya yang lebih bersifat pemaparan dan pembahasan daripada pemaksaan dogma yang terdorong oleh wujud kharismatis seorang Kiai yang selama ini terjadi. Di akhir pengajiannya, Kartini menjumpai Kiai Sholeh dan memohon kepadanya untuk dapat kiranya menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Jawa. Kartini berkata, “Tidak ada gunanya membaca kita suci yang tidak diketahui artinya.”

Hal ini disambut oleh Kiai Sholeh dengan sukacita walaupun Kiai Sholeh sadar bahwa pekerjaan itu dapat membawa dirinya dipenjara oleh pemerintah Hindia Belanda yang pada saat itu melarang segala bentuk penerjemahan Al Quran sehingga rakyat amat buta terhadap makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Dengan segala pertimbangannya, akhirnya Kiai Sholeh memulai pekerjaan besarnya itu, menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Jawa dengan memakai huruf Pegon atau arab gundul sehingga tidak dicurigai oleh Belanda.

Kitab tafsir terjemahan itu diberi nama kitab ‘Faid Ar Rahman’. Sebuah Tafsir pertama di tanah Jawa yang memakai bahasa Jawa dengan aksara Arab. Penulisannya memakan waktu beberapa bulan dan selesai tepat sebelum RA Kartini akan menikah dengan Bupati Rembang. Kitab Faid Ar Rahman inilah yang dijadikan oleh Kiai Sholeh sebagai hadiah perkawinan Kartini dengan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang pada masa itu. Kartini menulis surat kepada Kiai Sholeh sebagai ucapan terima kasihnya dan menyampaikan, “Selama ini Surah Al Fatihah gelap artinya bagi saya. Saya tidak mengerti sedikitpun maknanya. Tetapi sejak hari ini, dia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kiai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”

Sejak saat itu, Kitab Faid Ar Rahman selalu menjadi pegangan Kartini dalam menjalani hari-harinya sebagai seorang istri pejabat Rembang dan juga seorang guru bagi murid-muridnya. Ia tekun menggali nilai-nilai yang ada pada kitab terjemahan tersebut dan mengajarkannya kepada siapa saja. Satu ayat yang menjadi favoritnya adalah QS Al Baqarah ayat 257 diatas, ‘Allah mengeluarkan orang-orang beriman dari kegelapan menuju cahaya’. Oleh sastrawan Sanusi Pane, buku kumpulan surat Kartini dalam bahasa Belanda,Door Duisternis Tot Licht diterjemahkan menjadi Habis gelap Terbitlah Terang yang merupakan sebuah ayat favorit Kartini.

Dalam perjalanan sejarah, kita telah sama-sama mengetahui bahwa Kartini berpulang kehadirat Rabb-nya Yang Maha Agung ketika melahirkan seorang Putera. Puncak jihad seorang wanita adalah ketika ia melahirkan anaknya. Ia berjuang dalam keadaan antara hidup dan mati. Dan RA Kartini telah menemui Rabb-Nya dalam keadaan yang amat indah…

“…Sesungguhnya kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa (QS Hud [11]:49)


Yang fakir kepada ampunan
Rabb-nya Yang Maha Berkuasa

M. Fachri